Saya
pernah cerita sebelumnya tentang acara ini, namun bukan tentang muatan acara
melainkan reuni bersama Dosen-Dosen psikologi UB-nya. Kali ini saya mau sharing
tentang isi dari acara selama 2 hari yang saya ikuti ini.
Hari
pertama, dibuka oleh Wakil Dekan yaitu Pak Bandi, dosen favorit saya dari mata
kuliah kualitatif. Kemudian ada seorang perempuan bernama Dr Diana Setyawati
yang merupakan Ketua dari CPMH (Center for Public Mental health) UGM yang
merupakan pusat kajian tentang kesehatan mental di UGM sebagai salah satu
Universitas yang memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan mental masyarakat.
Materi
pertama dibawakan oleh Prof Harry Minas dari Universitas Melbourne Australia
menjelaskan mengenai sistem kesehatan mental yang berkembang dari masa ke masa.
Global mental health menjadi isu yang meliputi sistem, budaya, politik dan
keuangan, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan pilihan berobat. Tujuan
dari adanya sistem kesehatan mental adalah meningkatkan/ menguatkan kesehatan
mental ke seluruh dunai untuk menuju keadilan dengan cara menyediakan informasi
tentang kesehatan mental di seluruh negara, identifikasi kesehatan mental di
seluruh area, menyediakan dukungan sosial sesuai dengan keburuhan populasi di
suatu area.
Akses
untuk kesehatan mental ini yang paling mendasar disebut primary health care. Di
Indonesia, primary health care disebut sebagai Puskesmas (Pusat Kesehatan
Masayrakat) yang memastikan orang-orang di Komunitasnya untuk tetap sehat.
Puskesmas ini menjadi tempat rujukan pertama jika ada individu masyarakat sakit
dan menginginkan berobat. Fokusnya ialah menyediakan low budget bagi masyarakat
Indonesia yang masih belum bisa menjangkau akses kesehatan dengan mudah dan
murah. Harapannya, supaya akases kesehatan bisa untuk seluruh warga negara.
Salah
satu penyebab mortalitas di negara Indonesia adalah banyaknya angka bayi
prematur yang lahir dari Ibu-ibu yang ada di usia rawan melahirkan, kemudian
tingginya penyakit tropik seperti demam berdarah, malaria. Untuk negara
berkembang, pergi ke layanan kesehatan adalah hal yang masih mewah. Sehingga
mulai beberapa waktu yang lalu upaya untuk memperhatikan isu kesehatan mental
populasi mulai berjalan karena tidak ada populasi yang sehat tanpa perhatian
kepada isu kesehatan mental.
Selain
itu, penyakit yang bersumber dari masalah kejiwaan menjadi hal yang harus
menjadi perhatian. Setiap tahunnya di negara berkembang, 800.000 nyawa melayang
karena kasus suicide alias bunuh diri. Kasis ini terjadi pada sekiatr usia
15-44 tahun. Penyebabnya, tentu dari berbagai, maka dari itu pentingnya
penanganan terhadap masalah jiwa dan fisik diharapkan bisa lebih efektif dengan
mengingat berbagai faktor dari negara kita yang masih berada di status ekonomi
berkembang.
Adanya
program training untuk sumber daya manusia yang mengerti tentang isu utama
kesehatan mental yang berasal dari usia muda menjadi fokus dari WHO hingga
tahun 2040 sehingga dunia ini bisa menjadi lebih sehat dan damai. Perlu diingat
bahwa smeua hal ini merupakan proses yang tiada henti dan selalu dinamis.
Topik kedua berjudul Advocacy and Leadership yang berfokus
pada “WHO mental health plan for Aceh” yang mengadakan proses asesmen dan
monitoring setelah adanya peristiwa tsunami tahun 2005 di Aceh. Untuk peristiwa
di Aceh, pelayanan kesehatan mental menjadi hal yang sangat diprioritaskan
mengingat individu banyak yang mengalami post traumatic stres.
