Pelatihan Community Mental Health UGM 11-12 Februari 2015

Saya pernah cerita sebelumnya tentang acara ini, namun bukan tentang muatan acara melainkan reuni bersama Dosen-Dosen psikologi UB-nya. Kali ini saya mau sharing tentang isi dari acara selama 2 hari yang saya ikuti ini.

Hari pertama, dibuka oleh Wakil Dekan yaitu Pak Bandi, dosen favorit saya dari mata kuliah kualitatif. Kemudian ada seorang perempuan bernama Dr Diana Setyawati yang merupakan Ketua dari CPMH (Center for Public Mental health) UGM yang merupakan pusat kajian tentang kesehatan mental di UGM sebagai salah satu Universitas yang memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan mental masyarakat.

Materi pertama dibawakan oleh Prof Harry Minas dari Universitas Melbourne Australia menjelaskan mengenai sistem kesehatan mental yang berkembang dari masa ke masa. Global mental health menjadi isu yang meliputi sistem, budaya, politik dan keuangan, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan pilihan berobat. Tujuan dari adanya sistem kesehatan mental adalah meningkatkan/ menguatkan kesehatan mental ke seluruh dunai untuk menuju keadilan dengan cara menyediakan informasi tentang kesehatan mental di seluruh negara, identifikasi kesehatan mental di seluruh area, menyediakan dukungan sosial sesuai dengan keburuhan populasi di suatu area.

Akses untuk kesehatan mental ini yang paling mendasar disebut primary health care. Di Indonesia, primary health care disebut sebagai Puskesmas (Pusat Kesehatan Masayrakat) yang memastikan orang-orang di Komunitasnya untuk tetap sehat. Puskesmas ini menjadi tempat rujukan pertama jika ada individu masyarakat sakit dan menginginkan berobat. Fokusnya ialah menyediakan low budget bagi masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menjangkau akses kesehatan dengan mudah dan murah. Harapannya, supaya akases kesehatan bisa untuk seluruh warga negara.

Salah satu penyebab mortalitas di negara Indonesia adalah banyaknya angka bayi prematur yang lahir dari Ibu-ibu yang ada di usia rawan melahirkan, kemudian tingginya penyakit tropik seperti demam berdarah, malaria. Untuk negara berkembang, pergi ke layanan kesehatan adalah hal yang masih mewah. Sehingga mulai beberapa waktu yang lalu upaya untuk memperhatikan isu kesehatan mental populasi mulai berjalan karena tidak ada populasi yang sehat tanpa perhatian kepada isu kesehatan mental.

Selain itu, penyakit yang bersumber dari masalah kejiwaan menjadi hal yang harus menjadi perhatian. Setiap tahunnya di negara berkembang, 800.000 nyawa melayang karena kasus suicide alias bunuh diri. Kasis ini terjadi pada sekiatr usia 15-44 tahun. Penyebabnya, tentu dari berbagai, maka dari itu pentingnya penanganan terhadap masalah jiwa dan fisik diharapkan bisa lebih efektif dengan mengingat berbagai faktor dari negara kita yang masih berada di status ekonomi berkembang.
Adanya program training untuk sumber daya manusia yang mengerti tentang isu utama kesehatan mental yang berasal dari usia muda menjadi fokus dari WHO hingga tahun 2040 sehingga dunia ini bisa menjadi lebih sehat dan damai. Perlu diingat bahwa smeua hal ini merupakan proses yang tiada henti dan selalu dinamis.

Topik kedua berjudul Advocacy and Leadership yang berfokus pada “WHO mental health plan for Aceh” yang mengadakan proses asesmen dan monitoring setelah adanya peristiwa tsunami tahun 2005 di Aceh. Untuk peristiwa di Aceh, pelayanan kesehatan mental menjadi hal yang sangat diprioritaskan mengingat individu banyak yang mengalami post traumatic stres.
Selain itu kasus restraint / confinement yang di Indonesia disebut pasung menjadi hal yang menjadi prioritas. Utamanya kasus pasung terjadi karena ketidak tahuan masyarakat memperlakukan pasien dengan gangguan jiwa, sehingga mereka mengurung dan memperlakukan individu yang bahkan masih anggota keluarganya dengan tidak patut. Hal ini juga merupakan akibat dari ketidak pastian sistem kesehatan jiwa yang masih galau mengatur hak asasi manusia. Sehingga dibentuklah The Pasung Research Group dengan tujuan 2015 bebas pasung. Tapi hingga sekarang memang belum sepenuhnya bisa terbebas, karena kasus ini terjadi di hampir seluruh bagian di Indonesia. Untuk kasus pasung, memang paling banyak terjadi di wilayah Jawa Timur. Adanya stigma dan diskriminasi terhadap korban pasung menjadi hal yang tidak mudah untuk diberi tindakan. Masyarakat yang selalu memberikan label negatif terhadap orang denga gangguan jiwa memang pelru diubah mindsetnya agar mereka menjai lebih toleran terhadap penyakit-penyakit mental, bukan hanya penyakit fisik saja.

Kesehatan mental dan hak asasi merupakan dua hal yang saling berkaitan, namun mengapa keduanya jarang sekali dipertemukan? Kebanyakan area yang disentuh ialah kesehatan medis, itu karena adanya pengabaian terhadap kesehatan mental yang disebabkan kurangnya pengetahuan. Sehingga baru-baru ini disahkan-lah Undang-Undang tentang Kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi profesi praktek kesehatan mental yang didasari oleh hukum Indonesia. Adanya UU Keswa ini merupakan hasil jerih payah dari para pekerja kesehatan mental yang meminta haknya. Proses advokasi pada pemegang birokrasi memerlukan perjuangan yang tidak mudah, harus disertai berbagai riset untuk meyakinkan dan membuat suatu rancangan yang tepat. Di Jawa Timur khususnya di RS Bhayangkara Surabaya sudah ada lembaga bernama P2A yaitu pusat untuk menampung korban anak dan kekerasan terhadap perempuan yang bekerjasama antara HAM dan LSM.

