Berjuang dengan bertahan

Sudah lebih dari dua bulan ini masyarakat Indonesia menjadi "orang rumahan" karena adanya anjuran dari Pemerintah untuk #stayathome. Berbagai aktivitas yang dulunya bisa dilakukan di luar rumah, sekarang menjadi terbatasi. Jika sebelumnya bisa dengan mudah melakukan kegiatan  tatap muka secara langsung, saat ini hanya bisa secara virtual. Rasa jenuh mulai melanda. Kita semua mulai menyadari jika kodrat sebagai makhluk sosial benar adanya, bahwa memang kita tetap butuh terkoneksi dengan orang lain untuk menjaga kewarasan diri.

Saya, Anda, kita semua, saat ini sedang dalam kondisi yang abnormal alias tidak biasa. Ada perasaan takut, cemas, khawatir, stress hingga mungkin muncul tanda-tanda fisik yang terasa tidak nyaman di badan. Itu kenapa? Beberapa orang menanyakan hal tersebut kepada saya yang kemudian berujung dengan pertanyaan, "Saya nggak papa kan mbak?" Muncul adanya kekhawatiran bahwa diri ini sudah mulai "tidak aman" dengan kondisi sekarang. Membuat kita mulai waspada hingga ada sebagian orang yang bersikap panik menjalani kondisi tanpa kepastian ini. 

Stres dan cemas. Hal ini yang paling banyak dialami. Efeknya telah terasa dalam kehidupan kita. Mulai dari sekolah dari rumah, kerja di rumah, dan segalanya dilakukan di rumah. Bagi mereka yang tidak terbiasa untuk berada di kondisi ini, adaptasinya sungguh tidak mudah. Para orangtua yang setiap hari harus standby membersamai anaknya belajar materi pelajaran, para pekerja yang dengan pola kerja baru melalui online, semuanya saat ini mengandalkan jaringan internet. 

Bagi sebagian dari kita yang pekerjaannya bisa dialihkan ke online, mungkin tidak begitu terasa perbedaannya. Namun bagi mereka yang harus datang untuk bekerja sesuai sektor pekerjaannya, menjadi hal yang tidak bisa dilakukan. Anjuran #stayathome bukanlah solusi bagi mereka untuk tidak terkena resiko penyakit ini. Para pelaku ekonomi terasa dampaknya, sehingga pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terpaksa dilakukan demi menekan kerugian semakin besar. Tidak sedikit pula usaha yang mulai gulung tikar. Kita bisa lihat dari sektor pariwisata yang terdiri dari penyedia transportasi, hotel/penginapan, tempat wisata yang berkurang sangat drastis. 

Para tenaga medis sudah melakukan usaha terbaiknya dengan memberikan kerja keras yang mereka bisa. Berada di rumah sakit untuk merawat pasien dengan gaji yang mungkin saja dipotong untuk keperluan APD. Di masa ini, kita tidak lagi harus bersikap iri atas satu profesi dengan profesi lainnya. Semua profesi itu mulia, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Angka tenaga medis yang banyak berguguran, ditambah kondisi sosial dimana mereka ada yang ditolak dimakamkan di daerah tempat tinggalnya. Hal ini menjadi kejadian menyakitkan yang tentu tidak dilandasi rasa kemanusiaan. 

Ya, saya dan Anda pasti geram dengan berita-berita negatif yang silih berganti datang ke hadapan kita. Mulai dari perilaku orang yang pergi ke supermarket menggunakan APD lengkap, hingga yang baru-baru ini terjadi banyak orang berbondong-bondong ke Mall untuk membeli baju baru tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Reaksi yang muncul dari kita yang berada di rumah, adalah kecewa, marah, sedih dan merasa tidak ada gunanya ini kita yang lebih dari 2 bulan di rumah, eh yang di sana malah keluar aja ke Mall. 

Ternyata, mengatur manusia tidak sesederhana itu. Hal yang sangat kompleks ternyata membuat manusia untuk bisa patuh pada anjuran Pemerintah. Perilaku yang tidak menurut ini, tentu jangan sampai memicu kita yang tetap di rumah untuk berperilaku sama. Justru, kita nanti tidak akan berbeda dengan mereka-mereka itu. 

Kita semua sedang berada di kapal yang sama, berjuang melewati masa-masa sulit ini. Meski dengan cara yang mungkin saja berbeda. Bagi saya, yang orang biasa dan tidak berada di lingkungan medis, stayathome adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. Begitu juga dengan keluarga saya yang saat ini di hari Idul Fitri memilih untuk tidak mudik. Kami semua pasti memiliki rasa rindu, namun hal ini lebih bijak disikapi dengan mengikuti anjuran untuk tinggal di rumah saja. Begitu juga dengan pilihan untuk tidak menerima tamu selama masa Idul Fitri ini. Bukannya kami sombong, hal ini dipilih demi kebaikan bersama. Memanfaatkan teknologi chat, telepon, dan video call, rasanya sudah cukup untuk mengatasi rasa rindu dan tetap menjalin silaturahim. 

Saya jadi ingat dengan sebuah penelitian dari Stanford yang dilakukan oleh Walter Mischel berjudul "Marshmalllow Test." Tes ini dilakukan pada anak kecil dimana mereka diberikan 1 buah marshmallow oleh seorang dewasa, kemudian diberitahu bahwa jika ia diharuskan menunggu 5 menit kemudian orang dewasa tersebut meninggalkannya. Anak kecil tersebut akan dijanjikan diberi 2 marshmallow jika dia tidak memakan marshmallow tersebut selama ditinggal. Hasilnya, ternyata ada yang bisa kuat menahan untuk tidak memakannya, tetapi ada juga yang memakannya. Hal ini berkaitan dengan kontrol diri dan adanya delay gratification pada anak tersebut. Apakah seseorang sanggup menahan untuk tidak nyaman dan menoleransinya hingga nantinya dapat sesuatu yang lebih banyak. 

Saya berusaha mengaitkan kejadian kita saat ini dengan penelitian tersebut. Bahwa saat ini kita sedang dichallenge untuk kontrol diri, men-delay gratifikasi dan tes tentang seberapa patuh pada figur otoritas yang dalam konteks ini adalah Pemerintah.
Apabila kita bisa mematuhinya dan berusaha menoleransinya, maka kita akan segera terbebas dari kondisi pandemi ini. Namun jika tidak, maka semakin lama pandemi ini akan berlangsung di negeri Indonesia. 

Jadi, yuk sama-sama kita berjuang dengan bertahan dalam kondisi ini. Kita semua memang tidak dalam kondisi yang sama, tetapi tujuan kita sama. Kita ingin kehidupan normal seperti dulu, secepatnya, bukan begitu?

Komentar