Selain
itu kasus restraint / confinement
yang di Indonesia disebut pasung menjadi hal yang menjadi prioritas. Utamanya
kasus pasung terjadi karena ketidak tahuan masyarakat memperlakukan pasien
dengan gangguan jiwa, sehingga mereka mengurung dan memperlakukan individu yang
bahkan masih anggota keluarganya dengan tidak patut. Hal ini juga merupakan
akibat dari ketidak pastian sistem kesehatan jiwa yang masih galau mengatur hak
asasi manusia. Sehingga dibentuklah The Pasung Research Group dengan tujuan
2015 bebas pasung. Tapi hingga sekarang memang belum sepenuhnya bisa terbebas,
karena kasus ini terjadi di hampir seluruh bagian di Indonesia. Untuk kasus
pasung, memang paling banyak terjadi di wilayah Jawa Timur. Adanya stigma dan
diskriminasi terhadap korban pasung menjadi hal yang tidak mudah untuk diberi
tindakan. Masyarakat yang selalu memberikan label negatif terhadap orang denga
gangguan jiwa memang pelru diubah mindsetnya agar mereka menjai lebih toleran
terhadap penyakit-penyakit mental, bukan hanya penyakit fisik saja.
Kesehatan
mental dan hak asasi merupakan dua hal yang saling berkaitan, namun mengapa
keduanya jarang sekali dipertemukan? Kebanyakan area yang disentuh ialah kesehatan
medis, itu karena adanya pengabaian terhadap kesehatan mental yang disebabkan
kurangnya pengetahuan. Sehingga baru-baru ini disahkan-lah Undang-Undang
tentang Kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi profesi praktek
kesehatan mental yang didasari oleh hukum Indonesia. Adanya UU Keswa ini
merupakan hasil jerih payah dari para pekerja kesehatan mental yang meminta
haknya. Proses advokasi pada pemegang birokrasi memerlukan perjuangan yang
tidak mudah, harus disertai berbagai riset untuk meyakinkan dan membuat suatu
rancangan yang tepat. Di Jawa Timur khususnya di RS Bhayangkara Surabaya sudah
ada lembaga bernama P2A yaitu pusat untuk menampung korban anak dan kekerasan
terhadap perempuan yang bekerjasama antara HAM dan LSM.
Sesi
berikutnya, karena kami udah mulai mengantuk dan bosan dengan materi yang
memusingkan, didatangkanlah seorang Profesor yang sangat kocak, namanya Prof
Grant Blashki dari RS di Melbourne. Beliau ini berperawakan tinggi besar dan
wajahnya menyenangkan, selalu senyum kepada siapa pun. sesi ini dinamakan
Family Doctor Expert, beliau sendiri yang menamakannya, karena di sesi ini kami
diajari dasar-dasar untuk melakukan diagnosis dan penanganan secara cepat dan
tepat, istilahnya yaitu brief therapy.
Pertama,
kita harus mengenal dulu yang namanya ICD-10 yang merupakan pedoman diagniosis.
Kebanyakan permasalahan yang muncul di Puskesmas berawal dari kecemasan dan
depresi. Sekali lagi, stigma merupakan hal pertama yang membuat orang enggan
datang kepada Psikolog meskipun itu di Puskesmas. Klasifikasi di ICD-10 memang
kemudian diadaptasi menjadi versi Indonesia yaitu PPDGJ-III yang digunakan di
bidang psikologi.
Selain
materinya yang menarik, Prof Blashki membagi-bagi makanan kecil seperti
“peyek”, “nasi kucing”, “salak”, “manggis” kepada siapa yang bisa menjawab
pertanyaan dan berani memberikan pertanyaan. Hahaha lucu banget deh ini
profesor... jadi makin nyantol materinya kan.
