Tentang dipertemukan


"Ketika semua sudah siap tertata, kita akan tercipta dengan sendirinya."
Begitu unik cara semesta mempertemukan kita. Tidak ada yang pernah menyangka, bahwa kamu yang tak pernah sekalipun kutemui sebelumnya, kelak akan menjadi pendamping dalam tiap hari-hariku.
Cerita ini memang tentang kisah cinta, yang akan dan terus menjadi kisah favorit bagi kita. Ya, kita. 

Berawal dari bulan Oktober 2017, di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kamu yang mengisi acara sebagai narasumber dan aku sebagai konselor untuk siswa. Mata kita bertemu, tanpa rasa. Hanya sekelebat, diskusi kecil yang membuatku justru sedikit ilfeel. Aku yang cenderung menaruh diam dalam komunikasi awal, dan kamu yang terlihat mendominasi pembicaraan di kelompok. Tampak jumawa dan menyebalkan, itu kesan awal bertemu dengannya. Lalu acara selesai, dan kita kembali ke kehidupan masing-masing, menjalani hari-hari seperti biasanya. 

November 2017
Tak pernah menebak frekuensi apa yang membuat mata kita bertemu lagi. Kata hati menuntunku untuk pergi ke kota ini, untuk bisa bertukar pengalaman dengan adik-adik SMA yang masih galau dengan pilihannya tentang jurusan kuliah. Dalam project sosial itu, kita kembali berinteraksi, yang lebih mendalam. Ternyata, beberapa kesamaan kita dapatkan. Mo Salah dan Liverpool menjadi jembatan pembicaraan lebih mengalir. Kamu yang tertarik dengan topik psikologi dan pengembangan diri, memberikan rekomendasi buku dan artikel. Aku yang terlalu akademis, mulai membuka wawasan baru tentang pandangan orang awam terhadap makna hidup yang menjadi topik tesisku, yang ternyata tidak seserius itu. 

Narasumber dari Sharing Session Chapter Lamongan.
Tebak saya dan dia yang mana? 

Desember 2017 
Bapakku dirawat 10 hari di Rumah Sakit. Kondisi keluargaku yang sedang tidak baik, karena melihat hasil cek lab Bapak yang kian memburuk, membuatku harus menguatkan diri. Demi Ibu yang setia mendampingi Bapak dan Adik yang masih sibuk mengerjakan skripsi. Aku tak lagi memikirkan kondisi diri, yang kupikirkan adalah bagaimana keluarga kami tetap survive untuk menjalani hari. Menjaga wellbeing dan kesehatan tetap baik, serta selalu berusaha ikhlas dan pasrah terhadap ketentuan-Nya. 
Di kondisi itu, kamu datang tanpa diminta. Kamu jadi tahu kondisi Bapak, Ibu dan Adikku. Entah itu tulus atau hanya bersimpati saja. Kita terlibat percakapan hingga larut, meski percakapan itu berpusat pada dirimu, aku tak sampai hati memotongnya. Karena di kala itu aku jadi tahu, kamu pun sedang tidak baik-baik saja. Maka, mendengarkan adalah cara terbaik yang bisa kulakukan dengan pikiranku yang masih berkecamuk dan melayang-layang entah kemana.

Februari 2018
Kamu memutuskan bergabung menjadi tim teknikal dan pemandu acara di komunitas. Aku yang baru sah bergabung setelahnya, menjadi salah satu orang yang harus kamu wawancara. Pembicaraan yang terkesan canggung layaknya talkshow Kick Andy ini menjadi tak biasa, bagimu. Bagiku, ini masih biasa saja layaknya teman dalam suatu organisasi yang bekerjasama untuk kesuksesan program.


Namun hal ini mulai tidak biasa, ketika pada momen dimana aku berada di titik terendah dalam hidup. Bapak meninggal dunia. Orang yang menjadi role model dan selalu memberiku kata-kata sederhana penuh makna. Rasanya pikiranku kosong, seisi duniaku runtuh dan tak ada pijakan yang sanggup menopang. Berusaha terlihat tegar dengan senyum tipis terpajang, namun di dalam hati aku memikirkan ribuan kemungkinan kelanjutan hidupku, keluargaku. Apa aku sanggup melanjutkan hidup? Apa aku masih bisa melihat mentari dengan rasa yang sama?
Ternyata memang tidak. 
Keluarga dan sahabat terdekat berusaha memberiku penghiburan. Menunjukkan sikap empati yang tulus ikhlas, membuatku menjadi lebih yakin untuk bisa bangkit.
Kamu pun juga. Yang tanpa diundang dan tanpa setingan, ternyata berada di samping kiri saat Bapak dimakamkan. Aku baru menyadarinya saat ada yang mengirimkan foto padaku.



