Mengingat
lagi jaman-jaman SMA, saya kembali bersyukur pada masa itu saya bisa bertemu
orang-orang hebat dari hobi yang saya senangi, menulis.
Beberapa
waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah berita tentang Kartini Award Dari
Semen Indonesia. Dra. Esthi Susanti Hudiono, M.Si., pengabdi masyarakat lewat
Yayasan Hotline Surabaya bersama 4 perempuan lainnya yakni Dekan Fakultas
Psikologi Ubaya dari Universitas Surabaya, Profesor Dr. Yusti Probowati Psi.,
Ibu Ir. Tri Rismaharini, M.T atau terkadang ditulis Tri Risma Harini yang
adalah Walikota Surabaya, dan Ibu Mariyani dari komunitas Dolly serta Yuli dari
Yayasan Alit menerima penghargaan Kartini dari Semen Indonesia.
3
dari 5 perempuan di atas pernah saya temui. Yang pertama adalah Bu Esthi,
beliau adalah Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya Counseling Centre
Kesehatan Reproduksi, yang concern di bidang HIV/AIDS. Saya pernah wawancara
dengan beliau saat SMA, dalam rangka pengambilan data untuk Lomba Mading.
Seperti kita tahu bahwa tiap tahunnya Jawa Pos, khususnya bagian Deteksi
mengadakan even lomba mading bagi sekolah SMP-SMA se-Jawa Timur. Saat itu saya
yang udah jadi mantan Pemimpin Redaksi diberi tanggung jawab untuk jadi
koordinator mading 3D. Saya punya ide untuk membahas tentang Cinderella karena
tema yang diberikan adalah “Fairy Tale”. Tapi ada apa di balik Cinderella
tersebut? Kami se-klub mading memutar otak, dan ketemulah sebuah tema tentang
kekerasan dalam rumah tangga. Terinspirasi dari kisah Cinderella yang selalu
diminta untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang di luar batas kewajaran
oleh ibu tiri dan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk dalam KDRT.
Memang
tidak ada hal yang kebetulan di bumi ini. Saat itu saya mengenal seorang
Jurnalis dari Jawa Pos yang bernama mas Krisna. Beliau ini membuka jalan kami.
Tanpa pamrih beliau memberikan sumbangsih pikiran kepada tim Mading kami, yang
saat itu hanya ada saya bersama Bang Kembar dan Angga. Kami sharing dan
bertukar pikiran tentang konsep mading dan konten yang akan ditampilkan
nantinya. Setelah itu beliau memberikan beberapa link yang menghubungkan kami
kepada narasumber.
Berangkatlah
kami ke Museum Kesehatan yang ada di sebelah gedung DPRD Kota Surabaya. Kami
mencari seseorang yang bernama Bu Esthi untuk meminta pendapat dan data
mengenai KDRT. Beliau menerima kami dengan sangat baik, dan berbagai data
dipaparkan oleh beliau. Sesudah itu kami sempat berkeliling di sekitar Museum
yang memang suasananya agak serem sih, karena sepi, setelah itu pulang.
Mading
pun dibuat dengan sangat apik. Kami membuat rangka untuk kereta labu, dan ada
Cinderella yang dibuat dari sterefoam. Kami namakan mading masterpiece tersebut
dengan nama Si Det Rella.
Optimis
dengan hasil karya kami, ternyata dari sekolah lain juga lebih bagus-bagus dari
mading yang kami buat. Tapi kami masih tetap optimis, hingga pengumuman
berlangsung. Kami tidak masuk dalam 10 besar mading terbaik, apalagi best
school kan? Sedih banget rasanya. Tapi masih ada pengumuman Honourable Mention
yang ditujukan buat 25 mading dengan konsep terbaik. Satu per satu mading
Honourable Mention disebutkan hingga urutan ke-24 kami udah lemes banget. Entah
ini bisa dikatakan drama atau tidak, pada pengumuman terakhir mading Honourable
Mention, saya merasa merinding, feeling saya kok.....
“SMA
Khadijah Surabaya dengan tema Si Det Rella.... Selamat!”
Pembawa
acara menyebutkan nama itu dan Alhamdulillah...saat itu juga kami langsun sujud
syukur bersama-sama, ga peduli yang dari sekolah lain melihat aneh ke arah kami.
