Kelas yang tak kalah seru ialah kelas intervensi keluarga. Masih diampu oleh Bu Etik namun kali ini bersama bu
Yati, beliau sudah melewati bahtera rumah tangga selama 50 tahun lebih. Sudah banyak
makan asam garam mengenai pernikahan pastinya.
Pengertian dari pernikahan itu
sendiri apa sih? Ikatan emosional dan komitmen antara 2 orang yang saling
berbagi kedekatan secara fisik dan emosi, tugas yang variatif dan sumber daya
ekonomi - itu pendapat salah satu ahli. Dalam prosesnya menjalani pernikahan
ada kerikil serta duri yang harus dilalui. Terkadang duri itu bisa disingkirkan
dengan mudah, namun terkadang kerikil itu menjelma menjadi batu besar yang
sangat berat untuk disingkirkan.
Konseling
keluarga adalah solusinya. Jika permasalahan yang terjadi bukan hanya menyangkut
antara 2 orang yang menikah ini, namun sudah menyangkut anak dan anggota keluarga
yang lain, maka sebaiknya dibutuhkan konselor keluarga untuk membantu
menyelesaikan permasalahan tersebut. Misalkan yang lagi banyak kasus saat ini
adalah kasus domestic violence atau
KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi topik yang lagi banyak dibahas
karena laporan di Kepolisian maupun LSM sangat banyak. KDRT yang dilakukan
ini tentu melibatkan juga pihak anak, karena anak bisa jadi adalah saksi dari
kejadian sehingga anak pun terkena dampaknya. Belum lagi keluarga besar, dan
seterusnya yang bisa jadi memicu banyak reaksi. Reaksi dari orang-orang di
sekitar inilah yang biasanya membuat individu tidak siap sehingga membutuhkan
support dari Psikolog untuk bisa menghadapi masalah ini.
Satu
hal yang paling saya ingat dari kuliah kemarin ialah “Marriage is a long journey”. Menikah tidak hanya untuk 1-2 tahun
saja, menikah itu untuk seumur hidup. Jika diakumulasikan, misalnya seperti
ini, kita hidup dengan orang tua dari bayi hingga lulus kuliah selama 22 tahun.
Kemudian bekerja, dan memutuskan untuk menikah di usia 25 tahun. Jika usia
harapan hidup kita ialah 80 tahun, maka tinggal dikurangi saja 80 – 25 tahun = 55
tahun. Selama 55 tahun kita nantinya menghabiskan waktu bersama pasangan kita,
mengarungi suka duka kehidupan bersama, melebihi dari lama kita tinggal dengan
orang tua. Benar-benar perjalanan yang sangat panjang. Siapkah masing-masing
pasangan untuk itu? Siapkah masing-masing pasangan untuk setia dengan 1 orang
hingga akhirnya dijemput oleh sang Khalik nanti? Maka, jika kita menengok tren artis
yang sekarang kawin-cerai, itu adalah hal yang mereka pilih. Kalau “value” yang selama ini saya anut, begitu
juga dengan keluarga serta teman-teman, bahwa pasangan itu ya hanya satu selama seumur hidup. Pernikahan itu
sekali lagi, adjustment yang tidak pernah
berhenti selama seumur hidup.
Komentar