Saya
sangat beruntung bisa ada di kelas Mapro dan diajar oleh Dosen yang sudah berpengalaman.
Salah satunya adalah mata kuliah metode penelitian kuasi eksperimen. Ini adalah
metode penelitian yang sudah saya pelajari jaman S1 dulu, tapi kurang begitu
mendalam, dan dulu saya nggak ngeh banget sama mata kuliah ini. Tapi di S2 ini,
saya semakin paham dan mengerti seperti apa itu wujud metode eksperimen
psikologi terutama kuasi eksperimen.
Lagi-lagi
di tulisan ini saya tidak akan menjelaskan tentang metpen eksperimen itu
seperti apa, tapi saya sangat seneng dengan cara mengajar dari dosen pengampu
mata kuliah ini. Kami diminta membuat kelompok yang anggotanya 4-5 orang dengan
acak, kemudian diberi tugas per kelompoknya untuk mereview tesis salah satu
kakak tingkat, kemudian dipresentasikan dan dikritisi. Tesis tersebut metodenya
harus eksperimen, kemudian kami sekelompok membahasnya di depan kelas. Banyak
sekali ternyata penelitian-penelitian yang bagus dari kakak tingkat yang sudah
pada lulus semua itu. Tapi seperti yang lain, “Tak ada gading yang tak retak”
artinya setiap tesis atau penelitian pasti punya kekurangan dan kelebihan.
“Karena di setiap
kekurangan, disitulah kita bisa mengambil hikmah”
Beberapa
desain eksperimen yang digunakan memang kebanyakan desainnya untreated control group desin with pre test
and post test, sehingga pasti ada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Tapi dari sinilah muncul berbagai pertanyaan, mulai dari jumlah subjek, ada
atau tidaknya random assignment,
pemilihan subjek berdasarkan apa, hingga operasionalisasi variabel yang ternyata
kurang jelas disebutkan di dalam tesis. Dari sana kami belajar tentang utos,
UTOS dan UTOS* yang merupakan kepanjangan dari unit, tretament, observation dan setting. Penjelasannya adalah, bagaimana sebuah penelitian yang
sudah dilaksanakan, bisa dilaksanakan kepada subjek/responden yang berbeda,
dengan perlakuan/treatment yang berbeda, dan metode yang berbeda, serta tempat
yang berbeda, namun masih dalam satu tema. Nah lho, bingung kan? Saya awalnya
juga bingung..tapi setelah melewati berbagai presentasi akhirnya dapet insight juga tentang konsep ini. Daebak
sekali bapak Rahmat Hidayat, PhD. Salut sama beliau....
Ada
lagi isu yang dilempar oleh beliau, apakah eksperimen harus ada 2 kelompok
yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen? Jawabannya tidak.
Kenapa?
Karena
banyak sekali teori psikologi terutama aliran behavioral yang berawal dari penelitian dengan desain single case post test only, yang ternyata dasar teorinya kuat
dan dipakai hingga sekarang. Contohnya aja penelitian Ivan Pavlov dan BF Skinner
yang jadi dasar teori stimulus-respons yang jadi cikal bakal psikologi. Tapi
kenapa ilmuwan jaman sekarang jarang banget yang pakai desain itu? Karena
mereka merasa ga yakin dengan penelitiannya, padahal kalau dilakukan dengan
persiapan dan prosedur yang tepat hasilnya pasti subhanallah banget. Jadi, buat
melakukan penelitian tesis nanti, pesan beliau jangan ragu pakai desain
penelitian ini.
Beralih
ke mata kuliah lain, yaitu kuliah Penyusunan Alat Ukur Psikologi. Pengampunya
adalah Prof Saifuddin Azwar, Profesor favorit saya dari jaman S1, karena beliau
adalah expert di bidang Psikometri
dan bukunya yang jadi dasar teori hampir semua mahasiswa S1 Psikologi di
Indonesia. Subhanallah banget saya bisa bertemu dan berinteraksi dengan beliau
di kelas. Dreams come true!
Di
mata kuliah ini kami juga membuat kelompok yang tugasnya mencari teori,
kemudian ditentukan aspeknya untuk kemudian dioperasionalkan untuk bisa jadi
aitem-aitem skala. Ternyata prosesnya subhanallah...panjang lebar dan rumit.
Dulu saya waktu S1 kayanya melakukan beberapa pelanggaran deh, tapi tetep lulus
ya Alhamdulillah. Tapi saya merasa banyak banget terbantu dan melakukan
prosedur yang cukup runtut, itu semua karena Bapak Ali Mashuri M.Sc yang jadi
pembimbing saya.
Nah,
Prof Azwar ini menjelaskan tentang validitas, reliabilitas, hingga bagaimana
cara menyusun kalimat dalam aitem-aitem skala. Saya jadi dapat banyak masukan
tentang bagaimana menyusun kalimat yang baik, yang tidak menimbulkan penafsiran
ganda, dan bisa dipahami responden. Benar-benar baru saya dapatkan saat S2 ini,
karena dulu S1 berasa belum bisa menangkap itu semua, karena emang belum
diajari dan hanya bisa baca di buku. Kali ini, benar-benar bertemu langsung
dengan pembuat buku tersebut, adalah kesempatan yang nggak akan saya lewatkan.
