An Interview with someone I admire



Saya merasa sangat beruntung dikasih kesempatan bisa kuliah disini dan bisa terhubung dengan orang-orang hebat di institusi ini. Sebelumnya, saya bisa dibilang cuma dihitung pake jari yang namanya komunikasi dengan Profesor. Gelar akademik tertinggi yang diakui oleh seluruh penjuru bumi. Apalagi coba kalau udah Profesor? Adakah yang lebih agung dari gelar tersebut untuk gelar akademik tertinggi? Nggak ada...

Ada seseorang yang saya kenal cukup dekat selama setahun belakangan ini, siapa lagi kalau bukan dosen pembimbing tesis saya, Prof N. Beliau adalah salah seorang guru besar yang memiliki segudang prestasi di tingkat lokal institusi hingga tingkat nasional. Maka dari itu, beliau termasuk jajaran orang sibuk di kampus, yang selalu bolak balik luar kota. Berbagai peran akademik sudah beliau tempati, mulai dari dosen muda hingga dekan. Belum lagi peran di luar sana yang membuat beliau begitu sibuk dengan berbagai pertemuan-pertemuan penting membahas kemajuan psikologi.

Well, kesibukan beliau memang sesekali membuat kami mahasiswa bimbingannya menjadi sulit menemui. Tapi di balik itu semua, beliau selalu bercerita kepada kami mengenai kesibukannya tersebut. Apa saja yang sudah dilakukannya serta berbagai kearifan yang ditularkan kepada kami.

Pada suatu siang, saya pernah bertemu dengan beliau untuk membahas tentang tesis. Kelar membahas tesis yang cuma sekitar 10 menitan. Beliau kemudian mulai membahas tentang keluarga secara kebanyakan, kemudian beliau menceritakan tentang keluarganya yang ternyata terdiri dari 10 orang. Beliau adalah anak bungsu dari 10 orang tersebut. Bapak beliau adalah seorang guru, ibunya adalah ibu rumah tangga. Kebanyakan dari anak-anaknya kemudian memilih jalur pekerjaan di bidang pendidikan. Beliau salah satunya. Ada juga yang bekerja di bidang medis menjadi dokter. Beliau bercerita bahwa ada kakaknya yang pernah menjadi kepala rumah sakit ternama di kota Malang yang sangat arif dan jujur sehingga membuat rumah sakit tersebut kian maju. Beliau belajar banyak dari kakaknya tersebut. Satu per satu beliau menceritakan kisah saudara-saudaranya yang menjadikan beliau saat ini sedemikian rupa. Bahwa kita sebagai manusia itu ternyata sudah diatur sedemikian rupa. Begitu juga dengan pertemuan saya dengan beliau di hari ini, waktu ini, detik ini, membahas topik ini, adalah suatu hal yang sudah digariskan oleh-Nya. Manusia sudah diberi chip oleh Tuhan yang berasal dari Lauhul Mahfudz yang kemudian menjadikan manusia bisa ada di kondisi ini.

Kemudian beliau mengatakan tentang nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya terhadap seluruh anak-anaknya, yaitu ada 3. Yang pertama adalah agama, bahwa agama adalah pondasi terpenting dalam mengarahkan perilaku individu. Kedua, adalah ilmu atau pendidikan yang merupakan bekal seseorang untuk menggapai hidup yang lebih baik. Orangtua telah memberikan kesempatan untuk bersekolah hingga jenjang yang tinggi agar anak-anaknya bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Ketiga adalah nilai kemuliaan yang maksudnya adalah berbuat baik kepada sesama. Perbuatan menolong dan meringankan beban orang lain juga merupakan anjuran dalam agama. Maka, sudah selayaknya manusia melaksanakannya. Itulah yang akhirnya mengantarkannya bisa menjadi seseorang seperti sekarang.

Mendengarkan beliau bercerita, menurut sebagian orang terasa membosankan. Tapi entah kenapa saya selalu senang dan merasa mendapatkan banyak pelajaran ketika beliau bicara. Meski pada konteks tertentu saya kurang begitu setuju, yaitu saat membahas kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan orangtua kepada anak. Pada jaman dulu, ia beberapa kali pernah dipukul oleh orangtuanya tapi sekarang nyatanya beliau bisa menjadi profesor. Nah ini saya kurang setuju...itu kan pola asuh yang diterapkan di zaman dahulu. Sekarang seiring berjalannya pengetahuan dan teknologi, berbagai penelitian menyebutkan bahwa anak yang dikenai kekerasan fisik justru menunjukkan perkembangan yang tidak ke arah lebih baik.

Bagi beliau, menjadi manusia yang sombong di dunia ini tidaklah berguna. Meski beliau saat ini sudah menjadi profesor dan menduduki jabatan fungsional tertinggi, beliau merasa masih harus banyak belajar. Beliau merasa bahwa ilmunya saat ini hanyalah seperti butiran air di samudera yang luas. Beliau “hanya” ahli di bidang psikologi klinis, tapi kemudian lebih mengerucut lagi “hanya” mengetahui tentang psikologi kesehatan. Lah terus apa yang harus disombongkan? Ketika ditanya tentang psikologi pendidikan atau industri organisasi beliau nggak akan bisa menjawab dengan mumpuni karena bukan bidangnya.

Satu hal lagi yang kemudian membuat saya menjadi sadar akan arti bersyukur. Terkadang kita lupa mengucapkan syukur meski dalam hati ketika mendapati hal-hal baik maupun buruk. Kalau buruk, kita seringkali mengumpat, tapi kalau hal-hal baik terjadi kita seringkali mendapati bahwa ini adalah keberuntungan. Bukan... karena ini juga sudah diatur oleh Tuhan sesuai dengan usaha yang telah kita lakukan sebelumnya. Arti penting bersyukur adalah “mencukupkan diri”, tidak ingin terlalu berlebihan. Seperti halnya beliau yang selalu berusaha bersyukur dalam hal apapun itu. Bahkan ketika kita bersyukur, hal-hal yang jauh lebih baik akan datang kepad akita tanpa disangka dan dinyana. Tak akan pernah bisa ditebak rencana dari-Nya. Sampai detik ini, beliau sangat bersyukur masih diberi nikmat sehat, keluarga yang terdiri dari istri yang juga seorang profesor dan kedua anaknya yang saat ini menjadi dokter spesialis.

Masya Allah... saya merasa tertampar. Kalau beliau aja merasa butiran air, apalah saya ini yang cuma sepersepuluhnya butiran air, nggak keliatan di samudera yang luas milik Sang Pencipta. Memang masih kudu banyak belajar dan belajar lagi, memperbaiki diri lagi.
Siang itu, saya keluar dari ruangan dengan perasaan lega luar biasa. Ada yang saya sadari, bahwa tiap detik tiap waktu harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Bersyukur sepanjang hari, atas segala nikmat yang Tuhan berikan. In sha Allah hidup akan menjadi lebih mudah...

Terima kasih banyak, Prof.

Komentar