Maret 2018
Sehari sebelum hari ulang tahunmu di bulan Maret, kamu akan pergi ke Thailand. Waktu aku tanya diantar siapa, katamu, "Kaya anak SD ya dianterin sama ibu bapak?" dengan tanpa dosa aku menawarkan, "Mau kuanter juga?" Lalu kamu menjawab dengan malu-malu tapi penuh harap, kalau tidak mau. Tapi akhirnya tetap mau. Saat itu, untuk pertama kalinya aku bertemu kedua orang tuamu ketika di Bandara, bersama dengan ibuku. Sedikit canggung kami terlibat obrolan singkat yang berakhir dengan Ibumu bilang padaku, "Kapan-kapan main ke Lamongan ya....." kujawab dengan Insya Allah.

April 2018
Sepulangnya dari Thailand, kamu datang di hari ulang tahunku pagi-pagi. Bahkan sebelum aku mandi untuk berangkat kerja. Kupikir siapa, yang pagi sekali datang ke rumah. Ternyata, kamu dengan kejutan yang sama sekali tidak kusangka. Sukses membuatku terkedjoet. Berangkat dari rumah sejak Subuh dengan membawa kado yang isinya lego dari Thailand yang jika disusun membentuk Doraemon dan sebuah Kindle paperwhite. OMG! Ini barang yang waktu itu pernah kita bahas, tapi aku tidak pernah sekalipun terpikir bahwa kamu akan membelinya dan menularkan kebiasaan membacamu lewat Kindle padaku. 

Mei 2018
Semakin kesini, semakin aneh memang rasanya. Sesekali saat kamu pulang kerja, menyempatkan untuk ke rumah sekedar numpang sholat atau istirahat sebentar sebelum pulang ke Lamongan. Sampai di satu titik, ada hal yang rasanya mengganjal jika tidak dibicarakan. Mau dibawa kemana hubungan ini?
Sudah kuduga, bahwa kamu mulai berpikir untuk serius denganku. Aku memang tak berani untuk bertanya duluan, karena rasanya masih berat bagiku untuk memikirkan hal itu, dimana kondisinya aku masih berusaha untuk menata kembali kondisi psikologis keluargaku. Dan kamu adalah orang tersabar yang bisa menungguku dalam berpikir.
Hingga di akhir bulan itu kamu berani mengajakku untuk....... menikah.
Aku masih terdiam dengan mata bertanya-tanya. Yakin? Beneran siap? Ngga segampang itu...
Kita memang sering berdiskusi soal hubungan, tapi aku tidak menyangka bahwa secepat ini kamu ingin memastikan. Banyak hal yang jadi pertimbangan. Mulai dari perbedaan usia, perbedaan cara pandang dan menyikapi suatu hal. Kita masih sama-sama skeptis dengan pernikahan, sehingga kita sering terlibat diskusi tentang topik ini. Komitmen dan 2 aspek lain dalam cinta yang ada dalam segitiga Sternberg, prakteknya tidak semudah itu. Butuh banyak hal yang harus dipersiapkan, dan aku masih ragu.

Juni 2018
Kemudian aku mengingat sebuah pernyataan yang pernah kutanamkan pada pikiranku, bahwa jika memang ada orang yang serius denganku, bukan dia yang bilang "I love you" setiap harinya. Tetapi dia yang berani meminta langsung kepada orang tuaku.
Kukatakan padamu tentang hal itu, dan kamu dengan mantap menjawab mau. Beberapa hari kemudian, kamu datang bersama kedua orang tuamu untuk membuktikan niat baik yang ingin kamu mulai.

Dengan menyebut nama Allah, Bismillahirrahmanirrahim....
Keyakinan itu datang.
Bukan, bukan tiba-tiba..
Sejujurnya aku sudah membuka kesempatan untuk diriku bisa berproses bersama orang lain melalui pernikahan. Aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari dengan mengikuti kajian saat di Jogja, belajar ilmu keluarga saat kuliah, diskusi dengan teman-teman yang sudah berkeluarga lebih dulu, dan membaca hal-hal terkait pernikahan. Ilmuku memang masih terbatas, tetapi dalam doa di sepertiga malam, Allah memberikanku jawaban dengan keyakinan hati.

