Ketika
mendengar pernyataan dari supervisor saya bahwa saya dapat jatah libur 3 hari
waktu Idul Fitri, menjadi hal yang sangat melegakan. Idul Fitri kali ini memang
berbeda dari Idul Fitri sebelumnya, karena selama Ramadhan saya melewatinya di
tengah-tengah praktek kerja.
Hingga
pada H-1 Lebaran yaitu hari Kamis tanggal 17 Juli, sepulang dari Puskesmas saya
segera berkemas dan berangkat menuju Surabaya. Tidak bisa naik kereta karena
tiketnya sudah ludes, akhirnya saya pun naik Bus menuju Terminal Giwangan. Saya
sengaja naik Transjogja karena yang pertama pengen tahu rutenya menuju Giwangan
dan kedua, tarifnya lebih murah hanya Rp 3.700,-. Selama di transjogja ini saya
mendapati fenomena yang membuat saya lebih bersyukur, yaitu kernet dari
Transjogja yang seorang wanita mungkin baru lulus SMA, dia tidak diberi libur
pada hari Lebaran dan harus menjalankan tugasnya sebagai kernet Transjogja di
saat Lebaran. Rasanya sudah hampir nangis mendengar penuturannya, tapi saat
melihat mata mbak itu saya menemukan kekuatan bahwa dia melakukan pekerjaannya
dengan ikhlas dan tulus. Masya Allah....
Sesampai
di Giwangan, saya jalan lurus aja setelah membayar peron. Entah ini kemana,
tapi yang jelas saya mencari bus jurusan Surabaya. Sempat ditawarin oleh
beberapa orang yang nanya mau kemana, saya ga jawab tapi mereka langsung ngerti
saya mau ke Surabaya. Soalnya di tas saya ada pin bertuliskan I love Surabaya.
Hahaha...
Ohhh....ternyata gini toh kondisi terminal Giwangan, satu kata “sedih”. Terminalnya tidak tertata, sepi, kotor, dan bau. Tidak tertata karena papan petunjuknya tidak jelas, penumpang kan jadi nggak tahu kalau mau kemana-mana, sepi karena ini H-1 Lebaran tapi orang-orangnya tidak sampai berjubel seperti di Bungurasih yang biasa saya lihat, kotor karena sampah dimana-mana, dan tentu saja baunya nggak karuan. Saya melihat ke arah para pengamen yang sedang duduk-duduk dan merokok sambil melamun, bingung mungkin mau ngamen ke siapa karena terminalnya sepi. Kemudian nah ini! Sampailah saya di Bus tujuan , tiba-tiba saya ditanya “Suroboyo mbak?” saya mengangguk, “Terminal apa mbak?”. “Bungur pak...” trus saya diperbolehkan naik dan bus pun berangkat.
Ohhh....ternyata gini toh kondisi terminal Giwangan, satu kata “sedih”. Terminalnya tidak tertata, sepi, kotor, dan bau. Tidak tertata karena papan petunjuknya tidak jelas, penumpang kan jadi nggak tahu kalau mau kemana-mana, sepi karena ini H-1 Lebaran tapi orang-orangnya tidak sampai berjubel seperti di Bungurasih yang biasa saya lihat, kotor karena sampah dimana-mana, dan tentu saja baunya nggak karuan. Saya melihat ke arah para pengamen yang sedang duduk-duduk dan merokok sambil melamun, bingung mungkin mau ngamen ke siapa karena terminalnya sepi. Kemudian nah ini! Sampailah saya di Bus tujuan , tiba-tiba saya ditanya “Suroboyo mbak?” saya mengangguk, “Terminal apa mbak?”. “Bungur pak...” trus saya diperbolehkan naik dan bus pun berangkat.
Selama
perjalanan saya menghabiskan waktu dengan tidur dan melihat jalan. Ya iya, mau
ngapain juga kan... matahari pun mulai bergerak perlahan ke arah barat dan bis
sudah berada di daerah Mantingan yang merupakan tempat pondok pesantren
terkenal di Indonesia yaitu Gontor. Di depan pondok pesantren itulah saya
mendengar suara adzan maghrib terakhir di bulan Ramadhan tahun ini yang menandakan bahwa Ramadhan telah meninggalkan kita. Masya Allah... antara sedih, senang, haru,
momen yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Merasakan buka puasa Ramadhan
di dalam Bus di depan Ponpes Gontor yang lulusannya tak diragukan lagi.
