Idul Fitri 2015



Ketika mendengar pernyataan dari supervisor saya bahwa saya dapat jatah libur 3 hari waktu Idul Fitri, menjadi hal yang sangat melegakan. Idul Fitri kali ini memang berbeda dari Idul Fitri sebelumnya, karena selama Ramadhan saya melewatinya di tengah-tengah praktek kerja.
Hingga pada H-1 Lebaran yaitu hari Kamis tanggal 17 Juli, sepulang dari Puskesmas saya segera berkemas dan berangkat menuju Surabaya. Tidak bisa naik kereta karena tiketnya sudah ludes, akhirnya saya pun naik Bus menuju Terminal Giwangan. Saya sengaja naik Transjogja karena yang pertama pengen tahu rutenya menuju Giwangan dan kedua, tarifnya lebih murah hanya Rp 3.700,-. Selama di transjogja ini saya mendapati fenomena yang membuat saya lebih bersyukur, yaitu kernet dari Transjogja yang seorang wanita mungkin baru lulus SMA, dia tidak diberi libur pada hari Lebaran dan harus menjalankan tugasnya sebagai kernet Transjogja di saat Lebaran. Rasanya sudah hampir nangis mendengar penuturannya, tapi saat melihat mata mbak itu saya menemukan kekuatan bahwa dia melakukan pekerjaannya dengan ikhlas dan tulus. Masya Allah....
Sesampai di Giwangan, saya jalan lurus aja setelah membayar peron. Entah ini kemana, tapi yang jelas saya mencari bus jurusan Surabaya. Sempat ditawarin oleh beberapa orang yang nanya mau kemana, saya ga jawab tapi mereka langsung ngerti saya mau ke Surabaya. Soalnya di tas saya ada pin bertuliskan I love Surabaya. Hahaha... 
Ohhh....ternyata gini toh kondisi terminal Giwangan, satu kata “sedih”. Terminalnya tidak tertata, sepi, kotor, dan bau. Tidak tertata karena papan petunjuknya tidak jelas, penumpang kan jadi nggak tahu kalau mau kemana-mana, sepi karena ini H-1 Lebaran tapi orang-orangnya tidak sampai berjubel seperti di Bungurasih yang biasa saya lihat, kotor karena sampah dimana-mana, dan tentu saja baunya nggak karuan. Saya melihat ke arah para pengamen yang sedang duduk-duduk dan merokok sambil melamun, bingung mungkin mau ngamen ke siapa karena terminalnya sepi. Kemudian nah ini! Sampailah saya di Bus tujuan , tiba-tiba saya ditanya “Suroboyo mbak?” saya mengangguk, “Terminal apa mbak?”. “Bungur pak...” trus saya diperbolehkan naik dan bus pun berangkat.
Selama perjalanan saya menghabiskan waktu dengan tidur dan melihat jalan. Ya iya, mau ngapain juga kan... matahari pun mulai bergerak perlahan ke arah barat dan bis sudah berada di daerah Mantingan yang merupakan tempat pondok pesantren terkenal di Indonesia yaitu Gontor. Di depan pondok pesantren itulah saya mendengar suara adzan maghrib terakhir di bulan Ramadhan tahun ini yang menandakan bahwa Ramadhan telah meninggalkan kita. Masya Allah... antara sedih, senang, haru, momen yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Merasakan buka puasa Ramadhan di dalam Bus di depan Ponpes Gontor yang lulusannya tak diragukan lagi. Tiba-tiba saya kepikiran, kalau nanti punya anak ingin saya titipkan di pondok pesantren tersebut agar akhlaqul kharimah.
Suara Takbir berkumandang melewati Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya sampailah di Surabaya pada jam 22.30. Turun di terminal Bungurasih, saya mengambil tempat duduk yang biasa saya tempati ketika menunggu jemputan. Saya melihat perlahan ada seorang laki-laki yang secara fisik kurang sempurna, ia tidak memiliki tangan dan kakinya pun sangat kecil. Sedih sekali melihatnya, ya Allah udah pengen nangis ini ngeliat sosok tersebut di antara kerumunan orang. Ketika itu saya lihat ada 1 orang yang memberi sedekah kemudian diikuti oleh beberapa orang lain, tampak raut senyum di balik topinya. Dimanakah dia tinggal? Sehari-hari pekerjaannya apa? Beribu pertanyaan muncul di benak saya yang membuat saya kembali lagi, sangat bersyukur diberi hidup seperti ini.
Beberapa menit kemudian terlihat dari kejauhan Ibu dan Bapak yang menjemput dan mengajak pulang. Jam 23.00 tepat saya sampai di rumah, tapi malam ini tidak bisa langsung tidur. Entah kenapa, saking senangnya mungkin bisa ada di rumah di malam takbiran. 
Keesokan harinya hari Idul Fitri yang dinantikan. Sungkem dengan Ibu dan Bapak, ngobrol dengan Adik semata wayang. Menyiapkan makanan ringan dan tempat untuk para tamu, berkunjung ke tetangga, silaturahim ke rumah Nenek Surabaya dan bertemu banyak saudara-saudara yang membuat hari itu terasa sangat cepat. Berbagai obrolan mengalir, tertawa bersama, bercanda, saling menjahili, momen langka yang bisa saya alami mungkin hanya setahun sekali ini. Ketika bisa tertawa lepas tiada henti, makan makanan yang bermacam-macam. Alhamdulillah....
 ini keluarga saya :)

 bersama sepupu (Anggi, Adek Angga, saya dan Tita)