Rasanya benar-benar speechless, kami Cuma bsia berpelukan menangis haru,
akhirnya yaaa Mading kami mendapat pengakuan dari sekian lama pernah ikut lomba
Mading di even ini.
Besoknya
saya langsung mengirimkan ucapan terima kasih kepada Mas Krisna dan Bu Esthi
yang sudah sangat membantu kami. Beliau mengapresiasi kami dan memberi semangat
pada kami untuk terus berkarya.
Perempuan
hebat lain yang pernah saya temui adalah Bu Risma, siapa orang Surabaya yang
tidak kenal dengan beliau? Lah wong walikotanya Surabaya sekarang kan Bu Risma.
Saat
kelas 3 SMA tepatnya tahun 2008, saya pernah mengikuti sebuah Lomba menulis
Opini di Universitas Petra Surabaya. Berawal dari sebuah selebaran yang
diberikan orang di jalan kepada Bapak saya, saya pun mengikuti lomba tersebut.
Awalnya saya tidak berminat karena tema yang dibahas adalah “Pahlawan Ekonomi”,
karena saya gak begitu interest dengan topik tersebut. Tapi setelah diberi ide
dan semangat oleh Ibu saya, akhirnya H-2 deadline saya baru mulai mengerjakan.
Sekali lagi, di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Ibu mengenal
seseorang bernama Dra Lilik Endang Soeparni yang merupakan Ketua Ikatan Wanita
Pengusaha Indonesia (IWAPI). Salah satu media cetak kemarin membahas tentang
sepak terjang beliau cukup lengkap, akhirnya Ibu pun berburu koran tersebut ke
tukang loak karena udah koran kemarin kan. Setelah itu korannya saya baca dan
saya review deh untuk penulisan opini. Seminggu kemudian pengumuman dan nggak
nyangka nama saya diumumkan sebagai salah satu dari 10 besar finalis yang akan
presentasi di Universitas tersebut. Alhamdulillah ya Allah.... saya pun
dikenalkan langsung kepada Bu Lilik ini, datang ke rumah beliau dan wawancara
langsung. Rumahnya sangat “nyeni”, wajar karena beliau memang bergerak di
bidang usaha industri kreatif, udah melanglang buana ke segala penjuru negara,
dan beliau adalah seorang single parent yang sangat tangguh.
Setelah
mendapatkan data, saya siap untuk maju presentasi di depan dewan juri lusa.
Saya diijinkan untuk tidak masuk beberapa mata pelajaran karena presentasi ini,
kemudian menuju tempat lomba dengan hanya ditemani Ibu. Ada 3 kategori di lomba
ini, yaitu kategori siswa SMA, mahasiswa dan umum. Untuk kategori SMA ada 2
orang yang lolos, kategori mahasiswa 3 orang, dan kategori umum 5 orang. Nah
ya...rival berat saya ya hanya 1 orang ini, dari sebuah SMA swasta terkemuka di
Surabaya, isinya orang-orang pandai pula. Saya sempat minder karenanya. Tapi
sekali lagi, semangat dari Ibu-lah yang menguatkan saya. Yang presentasi
pertama adalah rival saya, ia sudah menyiapkan slide dengan desain sedemikian
rupa hingga bahasa yang sangat ilmiah, tuh kaaan.... saya nggak mikir sampe
segitunya, saya menyiapkan slide presentasi sederhana yang mudah dipahami oleh
dewan juri dan penonton saat itu.
Dewan
juri yang dihadirkan ada 3 orang, salah satunya adalah Bu Risma yang saat itu
menjabat sebagai Ketua Badan Pembangunan Kota (BAPEKO) Surabaya. Dua dewan juri
lainnya adalah Pemimpin Redaksi Jawa Pos dan seorang Ketua Pengusaha terkemuka,
saya agak lupa nama dan jabatan beliau, maaf Bapak.
Kemudian
giliran saya presentasi, Alhamdulillah lancaaaar.... hingga sesi tanya jawab
dimulai, ke-3 dewan juri mengajukan pertanyaan yang bisa saya jawab dengan
lancar, meskipun ada 1 pertanyaan yang cukup membuat saya ragu-ragu
mengutarakannya, tapi ya sudahlah... Bu Risma mengajukan pertanyaan yang sangat
bijak sekali, saat itu juga saya merasa bahwa orang ini adalah orang hebat dan
akan jadi lebih hebat dari sekarang. Gaya berjilbabnya yang sederhana, tutur
bicaranya yang apa adanya dan yaaa...beliau adalah orang yang terbuka.
