Rumah Dome Tahan Gempa

Berkesempatan buat datang lagi ke Jogja adalah suatu kesenangan tersendiri. Kota ini, selalu sukses membuat saya jatuh cinta dengan setiap sudutnya. Keeksotisan bangunan, ramah tamah masyarakat, kuliner, hingga adatnya yang membuat saya nyaman dan betah berlama-lama disini. Kebanyakan masyarakat yang selalu mengutamakan saling menghormati dan berbahasa sopan menjadi hal yang paling saya senangi. 
Semalam saya, Sanny dan Bu Intan menginap di penginapan milik seorang bule yang menikah dengan orang Jogja, bernama Mbak Charly, di Jalan Nuri daerah Depok, Sleman. Besoknya pagi-pagi kami brsama Pak Aryo, ke daerah Gunung Kidul tepatnya Desa Nglepe. Ngapain? Nanti bakal saya jawab. Sebelum kesana, kami menghampiri Bunda Dian dan Mbak Dori yang bakal ikut kami ke Ngelepen ini. Kami ber-5 ini pengen berkunjung ke Rumah Dome Teletubbies yang katanya tahan terahdap gempa. Rumah Dome ini diperuntukkan bagi para korban pasca gempa tahun 2006 di Gunung Kidul, Jogja. Gempa sebesar 5,6 SR itu mengguncang Kota Jogja dan mengakibatkan kerugian yang tak sedikit. Di Desa Nglepen sendiri, korban nyawa tidak ada namun kerugian material membuat mereka kehilangan tempat tinggal. Kemudian pada tahun 2008, salah satu LSM di Indonesia bekerjasama dengan Amerika Serikat memberikan bantuan berupa rumah dome bagi para korban ini secara gratis untuk mereka tinggali. Bentuk rumahnya sangat unik, seperti rumah Teletubbies. Mengadopsi dari rumah Igloo di daerah Kutub yang tahan terahdap gempa dan angin. Selama beberapa tahun berjalan, pastilah muncul berbagai evaluasi terahdap bentuk rumah hingga nilai fungsi rumah. Warga merasakan bahwa rumah ini terlalu kecil, bentuknya kurang ergonomis, hingga keluhan-keluhan. Terutama kebutuhan akan toilet yang tidak ada di rumah ini, mereka harus pergi ke luar rumah dan pergi ke toilet yang ada di tengah-tengah blok. Tidak jauh memang, tapi kalau misalkan turun hujan atau benar-benar kepepet, pasti susah kan? Belum lagi bentuknya yang setengah lingkaran, untuk menaruh perabotan rumah pasti agak sulit. Contohnya di kamar tidur, pasti ada sisa space dalam pengaturan perabotan karena bentuk rumah yang tidak lazim. 
Bangunan ii terdiri dari 2 lantai, lantai atas terdirid ari ruang tamua, 2 kamar tidur, dan dapur. Lantai dua dibuat untuk ruang keluarga, tapi suhunya lebih tinggi daripada di bawah karena atapnya yang sangat rendah. 
Desa ini sekarang mulai bergeser nilai manfaatnya menajdi Desa Wisata, dana da pengorganisasian yang jelas di dalamnya. Waktu kami berkunjung ke sana pun kami ditempatkan di salah satu Dome yang memang tidak dihuni oleh pemiliknya karena ia memilih tinggal di luar Kota. Kami merasakan saat hujan, airnya merembes dan dari ventilasi atas menetes ke bawah. Selain itu, kami juga diajak tracking ke Desa Nglepen yang lama, kondisinya benar-benar menyedihkan. Rumah yang sudah tidak berpenghuni sudah seperti rumah hantu di tengah-tengah hutan. Kami juga pergi ke Tanah Ambles dimana 7 tahun yang lalu tanah itu terbelah sepanjang 300 meter dan rumah yang ada di atas tanah itu pun terbelah menysiakan puing-puing. Masya Allah...dahsyat sekali kekuatan Tuhan... saya ga bayangin kalau saya ada di rumah itu gimana, berasa liat adegan film "2012" saat bumi tiba-tiba terbelah, pasti paniknya luar biasa.
Bagi yang penasaran dengan bentuk rumahnya, seperti ini nih...


 aula Dome

rumah dome

kiri ke kanan (Bunda Dian, Bu Intan, Mbak Dori, saya)

 di sungai menuju Old Nglepen (Bu Intan, Mbak Dori, saya, Sanny, Bunda Dian)

 bersama penari Ramayana dan Roro Jonggrang Prambanan backstage

 Malam kesenian Ramayana

Lebih lengkapnya tentang bangunan Dome bisa dilihat juga di sini.

Kebetulan pada saat itu, berpeatan dengan malam kesenian tradisional di rumah Dome, para penari dari Candi Prambanan didatangkan untuk tampil menghibur masyarakat disana. Menduduki kursi paling depan, kami benar-benar menikmati pertunjukan tarian ini. Saya sangat kagum dengan kelihaian mereka, mulai dari anak-anak hingga dewasa luwes sekali menari, dan saya ga dibuat ngantuk, padahal selama ini setiap kali saya lihat wayang orang selalu saja ngantuk.

Besoknya, kami kembali ke Jogja dan back to the real world. Kami ke Kampus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, betapa takjub kami dibuatnya.. buku-bukunya lengkap semua, referensi semua ada. Saya baru nemukan referensi skripsi saya disini yang full in English, ah kenapa ga dari dulu aja saya kesini. bener-bener membulatkan tekad untuk saya bisa menempuh pendidikan lanjut disini. Menemukan buku-buku masterpiece psikologi Indonesia disini, such a lovely things!

Ditutup dengan jalan-jalan di daerah Malioboro dengan shopping dan wisata kuliner Gudeg dan Lotek, Jogja tetap akan selalu dirindu. Malamnya saya bergegas ke Stasiun Tugu untuk melanjutkan perjalanan. See you lovely city!

saya dan Sanny di depan Masjid UGM 

Komentar