Sorenya kami sekeluarga mudik ke Tuban, ke rumah Kakek dan Nenek yang ada di Tuban. Sesampainya di sana langsung tepar dan tidur karena sudah malam. Baru keesokan harinya silaturahim dengan saudara-saudara di sekitar Desa, bertemu dengan mereka yang hanya setahun sekali. Saya kembali ingat dulu kami masih kecil-kecil dan setiap semester selalu berlibur ke Desa, sedangkan sekarang? Momen itu benar-benar menjadi momen berharga yang tak bisa diulangi lagi. 
“Beradalah di momen kini, karena inilah satu-satunya tempat Anda akan menemukan kedamaian” 
– Ajahn Brahm
Mendengarkan cerita dari Mbah Kakung yang mengeluhkan beberapa alat elektronik kesayangannya seperti kipas angin dan alat pijat yang rusak, menjadi hiburan tersendiri. Karena mbah Kung masih sangat bersemangat buat pergi ke tempat servis yang letaknya sekitar 10 km dari rumah dan mau naik Bis sendiri. Kami para anak dan cucunya tentu saja menentangnya, gimana nggak? Mbah Kung usianya sudah tidak muda lagi dan kami tentu saja nggak tega membiarkannya pergi sendirian. Meskipun begitu, beliau masih ngotot. Kami pun membujuknya kalau tempat servis di hari raya begini pasti masih tutup. Gelak tawa yang diciptakan karena perilaku Mbah satu ini membuat kami semua semakin hangat. Kemudian kami pamit untuk kembali pulang ke Surabaya karena besok masih ada acara keluarga lagi, yaitu halal bihalal keluarga Bani Ismoe dan Bani Ibrahim Masdar.
Sewaktu pulang, kami mampir di tempat yang tahun lalu juga kami singgahi, yaitu rest area di Baureno, Bojonegoro. Nggak ngapa-ngapain sih sebenarnya, cuman seneng rame-ramenya aja, diberi konsumsi mie dan segelas teh doang sambil istirahat dan ngelihatin jalan. Eh tapi kok banyak Bus ke Jogja lewat sini ya? Lah bukannya lebih jauh dibanding lewat Jombang? Ternyata setelah dilihat-lihat nggak juga lho...karena daerah Jombang macet parah, maka para Bus itu beralih lewat Bojonegoro. 
Hari Minggunya, masih ada acara lagi yaitu halal bihalal keluarga Bani Ismoe dan Bani Ibrahim Masdar yang diadakan di salah satu rumah makan di Surabaya. Saya termasuk panitia di acara tersebut bersama sepupu-sepupu lainnya. Acara yang berlangsung cukup meriah dan ramai. Tapi sejujurnya ya, saya belum banyak yang kenal sama keluarga dari Ibrahim Masdar meskipun setiap tahun ketemu, karena ketemunya hanya setahun sekali dan setelah itu selesai. Begitu terus tiap tahun, akhirnya muncullah ide supaya dibentuk panitia gabungan supaya antara kedua keluarga besar Kakek ini bisa lebih kenal. Tapi tentu saja saya nggak bisa jadi panitia, karena saya yang selalu di luar kota.
 bersama sepupu-sepupu dan Tante

sepupu cowok memang jadi makhluk langka di antara kami, kebanyakan cewek :D


ini foto kami di panggung. Rumpik dan rame banget emang sama sepupu, Bude, ponakan, semuanya ada..

Setelah acara selesai, malamnya sekitar jam 19.00 saya berangkat ke Jogja dengan naik Bus, diantar ke terminal. Eh ternyata kehabisan Bus PATAS. Ada sih Bus ke Jogja, tapi Bus Ekonomi dan saya nggak mau karena pasti ya you know lah. Akhirnya ada seorang kenek dari Bus yang nawarin buat naik Bus arah Purwokerto tapi nanti lewati Jogja jadi bisa naik itu dengan tarif yang sama seprti Bus Jogja lainnya, Rp 125.000,-. Ya udahlah saya naik bus itu aja, tapi ternyata setelah naik pelayanannya kurang oke. Meksipun Busnya lebih bagus, tapi saya mendapatkan kesan kurang bagus selama naik Bus ini karena beberapa alasan dan saya nggak recommended lah naik Bus lagi, mending naik kereta.
Ternyata kemacetan yang dikatakan oleh radio Suara Surabaya nggak terbukti, buktinya saya berangkat dari Surabaya jam 20, bisa sampai di Jogja jam 3 dini hari, itu artinya normal kan perjalanan 7 jam. Kemudian saya nanya ke mamang ojek ke Kosan saya berapa tarifnya? Eh dia bilang 30ribu. Mahal banget ya? Padahal ga jauh-jauh banget lho. Akhirnya dia mau dengan tarif 20ribu. Tapi saya bilang biasanya 15ribu. Dia ngeyel katanya ini Lebaran jadi lebih mahal, yaela kena tuslah deh semua-muanya. Saya diem aja akhirnya mencoba menghubungi teman saya yang jelas pasti masih pada tidur. Akhirnya beberpa menit kemudian dia meng”iya”kan dan mau nganter saya, hahaha.... akhirnya, meskipun kaya agak gak ikhlas gitu. Ya udahlah saya kasih aja tarif yang dia mau, ga tega juga ngeliatnya kan dia udah bela-belain subuh-subuh kerja demi dapat uang buat keluarganya.
 
Alhamdulillah sampai lagi di Jogja dengan selamat dan siap untuk menjalani hari ini yang langsung mulai praktek lagi di Puskesmas.


“If you keep going , one step at a time, one brick at a time, there’s nothing you can’t achieve
-Ajahn Brahm.

Btw, saya habis beli sebuah buku yang berisi 365 petikan pencerahan dari seorang ahli meditasi Ajahn Brahm yang membuat saya semakin mengerti arti compassion, life in the present, and being happy all the time. Recommended sekali untuk dibaca! 

bukunya hanya sebesar genggaman, praktis banget.

Komentar