Meski proses kita tidak sepanjang kisah pasangan-pasangan lainnya untuk saling mengenal. Justru itu yang membedakan. Aku dan kamu tidak melalui proses pacaran dan tanpa ungkapan sayang cinta betebaran. Namun jika Allah sudah menggariskan, maka lewat jalan yang tak pernah disangka-sangka, hal itu menjadi kenyataan.

Juli 2018
Silaturahim keluarga besar dan penentuan hari baik pernikahan. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar dan tidak ada kendala yang berarti.
Bagian terlucu dari kisah ini, mungkin adalah pertanyaan teman-teman di komunitas dimana kita berada. Mereka hanya sebatas menggoda namun tidak menyangka akan secepat dan seserius ini dengan proses kita. Memang kita pun tidak ingin memperlihatkan rencana-rencana atau terlihat terlalu sibuk dengan persiapan ini itu. Semuanya berjalan sewajarnya saja. Bukan berarti momen menikah itu biasa saja, tapi jika dihadapi dengan santai dan calm down akan terasa lebih nyaman saja. 

Beberapa waktu menuju pernikahan, kita masih syuting untuk program komunitas. Tidak ada yang menduga jika di antara mereka, akan ada yang menjadi sepasang suami istri. Seperti di dalam cuplikan foto ini. 

Awal 2019
Kita mulai berbicara dengan beberapa orang terdekat tentang rencana pernikahan yang akan berlangsung pertengahan Maret. Banyak dari mereka yang kaget, dan tentunya ikut gembira. Berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdoa supaya diberi lancar menuju hari H dan setelahnya. 

Allah memang Maha Baik. Bukan berarti tidak ada kendala sedikit pun yang kita rasakan. Tentunya ada ketidakcocokan, kerikil-kerikil kecil yang membuat kita berkonflik, tapi itu tidak berlangsung lama dan mudah diatasi. Karena kita tahu, bahwa sesungguhnya menikah itu adalah sama-sama belajar. Terkadang ketika aku yang keras kepala, kamu berusaha mengalah. Begitupun sebaliknya. 
Beberapa hal tentang pemakluman memang dibutuhkan, tetapi masing-masing harus bersedia untuk belajar. 
Pada akhirnya, semua ini tentang saling melengkapi dan tidak takut untuk berubah. Berubah ke arah yang lebih baik tentunya. Meski memang tak mudah, tapi berusaha untuk fleksibel dan memahami pasangan serta jalan pikirannya, adalah kunci untuk tetap bertahan dalam komitmen. 

Maret 2019
Janji Allah itu memang nyata. Bahwa Allah akan memberikan yang terbaik di waktu yang tepat. Mungkin saja dulu aku belum boleh menikah di usia 23 tahun, dimana saat itu aku merasa siap. Tetapi ternyata saat itu emosiku belum stabil. Sehingga ketika usiaku sekarang, Allah mengatakan bahwa ini adalah waktu yang tepat dan aku benar-benar bersyukur atas waktu yang tepat ini.

Tidak ada waktu yang kaku untuk setiap orang memulai berproses dalam pernikahan. Masing-masing punya timelinenya. Jadi, tidak perlu membandingkan dan menyamaratakan pengalamanmu dengan orang lain. Seperti kita, yang meski berbeda angkatan saat kuliah, beda latar belakang keilmuan, beda kampus saat kuliah, beda usia yang tidak terlalu jauh,  ternyata denganmu Allah menjodohkanku. 
Ini semua memang tentang kesiapan, tapi juga kuasa Allah dalam mempertemukan.

Kisah ini baru saja dimulai. Menjalani peran baru sebagai suami dan istri, nantinya akan menjadi orang tua, serta punya orang tua baru yang berusaha kita bahagiakan. 

Mohon doanya semoga kita bisa menjadikan keluarga ini menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Diberkahi dalam kebahagiaan dan kesulitan, serta semakin mendekatkan pada ridho Allah.  Aamiin ya robbal alamin.....



Sesaat setelah ijab kabul, kaya udah sohib banget sama Pak Penghulunya

    Kita bersama orang tua (Bapak diwakili oleh Om saya dari Aceh).


Kirab di Resepsi acara Surabaya dan Lamongan

Komentar