Stase Rumah Sakit Jiwa


Sudah 19 hari ini kami berada di tempat yang tidak pernah sebelumnya kami pikirkan untuk kami berada di sini. Menilik ke masa lalu, sekitar kelas 3 SD saya pernah diberi Bapak sebuah boneka yang terbuat dari benang wol yang katanya Bapak ini adalah hasil karya orang dengan gangguan jiwa. Saya menyukai boneka mungil dengan gantungan kunci itu, hingga saya pindah rumah dan akhirnya tidak menemukan dimana benda itu. Dulu saya berpikir, “Wah hebat ya, orang dengan gangguan jiwa bisa membuat karya ini.....”
Dan 15 tahun berlalu.....
Saya berada di hadapan mereka yang sedang membuat karya-karya untuk bisa tetap menjadi manusia produktif.
Tempat ini memberikan saya banyak pelajaran hidup. Sejak pertama kali masuk ke RSJ yang terletak di Lawang, Malang ini. Mulai dari kami yang harus mengangkat koper dengan berat yang tidak tanggung-tanggung, bergotong royong bersama demi kebaikan bersama. Saya menjadi terharu ketika di antara kami menjadi seperti saudara sendiri. Kami yang berangkat di gelombang 1 RSJ berjumlah 16 orang ini berangkat layaknya gelas kosong yang siap menerima ilmu di tempat ini.
Hari pertama, semangat masih on fire... kami bangun jam 4 untuk segera mandi karena jam 7 kami harus sudah di lapangan mengikuti apel pagi. Kami makan pagi pake antri bersama para Ners Muda dan Dokter Muda yang juga sedang praktek di tempat ini. Kemudian kami apel dengan membaca visi misi RSJ, kami jadi tahu visi misi RSJ. Kemudian kami diberi pengarahan oleh Psikolog dan diajak jalan-jalan ke ruangan rawat inap.
Awalnya deg-degan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini benar-benar lingkungan yang baru bagi kami. Saya juga termasuk, karena meskipun saya berasal dari Jawa Timur tapi lingkungan orang-orang Rumah Sakit merupakan lingkungan yang masih belum saya kenal. Perawat-perawat senior yang ada di ruangan baik-baik, mereka memberikan kami rekomendasi pasien-pasien yang sekiranya belum akan dipulangkan sehingga kami masih bisa berinteraksi dengan mereka.

Saya ditempatkan di ruangan dewasa wanita kelas 3. Ruangan ini berisi 30 orang, cukup banyak dibandingkan dengan ruangan lain. Setiap harinya kami berangkat jam 8 ke ruangan, mengobservasi bagaimana pasien-pasien tersebut dan melakukan asesmen untuk bisa melakukan intervensi.

Di awal-awal proses kami agak kesulitan untuk melakukan pendekatan, karena memang tidak mudah mendekati orang dengan schizophrenia. Orang dengan schizophrenia memiliki karakteristiknya masing-masing. Saya memutuskan bahwa saya akan mengintervensi seorang pasien yang berasal dari Kabupaten Malang. Eh tapi beberapa hari kemudian saya dibuat patah hati karena dia mengatakan bahwa akan dijemput oleh keluarganya. Beruntungnya saya karena saya belum terlalu banyak melakukan asesmen. Ya berarti Allah sudah memberikan alarm kepada saya untuk segera mencari pasien lain yang bisa diajak untuk belajar bersama.

Pasien yang selanjutnya saya ajak untuk berproses bersama ini masih terlihat halusinasinya, mekipun sudah sedikit sekali. Saya memperhatikannya dengan seksama karena tertarik dengan peirlakunya yang mudah bergaul dengan pasien lainnya. Ia selalu tertawa dan tersenyum, meskipun hal tersebut menyakitkan baginya. Saya belajar banyak dari pasien yang jika kami para psikolog menyebut adalah klien. Klien ini membuat saya belajar bahwa saya harus selalu banyak bersyukur. Saya seharusnya malu memiliki perilaku yang masih sering protes terhadap banyak hal. Banyak juga  kejadian lucu dan tak terduga kami alami.

Tidak hanya satu pasien, di tempat ini saya menargetkan untuk berproses bersama 2 pasien. Pasien pertama berusia 26 tahun, sedangkan yang kedua 45 tahun. Mereka berdua masuk dengan keluhan yang hampir sama yaitu marah-marah dan suka berjalan-jalan sehingga mengkhawatirkan keluarga. Mereka berdua berasal dari keluarga yang mendukung pengobatan, namun tetap akar dari masalah mereka adalah dari keluarga pula. Saya menjadi skeptis, ada apa dengan keluarga? Ya bagaimanpun juga, keluarga adalah sistem terkecil dimana individu berasal. Ketika keluarga selalu memberikan tekanan, maka hal itu akan membuat pertahanan dan mekanisme individu perlahan runtuh sehingga bisa membuat gangguan jiwa. Untuk bisa masuk ke dalam klasifikasi gangguan jiwa, perlu berbagai hal yang harus dipenuhi. Hal itu lah yang saya pelajari disini. Tidak hanya itu, bagaimana berkomunikasi dengan mereka, menerima mereka apa adanya, hingga melakukan intervensi kepada mereka dengan terapi yang dimiliki oleh ilmu psikologi. Menerima mereka dengan apa adanya, tidak bisa dilakukan oleh orang awam. Banyak stigma yang berkembang di masyarakat bahwa orang dengan gangguan jiwa harus dijauhi, itu salah besar. mereka berperilaku aneh karena memang itu efek dari penyakitnya.

Di RSJ saya juga belajar bahwa beban kerja Perawat itu sangat tinggi. Beban kerja mereka tidak hanya mengasuh pasien, tapi juga membersihkan lingkungan pasien, dan menjaganya agr tetap steril. Belum lagi jika ada pasien yang kambuh, para perawat adalah garda terdepan yang melakukan tindakan terhadap pasien. Saya sangat salut dengan pekerjaan Perawat semenjak di RSJ ini.
Dari 2 klien ini saya juga menjadi kenal dengan masyarakat lebih dekat. Mendapati bahwa gangguan jiwa menjadi masalah yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Maka, tekad untuk “Bangunlah jiwanya, bangunlah bangsanya...” akan tetap terus menyala dalam sanubari ini. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh seorang anak bangsa macam saya, tapi saya Bismillah mengabdikan diri demi negara tercinta yang selalu menerima saya dengan apa adanya.

Semoga kami semua selalu dilancarkan dalam 11 hari ke depan menjalani hari di RSJ. Ini akan menjadi satu kenangan indah dalam hidup saya bisa merasakan kesempatan ini. So, just enjoy it!

Mapronis Strong ! 

Komentar