Sesi berikutnya, karena kami udah mulai mengantuk dan bosan dengan materi yang memusingkan, didatangkanlah seorang Profesor yang sangat kocak, namanya Prof Grant Blashki dari RS di Melbourne. Beliau ini berperawakan tinggi besar dan wajahnya menyenangkan, selalu senyum kepada siapa pun. sesi ini dinamakan Family Doctor Expert, beliau sendiri yang menamakannya, karena di sesi ini kami diajari dasar-dasar untuk melakukan diagnosis dan penanganan secara cepat dan tepat, istilahnya yaitu brief therapy.

Pertama, kita harus mengenal dulu yang namanya ICD-10 yang merupakan pedoman diagniosis. Kebanyakan permasalahan yang muncul di Puskesmas berawal dari kecemasan dan depresi. Sekali lagi, stigma merupakan hal pertama yang membuat orang enggan datang kepada Psikolog meskipun itu di Puskesmas. Klasifikasi di ICD-10 memang kemudian diadaptasi menjadi versi Indonesia yaitu PPDGJ-III yang digunakan di bidang psikologi.  

Selain materinya yang menarik, Prof Blashki membagi-bagi makanan kecil seperti “peyek”, “nasi kucing”, “salak”, “manggis” kepada siapa yang bisa menjawab pertanyaan dan berani memberikan pertanyaan. Hahaha lucu banget deh ini profesor... jadi makin nyantol materinya kan.

Hari kedua
Hari kedua ini diawali oleh Dr Ruth Wraith yang membicarakan tentang primary care teams and referral pathways, yang membahas tentang kerja sama dalam tim Puskesmas, bagaimana pelayanan prima yang seharusnya ada di setiap Puskesmas, alur rujukan yang tepat dari Puskesma hingga Rumah sakit tipe A. Jika Psikolog merasa tidak sanggup dan tidak berkompeten untuk nenangani kasus dari sebuah klien, maka klien tersebut bisa di-refer kepada rekan Psikolog yang ahli di bidang tersebut dengan alur yang jelas. Alasan lainnya untuk me-refer adalah, jika ternyata banyak sekali klien yang ditangani, maka agar kita tidak terlalu overload bisa di-refer kepada rekan Psikolog lain, itung-itung juga menambah rejeki teman sesama profesi.

Sesi kedua kembali dengan Prof Blashki yang kocak tersebut, kali ini beliau mempraktekkan bagaimana itu focused psychology strategies for Indonesian Psychologist? Ada seorang peserta yang bercerita mengenai masalahnya, kemudian Prof Blashki menanya-nanyainya dan mereka membuat activity plan atas permasalahan klien seperti menulis jadwal setiap hari, menulis hal yang menyenangkan, adanya achievement dan pleasure thing, dll.

Sesi berikutnya dalah Dr Emilia Colucci yang gaul banget. Beliau ini masih muda dan enerjik, bahasanya logat Italia, jadi kami agak keteteran mendengarkan ia bicara. Beliau adalah peneliti unutk bidang suicide, atau bunuh diri. Prevalensi kejadian bunuh diri yang terjadi di dunia adalah 75,5% berasal dari negara belum berkembang dan negara berkembang. Pelatihan tentang suicide sudah banyak dilakukan di negara berkembang, namun di negara belum berkembang bukan menjadi concern masalah.

Dukungan lingkungan sekitar adalah hal yang menjadi satu kunci penting dalam prevensi bunuh diri. Orang di sekitar harus pintar membaca kondisi orang yang bermasalah.  Gate keeper seperti tokoh masayrakat, tokoh agama menjadi orang-orang yang bisa menasehati lebih bijak.

Kemudian ahli perkembangan anak, Dr Wright membicarakan mengenak kesehatan mental pada anak yang sudah ada dari jaman dulu kala. Adanya kemarahan, agresi, hiperaktivitas, konsentrasi rendah, isolasi sosial menjadi hal yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Hal ini tentu berakibat pada masa dewasanya kelak jika tidak segera ditangani, karena orang dewasa yang sakit secara mental kemungkinan pada masa anak-anak/remajanya mempunyai masalah.

Tentu saja, kesehatan mental bergantung pada kebudayaan di masing-masing negara. Dr Eminia menuliskan buku tentang kesehatan mental dengan culture yang saling berkaitan. Contohnya saja untuk pencegahan kasus bunuh diri, antara Italia, India dan Australia pastilah memiliki perbedaan meskipun alat ukurnya sama.

Seminar pun ditutup dengan film dokumenter tentang Dr Diana Setyawati yang telah menamatkan gelar doktornya dengan baik di Universitas Melbourne Australia. Ternyata Bu Diana ini topiknya mengenai fasilitas kesehatan primer di negara Indonesia, khususnya Yogyakarta untuk menjadi pusat kesehatan mental masyarakat. Hal ini tidak sia-sia, beliau pulang dengan konsep matang yang bisa diaplikasikan sehingga saat ini setiap Puskesmas di Yogyakarta dan Sleman telah mempunyai 1 Psikolog yang berpraktek.

Wonderfulll.... Masya Allah...inspiring banget!


Nggak rugi belajar selama 2 hari ini, semoga suatu saat saya benar-benar bisa masuk ke dalam sistem dan bisa ikut memperjuangkan tentang kesehatan mental masyarakat Indonesia. Amin ya robbal alamin. 

Komentar