Kita adalah yang kita pikirkan
Seluruh diri kita didasari oleh pikiran-pikiran kita
Dengan pikiran-pikiran kita, kita ciptakan dunia.
(Buddha)
Kalimat tersebut diucapkan oleh Buddha berabad-abad yang lalu yang menjadi dasar dari Psikologi Transpersonal. Istilah itu mengakar dari bahasa Latin dan Yunani. Psikologi dalam bahasa Yunani mengandung kata “Psyche” yang artinya spirit / ruh, kehidupan, jiwa, dan napas. Sedangkan “Logos” berarti ekspresi, pembicaraan, dan sesuatu yang mendasar. Jadi arti yang sebenarnya dari Psikologi adalah ekspresi dari spirit atau ekspresi jiwa. Asal dari kata “Transpersonal” diambil dari bahasa Latin “trans” yang artinya “melebihi” dan “persona” yang dapat diterjemahkan sebagai “topeng”. Jadi, arti sebenarnya dari psikologi transpersonal adalah ekspresi jiwa yang melebihi/melampaui topeng (Rueffler, 1995).
Bagaimana arah dari psikologi seperti ini dulunya berkembang? Psikologi transpersonal berkembang dari aliran tradisional dalam psikologi. Salah satu tujuannya adalah untuk membuat agar dimensi spiritual dari jiwa manusia menjadi sesuatu yang disadari, dapat dialami dan dintegrasikan. Pendekatan dari Barat tentang jiwa manusia tidak mampu melakukan pendekatan terhadap fenomena kesadaran yang memiliki spektrum sedemikian luas. Sehingga pada masa ini, psikologi transpersonal dapat dipahami sebagai model dari seluruh spektrum perkembangan kesadaran yang menjadi jembatan antara aliran psikologi dan aliran spiritual. Psikologi transpesonal menjadi sesuatu yang menarik teurtama bagi orang-orang yang ingin menumbuhkan spiritualitasnya dan mengembangkan kesehatan psikologisnya dengan kualitas yang tinggi (Vaughn, 1988).
Makna dari psikologi dalam ialah menjangkau jiwa manusia hingga dasarnya, memahami apa yang terjadi pada dinamika psikologisnya secara komprehensif, dengan mempertimbangkan segala aspek kehidupan dari masa ke masa. Berat memang, namun inilah esensi yang mendalam dari psikologi.
Dulu sewaktu S1 saya tidak mendapatkan materi hingga sedalam ini, hanya kulit luarnya saja. Maka jangan percaya kalau ada mahasiswa S1 yang bilang dirinya bisa “melihat orang”, itu hanya berdasarkan asumsi tanpa menggunakan intuisi mendalam. Melihat orang tidak sesederhana itu, tidak hanya refleks dan gerak yang tampak saja, tapi tiap kalimat yang diucapkan serta komunikasi non verbal dapat dibaca.
Inilah yang akhirnya membuat saya bangun cinta pada pendekatan ini. Berat, sungguh berat. Ketika kemarin melalui pendekatan psikoanalisa dengan intervensi asosiasi bebas, entah kenapa refleks itu muncul kembali. Trauma-trauma yang dulu pernah ada, seakan sekarang dialami kembali sehingga apa yang dulu pernah ditekan, dilupakan, muncul kembali ke ingatan yang menjadi derai air mata. Ketika mulai masa kecil, remaja, hingga saat ini diurai kembali, ada memori-memori yang seakan terputar kembali yang membuat kita bisa melihat apa yang pernah kita alami dulu, sebagai pengamat. Dari proses itulah, selayaknya manusia yang diberi akal pikiran bisa mendapatkan insight atas pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun sebaliknya.
Dari sini pun jati diri kembali dipertanyakan, apakah saya bisa menerima tiap sub kepribadian negatif dari saya menjadi bagian dari diri? Ketika seorang pengelana – a wanderer, tak kunjung menemukan rumahnya untuk bisa pulang. Ketika sang pengelana tak memiliki tempat untuk pulang karena ia masih berkutat mengalami pencarian tersebut. Ketika “Self” yang didambakan sudah terlihat, namun ransel masih ada di punggung. Apa seperti itukah?
Ketika yang terlihat di sub kepribadian kanan seperti warna-warna kalem dan orang-orang yang beterbangan mengelilingi kepala namun hanya sekejap. Apakah ia bisa berbahagia dan membahagiakan?
Ketika yang terlihat di sub kepribadian kiri adalah sebuah kastil besar berwarna abu-abu dengan orang yang ada di ujung sana berlari dan menghilang dari pandangan. Lantas saat ditanya, dijawablah bahwa saya harus menghargai adanya cahaya. Kemudian saya harus segera pergi dari tempat tersebut, ia mengusir saya, ia tak menerima saya.
Sejenak kepala terasa berputar, pusing, lagi. Kemudian interpretasi tersebut terungkap, tentu kaget dibuatnya. Manakala saya menganggap bahwa orang-orang yang ada di sekitar adalah tempat saya “berpulang”, tapi jati diri saya masih meragukannya. Bahkan kedua orang yang sudah merawat dan melahirkan saya sejak kecil seakan-akan bukanlah tempat saya berpulang. Benar-benar bingung saya dibuatnya. Perlu pemaknaan dan interpretasi yang lebih dalam lagi dengan pendekatan ini, benar-benar saya membutuhkannya. Sehingga pada akhirnya, “Anak kecil yang lincah” tersebut akan benar-benar bisa menampakkan dirinya, dan bisa membuat dunia berbahagia karena-Nya.
Komentar