Tapi,
sepandai-pandainya profesor, pasti pernah yang namanya lupa. Beliau ini lucu
banget, pernah pas suatu pertemuan kami dijelaskan materi yang sama seperti 2
minggu sebelumnya. Kami nggak ada yang berani bilang sampai pada akhirnya beliau
menyadari, “Kayanya kok saya pernah ya nerangin ini,” dan ada yang langsung
menyahut, “Iya pak...itu udah pernah..”
“Ngeeeek..
kenapa ga bilang dari tadi? Saya berasa buang-buang waktu aja...ya sudah
baguslah, kita ganti topik yang lain..” Beliau langsung bilang begitu. Rasanya
itu...kita pengen ketawa, lega, tapi merasa bersalah juga.
Ada
lagi Prof Fatur yang mengajarkan mata kuliah Analisis Multivariat, beliau ini
benar-benar kaya pesawat jet kalo nerangin, cepet banget. Kalo kita nggak bisa
ngimbangi...ya ketinggalan jauh... mantan Dekan Fakultas Psikologi ini
mengajari kami bagaimana berpikir secara cerdas, hmmm....kaya kemarin ujian
tengah semester, beliau memberikan kami tugas take home yang akan diberikan sehari sebelum dikumpulkan. Karena
mata kuliah beliau hari Selasa jam 10.30, pas oleh pihak akademik soal ujian
diberikan ke kami hari Senin jam 10.30. Subhanallah benar-benar orang yang
sangat on time. Besoknya, selese ga
selese ya harus dikumpulkan di jam yang sudah ditentukan.
Nah
pas ngerjakan soal tersebut, saya kok bertanya-tanya... tugasnya kok gampang
ya? Tingkat kesulitannya setidaknya masih bisa dihandle..wah pasti beliau menyembunyikan sesuatu nih, nggak tau apa
tapi. Pas minggu depannya dikoreksi bersama, tuh kaaaaan beneeeerrrr... banyak
yang ga jeli dengan maksud pertanyaan tugas tersebut sehingga banyak yang
terkecoh dan ga ngeh jadinya jawabnya salah deh, termasuk saya.
Alhasil,
saya dapat nilai ¾ dari nilai sempurna. Yah syukur Alhamdulillah masih dikasih
nilai segitu... itu udah di-minus karena ada soal yang ternyata ga saya jawab,
bener-bener hiks banget. Nanti UAS harus lebih jeli dan teliti lagi. Setiap
minggunya pun, beberapa orang dari kami diharuskan maju dan latihan soal di
depan kelas menerangkan statistik satu per satu, benar-benar deh Dosen ini
Subhanallah banget.
Nah,
mata kuliah metode penelitian kualitatif ini yang jadi penghibur. Dosennya juga
benar-benar menghibur banget, dan di antara Dosen lain, beliau ini yang paling
permisif tentang jadwal masuk. Kalau ada yang telat, masih boleh masuk, beda
dengan 2 Dosen sebelum ini. Ditambah lagi, dosen ini berasal dari Malang, jadi
berasa satu kampung halaman deh sama Pak Subandi. Beliau ini ahli tentang tema
klinis terutama orang dengan schizophrenia, karena memang Disertasi beliau
tentang schizophrenia yang dapat beasiswa dari Australia. Di akhir perkuliahan
nantinya kami diminta untuk membuat mini research metode penelitian kualitatif,
saya udah mulai intake data tentang Adjustment pada mahasiswa baru perempuan
jurusan Teknik Nuklir dan Teknik Mesin. Beliau setuju-setuju aja sama topik
yang saya ajukan...
Nah,
yang jadi penghibur lainnya adalah kuliah Filsafat Ilmu. Beliau ini lucu
banget, namanya Pak Dr Misnal Munir, Wakil Dekan di Fakultas Filsafat. Nah,
kemarin kami diminta untuk mencari tentang shame
and guilt culture di suatu
budaya. Awalnya saya mau bahas tentang budaya di tempat kelahiran tercinta,
Surabaya. Tapi setelah dipikir-pikir, apa coba shame and guilt culturenya...tiba-tiba saya dapat ide gimana kalo
bahas tentang budaya seberangnya Surabaya, maksudnya Madura. Nah....iya bener
banget, masih banyak banget shame and
guilt culture disana. Yang paling menonjol adalah tentang konsep carok,
apakah termasuk shame atau guilt? Setelah dianalisis ternyata carok termasuk
dalam budaya shame, karena carok itu
dilakukan untuk mempertahankan harga diri seseorang, jika dia tidak
melakukannya maka akan timbul rasa malu, karena pedoman hidup di Madura adalah “Lebih
baik mati daripada menanggung malu.”
Trus
dimana letak “filsafat”nya? Ini sih sama kaya mata kuliah antropologi, karena
belajar tentang budaya. Letak filsafatnya adalah, di akhir makalah kita
diwajibkan untuk mengkritisi apakah konsep budaya ini masih layak untuk tetap
dipertahankan di tengah kehidupan masyarakat ini? jika iya kenapa, jika tidak
juga kenapa?
That’s all,
yang mewarnai hari-hari kemagisteran di semester satu dengan indahnya. Semoga ga
hanya nilai bagus yang didapat, tapi juga ilmu yang bisa bermanfaat bagi orang
sekitar kita. Amin ya robbal alamin...
Komentar