Saat
pengumuman yang mendebarkan, saya cuma bisa memejamkan mata sambil memegang
tangan Ibu yang membisikkan kata-kata tasbih. Saya diam, saya mengatur napas,
hingga akhirnya nama saya dipanggil keluar sebagai juara.
Alhamdulillah...lagi-lagi bisa ada di titik ini saja saya sudah bersyukur,
apalagi keluar sebagai juara, benar-benar di luar ekspektasi. Saat itu juga
saya melihat senyum penerimaan sportif dari rival saya, kami berjabat tangan dan
berjanji untuk saling menjaga pertemanan, meskipun saat itu kami berbeda 2
tahun, dia ada di kelas 1 SMA. Saya maju ke depan, untuk bersalaman langsung
dengan dewan juri yang merupakan orang-orang hebat, benar-benar pengalaman tak
terlupakan. Saya mendapatkan nasehat dari perempuan hebat bernama Bu Risma
bahwa saya harus tetap berkarya, tetap percaya diri. Terima kasih Bu Risma.
Saat beliau terpilih menjadi Walikota pada tahun 2012 lalu, saya sangat senang
dan bersyukur akhirnya Surabaya bisa mempunyai figur Ibu yang jadi idola,
perempuan hebat yang sangat bisa dibanggakan.
Saat
beliau jadi walikota pun, saya mengerti kesederhanaan beliau. Saat itu Pakde
saya ada yang mengadakan hajatan pernikahan anaknya. Pakde saya ini alumni ITS.
Bu Risma juga alumni dari ITS. Sewaktu kami lagi berkumpul inilah tiba-tiba
saya dikagetkan datangnya seseorang dari belakang yang ternyata adalah Bu
Risma, beliau datang sendirian tanpa dikawal. Hadirin yang datang pun semuanya
mengerubuti untuk bisa bersalaman dengan Walikota ini.
Perempuan
hebat lain yang sangat menginspirasi saya adalah Prof Yusti Probowati. Beliau
adalah satu-satunya Profesor dari bidang psikologi forensik di Indonesia.
Namanya aja udah serem ya, forensik, tapi ternyata yang jadi profesornya justru
perempuan. Awal mula saya berkenalan dengan beliau tentu dari sebuah jurnal dan
buku psikologi forensik. Saat itu semester 5 saya mengambil mata kuliah pilihan
peminatan klinis, saya memutuskan mengambil psikologi forensik yang merupakan
gabungan antara bidang psikologi dan hukum. Hal ini kemudian yang menarik saya
untuk bisa magang di Kepolisian Daerah Jawa Timur. Saya tertarik dengan bidang
ini karena masih sangat baru dan langka di Indonesia. Saya hanya bisa membaca
tulisan-tulisan Prof Yusti yang merupakan Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya ini. Saya mulai mengagumi beliau.
Pada
tahun 2012, saya pernah cerita disini tentang perjalanan saya ke Jakarta untuk
mengahdiri sebuah pesta pernikahan anaknya teman Bapak. Saat itu saya bertemu
dengan orang-orang hebat di bidang psikologi, yang salah satunya adalah Prof
Yusti. Seperti mimpi yang jadi kenyataan saya bisa bertemu beliau, yang
ternyata orangnya sangat humble dan ramah. Beliau ini memang perempuan idaman
banget. Cantik, baik hati dan pandai. Sempat bersalaman dan berbicara singkat
bersama hadirin pesta yang lain, benar-benar sebuah kesempatan langka. Hingga
akhirnya saya dipertemukan lagi dengan beliau saat mendapat kesempatan di
Konferensi Psikologi Forensik di mana beliau menjadi ketuanya. Beliau merupakan
ketua dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia. Dari tutur bicaranya, cara berjalannya,
cara menghadapi orang, serta guyonannya pun terlihat sangat pas. Psikolog
idaman banget nih.. subhanallah...
Kesempatan
bertemu dengan perempuan hebat seperti mereka menjadi penyemangat tersendiri.
Mereka bisa hebat karena ditempa oleh keadaan. Seperti kata pepatah, pelaut
yang tangguh tidak dilahirkan dari gelombang yang tenang, semuanya melewati
proses. Jadi, apapun yang terjadi, tetaplah berproses, karena hasil akan
mengikuti itu semua.
Komentar