Malam ini saya belum bisa memejamkan mata, bukan karena nggak ngantuk, tapi ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran. Bisa dikatakan saya tipe orang pemikir, tapi kadangkala saya orangnya easy going, tanpa terlalu memikirkan terlalu dalam suatu hal. Namun malam ini, tipe pemikir itu kembali menghampiri saya. Saya kembali berpikir tentang arti bersyukur. Sepertinya saya sedang dilanda krisis kebersyukuran, kenapa? Melihat beberapa profil facebook teman yang penuh dengan gemilang prestasi, melihat saudara yang bergelimang kekayaan duniawi, melihat kerabat yang subhanallah alimnya kepada agamanya, melihat betapa beruntungnya orang-orang itu, melihat di layar kaca betapa sempurnanya fisiknya? Saya berkaca dengan diri sendiri, saya ini lho apa? Saya ini lho siapa? Bisa apa sih saya?
Sebuah bahaya sebenarnya, saat saya tidak mengakui nikmat yang selama ini Allah berikan. Namun, saya kembali melihat orang-orang tadi, betapa saya ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gemilangnya prestasi yang bisa didapatkan oleh orang-orang itu. Oke, saya memang tidak dikaruniai otak seencer Einstein yang bisa dengan mudah menerima materi, saya juga tidak diberi fisik yang terlalu aduhai untuk dinikmati oleh orang lain, tapi saya punya jiwa dan raga yang Allah berikan kepada saya. Bagaimanapun juga, saya harus memaksimalkan apa yang saya punya.
Melihat seorang kakak tingkat yang bisa bolak balik ke luar negeri karena prestasinya dalam suatu bidang, lancar berbahasa Inggris, mahasiswa berprestasi tingkat nasional atau bahkan internasional, ya jauh lah saya dibandingkan dengan dia ini. Melihat betapa cantiknya seorang artis, bagaimana caranya bisa wajah rupawan tanpa cela begitu. Melihat teman-teman semasa SD sampai dengan SMA yang satu per satu sudah melepas masa lajangnya, entah kalau hal satu ini, saya masih bersyukur karena saya masih ingin single sampai waktu yang belum bisa ditentukan.
Lagi-lagi saya masih belum bisa menerima keadaan, kenapa sih saya ga bisa seperti mereka? Toh ya mereka sama seperti saya, sama-sama makan nasi, sama-sama dari sekitar sini, sama-sama umurnya, eh kenapa mereka bisa berbuat lebih?
Ahh...sepertinya kalau melihat ke atas melulu bisa membuat saya gila karena tidak bersyukur. Lebih baik melihat ke bawah saja, agar kita tahu apa makna bersyukur itu sebenarnya. Melihat teman-teman yang tidak mempunyai orang tua, bekerja banting tulang demi keluarga, mati-matian membiayai sekolahnya sendiri, berjuang meskipun anggota badan kurang lengkap. Dibandingkan mereka, saya berjuta kali ahrus lebih bersyukur kepada Allah.
Saya masih bersyukur ketika sore tadi masih bisa makan pizza hut dengan enak, membeli barang keperluan yang saya perlukan dengan rezeki yang ada, menikmati wajah ganteng Rio Dewanto (eh?), menikmati kegalauan antara memilih IELTS atau TOEFL IBT yang harus saya ikuti untuk beasiswa ke Lund University, dan merasakan krisis kebersyukuran ini, patut disyukuri. Sejatinya, manusia hanya bisa meminta dan berusaha, sedangkan Allah yang Maha Menentukan. Wallahualam bisshawab.
Sebuah bahaya sebenarnya, saat saya tidak mengakui nikmat yang selama ini Allah berikan. Namun, saya kembali melihat orang-orang tadi, betapa saya ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gemilangnya prestasi yang bisa didapatkan oleh orang-orang itu. Oke, saya memang tidak dikaruniai otak seencer Einstein yang bisa dengan mudah menerima materi, saya juga tidak diberi fisik yang terlalu aduhai untuk dinikmati oleh orang lain, tapi saya punya jiwa dan raga yang Allah berikan kepada saya. Bagaimanapun juga, saya harus memaksimalkan apa yang saya punya.
Melihat seorang kakak tingkat yang bisa bolak balik ke luar negeri karena prestasinya dalam suatu bidang, lancar berbahasa Inggris, mahasiswa berprestasi tingkat nasional atau bahkan internasional, ya jauh lah saya dibandingkan dengan dia ini. Melihat betapa cantiknya seorang artis, bagaimana caranya bisa wajah rupawan tanpa cela begitu. Melihat teman-teman semasa SD sampai dengan SMA yang satu per satu sudah melepas masa lajangnya, entah kalau hal satu ini, saya masih bersyukur karena saya masih ingin single sampai waktu yang belum bisa ditentukan.
Lagi-lagi saya masih belum bisa menerima keadaan, kenapa sih saya ga bisa seperti mereka? Toh ya mereka sama seperti saya, sama-sama makan nasi, sama-sama dari sekitar sini, sama-sama umurnya, eh kenapa mereka bisa berbuat lebih?
Ahh...sepertinya kalau melihat ke atas melulu bisa membuat saya gila karena tidak bersyukur. Lebih baik melihat ke bawah saja, agar kita tahu apa makna bersyukur itu sebenarnya. Melihat teman-teman yang tidak mempunyai orang tua, bekerja banting tulang demi keluarga, mati-matian membiayai sekolahnya sendiri, berjuang meskipun anggota badan kurang lengkap. Dibandingkan mereka, saya berjuta kali ahrus lebih bersyukur kepada Allah.
Saya masih bersyukur ketika sore tadi masih bisa makan pizza hut dengan enak, membeli barang keperluan yang saya perlukan dengan rezeki yang ada, menikmati wajah ganteng Rio Dewanto (eh?), menikmati kegalauan antara memilih IELTS atau TOEFL IBT yang harus saya ikuti untuk beasiswa ke Lund University, dan merasakan krisis kebersyukuran ini, patut disyukuri. Sejatinya, manusia hanya bisa meminta dan berusaha, sedangkan Allah yang Maha Menentukan. Wallahualam bisshawab.
Komentar