Tiba-tiba saya kepikiran, kalau nanti punya anak ingin saya titipkan di pondok
pesantren tersebut agar akhlaqul kharimah.
Suara Takbir berkumandang melewati Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya
sampailah di Surabaya pada jam 22.30. Turun di terminal Bungurasih, saya
mengambil tempat duduk yang biasa saya tempati ketika menunggu jemputan. Saya
melihat perlahan ada seorang laki-laki yang secara fisik kurang sempurna, ia tidak
memiliki tangan dan kakinya pun sangat kecil. Sedih sekali melihatnya, ya Allah
udah pengen nangis ini ngeliat sosok tersebut di antara kerumunan orang. Ketika
itu saya lihat ada 1 orang yang memberi sedekah kemudian diikuti oleh beberapa
orang lain, tampak raut senyum di balik topinya. Dimanakah dia tinggal?
Sehari-hari pekerjaannya apa? Beribu pertanyaan muncul di benak saya yang
membuat saya kembali lagi, sangat bersyukur diberi hidup seperti ini.
Beberapa
menit kemudian terlihat dari kejauhan Ibu dan Bapak yang menjemput dan mengajak
pulang. Jam 23.00 tepat saya sampai di rumah, tapi malam ini tidak bisa
langsung tidur. Entah kenapa, saking senangnya mungkin bisa ada di rumah di
malam takbiran.
Keesokan
harinya hari Idul Fitri yang dinantikan. Sungkem dengan Ibu dan Bapak, ngobrol
dengan Adik semata wayang. Menyiapkan makanan ringan dan tempat untuk para
tamu, berkunjung ke tetangga, silaturahim ke rumah Nenek Surabaya dan bertemu
banyak saudara-saudara yang membuat hari itu terasa sangat cepat. Berbagai
obrolan mengalir, tertawa bersama, bercanda, saling menjahili, momen langka
yang bisa saya alami mungkin hanya setahun sekali ini. Ketika bisa tertawa
lepas tiada henti, makan makanan yang bermacam-macam. Alhamdulillah....
ini keluarga saya :)
bersama sepupu (Anggi, Adek Angga, saya dan Tita)
Sorenya
kami sekeluarga mudik ke Tuban, ke rumah Kakek dan Nenek yang ada di Tuban.
Sesampainya di sana langsung tepar dan tidur karena sudah malam. Baru keesokan
harinya silaturahim dengan saudara-saudara di sekitar Desa, bertemu dengan
mereka yang hanya setahun sekali. Saya kembali ingat dulu kami masih
kecil-kecil dan setiap semester selalu berlibur ke Desa, sedangkan sekarang?
Momen itu benar-benar menjadi momen berharga yang tak bisa diulangi lagi.
“Beradalah di momen kini, karena inilah
satu-satunya tempat Anda akan menemukan kedamaian”
– Ajahn Brahm
– Ajahn Brahm
Mendengarkan
cerita dari Mbah Kakung yang mengeluhkan beberapa alat elektronik kesayangannya
seperti kipas angin dan alat pijat yang rusak, menjadi hiburan tersendiri.
Karena mbah Kung masih sangat bersemangat buat pergi ke tempat servis yang
letaknya sekitar 10 km dari rumah dan mau naik Bis sendiri. Kami para anak dan
cucunya tentu saja menentangnya, gimana nggak? Mbah Kung usianya sudah tidak
muda lagi dan kami tentu saja nggak tega membiarkannya pergi sendirian.
Meskipun begitu, beliau masih ngotot. Kami pun membujuknya kalau tempat servis
di hari raya begini pasti masih tutup. Gelak tawa yang diciptakan karena
perilaku Mbah satu ini membuat kami semua semakin hangat. Kemudian kami pamit
untuk kembali pulang ke Surabaya karena besok masih ada acara keluarga lagi,
yaitu halal bihalal keluarga Bani Ismoe dan Bani Ibrahim Masdar.