Hari kedua
Hari
kedua ini diawali oleh Dr Ruth Wraith yang membicarakan tentang primary care
teams and referral pathways, yang membahas tentang kerja sama dalam tim
Puskesmas, bagaimana pelayanan prima yang seharusnya ada di setiap Puskesmas,
alur rujukan yang tepat dari Puskesma hingga Rumah sakit tipe A. Jika Psikolog
merasa tidak sanggup dan tidak berkompeten untuk nenangani kasus dari sebuah
klien, maka klien tersebut bisa di-refer kepada rekan Psikolog yang ahli di
bidang tersebut dengan alur yang jelas. Alasan lainnya untuk me-refer adalah,
jika ternyata banyak sekali klien yang ditangani, maka agar kita tidak terlalu
overload bisa di-refer kepada rekan Psikolog lain, itung-itung juga menambah
rejeki teman sesama profesi.
Sesi
kedua kembali dengan Prof Blashki yang kocak tersebut, kali ini beliau
mempraktekkan bagaimana itu focused
psychology strategies for Indonesian Psychologist? Ada seorang peserta yang
bercerita mengenai masalahnya, kemudian Prof Blashki menanya-nanyainya dan
mereka membuat activity plan atas
permasalahan klien seperti menulis jadwal setiap hari, menulis hal yang
menyenangkan, adanya achievement dan pleasure thing, dll.
Sesi
berikutnya dalah Dr Emilia Colucci yang gaul banget. Beliau ini masih muda dan
enerjik, bahasanya logat Italia, jadi kami agak keteteran mendengarkan ia
bicara. Beliau adalah peneliti unutk bidang suicide, atau bunuh diri.
Prevalensi kejadian bunuh diri yang terjadi di dunia adalah 75,5% berasal dari
negara belum berkembang dan negara berkembang. Pelatihan tentang suicide sudah
banyak dilakukan di negara berkembang, namun di negara belum berkembang bukan menjadi
concern masalah.
Dukungan
lingkungan sekitar adalah hal yang menjadi satu kunci penting dalam prevensi
bunuh diri. Orang di sekitar harus pintar membaca kondisi orang yang
bermasalah. Gate keeper seperti tokoh
masayrakat, tokoh agama menjadi orang-orang yang bisa menasehati lebih bijak.
Kemudian
ahli perkembangan anak, Dr Wright membicarakan mengenak kesehatan mental pada
anak yang sudah ada dari jaman dulu kala. Adanya kemarahan, agresi,
hiperaktivitas, konsentrasi rendah, isolasi sosial menjadi hal yang paling
banyak terjadi pada anak-anak. Hal ini tentu berakibat pada masa dewasanya
kelak jika tidak segera ditangani, karena orang dewasa yang sakit secara mental
kemungkinan pada masa anak-anak/remajanya mempunyai masalah.
Tentu
saja, kesehatan mental bergantung pada kebudayaan di masing-masing negara. Dr
Eminia menuliskan buku tentang kesehatan mental dengan culture yang saling
berkaitan. Contohnya saja untuk pencegahan kasus bunuh diri, antara Italia,
India dan Australia pastilah memiliki perbedaan meskipun alat ukurnya sama.
Seminar
pun ditutup dengan film dokumenter tentang Dr Diana Setyawati yang telah
menamatkan gelar doktornya dengan baik di Universitas Melbourne Australia.
Ternyata Bu Diana ini topiknya mengenai fasilitas kesehatan primer di negara
Indonesia, khususnya Yogyakarta untuk menjadi pusat kesehatan mental
masyarakat. Hal ini tidak sia-sia, beliau pulang dengan konsep matang yang bisa
diaplikasikan sehingga saat ini setiap Puskesmas di Yogyakarta dan Sleman telah
mempunyai 1 Psikolog yang berpraktek.
Wonderfulll....
Masya Allah...inspiring banget!
Nggak
rugi belajar selama 2 hari ini, semoga suatu saat saya benar-benar bisa masuk
ke dalam sistem dan bisa ikut memperjuangkan tentang kesehatan mental
masyarakat Indonesia. Amin ya robbal alamin.
Komentar