Yogyakarta, kehidupan baru


Setelah beberapa hari lalu dilepas orang tua di kota yang sarat pelajar ini, saya harus memulai semuanya dari awal. Mencari tempat tinggal baru, membeli segala keperluan, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan menjalani cerita baru di kota ini. Saya tidak sendiri, bersama adik saya si Tita, kehidupan baru ini dimulai. Setelah packing dan membawa beberapa keperluan yang sekiranya diperlukan nantinya di kota orang, saya berangkat sekeluarga ke Yogyakarta. Kemudahan demi kemudahan kami dapatkan, bersyukur atas segala yang Allah berikan, meskipun ada kehilangan barang yang nilainya lumayan, tapi ini semua harus diikhlaskan.
Perjalanan Surabaya-Yogya bisa ditempuh dalam waktu 10 jam karena nyupirnya santai-santai, ada macet parah juga di daerah Mantingan, Ngawi. Bermalam di Hotel Bhinneka daerah Stasiun Tugu, nah disini nih pelayanannya ga memuaskan banget. Mulai dari pelayannya yang kurang senyum, ditambah kami yang menyewa 2 kamar ini, kehilangan arlojinya Bapak. Pas ditanyain apa ada arloji dengan ciri-ciri seperti ini ketinggalan, mereka jawab dengan kompak, “Nggak ada”. Plis deh...hotel macam apa ini, padahal jelas-jelas arloji itu ada di dalam lemari dan belum ada tamu yang masuk ke kamar itu. Kok tiba-tiba ga ada? Astaghfirullahaladzim....diuji kesabarannya...
Mengurusi registrasinya Tita, dan diberi kesempatan untuk bersilaturahim ke sanak famili yang ada di Yogya merupakan kesempatan langka. Kebetulan ada saudara jauh yang punya Pondok Pesantren Adz-Dzuhriyah di Ngaglik, kami bersilaturahim ke sana dan malah disuruh makan, serta dibekali oleh-oleh dari sana, padahal kami nggak bawa buah tangan sama sekali ke mereka. Sempat dikira kami berdua santri yang baru masuk, hahaha padahal kami cuma tamu. Ada juga teman dari Ibu yang sudah seperti saudara sendiri, beliau meminjami kami rumah untuk berteduh sementara selama beberapa hari ini, di Jalan Kaliurang km 13 situ. Alhamdulillah baik banget emang temannya Ibu ini, kebetulan juga keluarga dari Malang dan Samarinda mau main ke Yogya, akhirnya ada tempat berteduh buat kami semua disini tanpa harus nyewa hotel atau guesthouse.
Mencari tempat tinggal sementara atau Kos ternyata gampang-gampang susah ya. Ketika sudah mepet waktunya begini, ada kamar kosong tapi tinggal yang harganya mahal-mahal, memang sengaja pemilik Kos memasang tarif segitu mungkin ya. Harganya sampai jutaan per bulannya. Wiiik Subhanallah...ya saya jelas mikir-mikir lah, kebutuhan kuliah masih banyak banget eh kok Kosan juga mahal. Akhirnya saya dapat Kosan yang lumayan dari segi harga dan fasilitas di Jalan Kaliurang disingkat Jakal km 7,5. Mesipun agak jauh dari Kampus, tapi ga apa-apa lah ya, biar tahu daerah sini. Toh nanti juga ada motor. Setelah itu kami langsung cuuus ke tempat wisata Kaliurang yang letaknya di “atas”, jalan Kaliurang km 20. Jadi disini itu namanya lucu-lucu, pada disingkat dan jalannya pake kilometer (km) berapa menyebutnya. Di km 20 ke atas, kita disuguhi pemandangan indah berupa pegunungan hijau dan beberapa tempat wisata, tapi sayangnya waktu kesana udah sore, akhirnya kami cuma bisa berkunjung ke Menara Bojong aja, masih ada kera-kera yang dilepas secara liar disini. Ada juga wisata museum gunung Merapi, tapi udah tutup ya sudahlah kapan-kapan lagi deh.

 kami sekeluarga dengan backrgound gunung Merbabu

Keluarga dari Malang dan Samarinda juga baru pulang dari Candi Borobudur dan Keraton, dan malam ini mereka langsung kembali ke Malang buat memulangkan sepupu-sepupu saya yang jadi santri di Ponpes Al Munawwariyah di Turen, Malang. 
ini saudara sepupu saya yang paling kecil, namanya Asqhor tapi kita biasa panggilnya Astor, pipinya gembil banget yak? :3

Keesokan harinya saya pindahan ke Kosan baru dan beli-beli banyak keperluan baru. Banyak jualan keperluan anak Kos disini yang harganya murah banget, lebih murah dari Malang kayanya. Kemudian mampir ke kosan di Jalan Cik Di Tiro buat lihat-lihat, kebetulan ada yang kosong tapi baru tanggal 16 besok. Akhirnya saya minta dulu kamar itu biar ga dikasihkan ke orang lain buat bulan depan. Ada kejadian lucu waktu Tita lagi registrasi, kebetulan saya nunggu di depan Direktorat Administrasi Akademik UGM, dan setelah nunggu sekitar 45 menit akhirnya Tita selesai, segera menuju Gelanggang Mahasiswa buat ambil jas almamater, eh tiba-tiba ada yang nanyain kami, “Maba UGM ya?” Kami menjawab, “Iya” Langsung dia memasangkan gelang dengan tulisan “Indonesia Diselamatkan”. Lah? Apa ini... ternyata ini adalah tema Ospek UGM kali ini. Tapi lho...saya kan mau masuk S2, ga pake gelang ginian juga kali...hahah, dikiranya saya tadi maba S1 sama mbaknya... -___-
Sepulangnya dari situ, Ibu Bapak pulang ke Surabaya dan kami resmi dilepas di Yogya di depan bundaran UGM. Sholat dulu di Masjid Kampus dengan ditempuh jalan kaki, huft lumayan juga ngiterin Kampus segede ini. Beli makan dan nunggu angkot, dan setelah tahu dari orang jualan pulsa kalo jam sehabis maghrib gini ga ada angkot yang lewat. Terpaksa opsinya cuma naik ojek atau Taxi. Lumayan lah kalo jalan 3,5 km ke Kosan. Akhirnya kami naik ojek dengan tarif 15 ribu, sumpah ini mahal alasannya karena udah malem, dan dikali 2. Ga lagi-lagi deh naik ojek malem-malem gini.
Beberapa hari ini pun kudu bersabar tanpa motor kemana-mana, tapi ada opsi lain yaitu sewa motor. Sedihnya, karena saya kemepetan bilangnya, maka motor di tempat langganan sewa saya yang murah kehabisan, akhirnya nyewa di tempat lain meskipun dengan harga lebih mahal cyin.
Kehidupan baru saja dimulai. Siap nggak? Ya harus siap, karena sudah akan dijalani. Menghadapi kehidupan sebagai anak rantau (lagi). Bukan cuma keren-kerenan diterima di UGM, tapi ini namanya amanah yang harus diperjuangkan. Kata Bapak, “Belajar itu termasuk jihad, maka kalau ada yang nyumbang ya diterima aja,” Hahaha.....pernyataan yang terakhir abaikan aja ya. Menjadi individu dengan status mahasiswa (lagi) tapi di tingkat yang lebih tinggi, harus membuat saya menjadi pribadi baru yang bisa bermanfaat bagi orang lain, pasti bisa insya Allah. Doa dan ikhtiar harus selalu dilaksanakan.
Hai kehidupan baru, saya siap menghadapimu!

pemandangan Gunung Merbabu

Komentar