Sewaktu
pulang, kami mampir di tempat yang tahun lalu juga kami singgahi, yaitu rest
area di Baureno, Bojonegoro. Nggak ngapa-ngapain sih sebenarnya, cuman seneng
rame-ramenya aja, diberi konsumsi mie dan segelas teh doang sambil istirahat
dan ngelihatin jalan. Eh tapi kok banyak Bus ke Jogja lewat sini ya? Lah
bukannya lebih jauh dibanding lewat Jombang? Ternyata setelah dilihat-lihat
nggak juga lho...karena daerah Jombang macet parah, maka para Bus itu beralih
lewat Bojonegoro.
Hari
Minggunya, masih ada acara lagi yaitu halal bihalal keluarga Bani Ismoe dan
Bani Ibrahim Masdar yang diadakan di salah satu rumah makan di Surabaya. Saya
termasuk panitia di acara tersebut bersama sepupu-sepupu lainnya. Acara yang
berlangsung cukup meriah dan ramai. Tapi sejujurnya ya, saya belum banyak yang
kenal sama keluarga dari Ibrahim Masdar meskipun setiap tahun ketemu, karena
ketemunya hanya setahun sekali dan setelah itu selesai. Begitu terus tiap
tahun, akhirnya muncullah ide supaya dibentuk panitia gabungan supaya antara
kedua keluarga besar Kakek ini bisa lebih kenal. Tapi tentu saja saya nggak
bisa jadi panitia, karena saya yang selalu di luar kota.
bersama sepupu-sepupu dan Tante
sepupu cowok memang jadi makhluk langka di antara kami, kebanyakan cewek :D
ini foto kami di panggung. Rumpik dan rame banget emang sama sepupu, Bude, ponakan, semuanya ada..
Setelah
acara selesai, malamnya sekitar jam 19.00 saya berangkat ke Jogja dengan naik
Bus, diantar ke terminal. Eh ternyata kehabisan Bus PATAS. Ada sih Bus ke
Jogja, tapi Bus Ekonomi dan saya nggak mau karena pasti ya you know lah.
Akhirnya ada seorang kenek dari Bus yang nawarin buat naik Bus arah Purwokerto
tapi nanti lewati Jogja jadi bisa naik itu dengan tarif yang sama seprti Bus
Jogja lainnya, Rp 125.000,-. Ya udahlah saya naik bus itu aja, tapi ternyata
setelah naik pelayanannya kurang oke. Meksipun Busnya lebih bagus, tapi saya
mendapatkan kesan kurang bagus selama naik Bus ini karena beberapa alasan dan
saya nggak recommended lah naik Bus lagi, mending naik kereta.
Ternyata
kemacetan yang dikatakan oleh radio Suara Surabaya nggak terbukti, buktinya
saya berangkat dari Surabaya jam 20, bisa sampai di Jogja jam 3 dini hari, itu
artinya normal kan perjalanan 7 jam. Kemudian saya nanya ke mamang ojek ke
Kosan saya berapa tarifnya? Eh dia bilang 30ribu. Mahal banget ya? Padahal ga
jauh-jauh banget lho. Akhirnya dia mau dengan tarif 20ribu. Tapi saya bilang
biasanya 15ribu. Dia ngeyel katanya ini Lebaran jadi lebih mahal, yaela kena
tuslah deh semua-muanya. Saya diem aja akhirnya mencoba menghubungi teman saya
yang jelas pasti masih pada tidur. Akhirnya beberpa menit kemudian dia
meng”iya”kan dan mau nganter saya, hahaha.... akhirnya, meskipun kaya agak gak
ikhlas gitu. Ya udahlah saya kasih aja tarif yang dia mau, ga tega juga
ngeliatnya kan dia udah bela-belain subuh-subuh kerja demi dapat uang buat
keluarganya.
Alhamdulillah sampai lagi di Jogja dengan selamat dan siap untuk menjalani hari ini yang langsung mulai praktek lagi di Puskesmas.
“If
you keep going , one step at a time, one brick at a time, there’s nothing you
can’t achieve”
-Ajahn Brahm.
Komentar