Liburan Natal lalu,
saya memutuskan untuk pulang ke rumah Surabaya karena saya merasa butuh mengistirahatkan
pikiran sejenak dari rutinitas di Yogya. Ya, setelah menjalani masa PKPP selama
hampir 1 semetser terakhir, saya mengalami proses yang luar biasa. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya kita
butuh waktu untuk diri kita sendiri. Sudah sekian banyak waktu tercurahkan
untuk menjadi pendengar bagi orang lain, sekaranglah saatnya mendengarkan diri
sendiri. Terkadang, seorang Psikolog juga membutuhkan angin segar untuk
menyegarkan pikiran yang bisa lelah karena menjadi tempat curahan hati bagi
orang lain. Bukannya tidak menyenangi pekerjaan itu, tapi setiap pekerjaan
butuh yang namanya jeda untuk diri sendiri.
Saya bahagia bisa
menjadi orang yang bisa ada bagi orang lain. Saya senang bisa setidaknya
meringankan beban orang lain dengan cara mendengarkan segala ceritanya. Saya
dengan senang hati berusaha untuk menjaga kepercayaan atas cerita yang mereka
ungkapkan kepada saya. Saya menikmati segala proses dalam kehidupan orang lain
yang ia bagi dengan saya. Namun ada kalanya tubuh dan pikiran memerlukan release
untuk bisa berfungsi secara lebih maksimal.
Pulang....
Adalah satu kata
yang paling ditunggu di akhir semester 3.
Tidak ada yang lebih
membahagiakan dari kata “rumah”. Apalah arti sebuah perjalanan, tanpa kata
“pulang” di dalamnya.
Meskipun diwarnai
dengan adegan sakit di kala pulang, saya bahagia bisa berada di rumah. Apakah
ini yang namanya “homesick”, alias sakit saat di rumah. Tidak ada orang yang
lebih diinginkan untuk hadir di saat kita sakit, kecuali Ibu. Iya benar, ibu
yang paling mengerti kondisi dan memahami setiap perubahan pada diri darah
dagingnya.
Tapi bukan orang tua
saya namanya kalo nggak ngajak ngebolang, meskipun anaknya lagi sakit. Seperti
biasa, Bapak lagi ngidam untuk jalan-jalan napak tilas warisan budaya di
Indonesia. Apalgi kalau bukan Candi. Kali ini Bapak ingin menyambangi Candi
Penataran yang ada di Blitar. Hari Natal dimana jalanan dipenuhi oleh padatnya
kendaraan membuat kami berangkat malam hari supaya nggak ramai. Awalnya ke
rumah saudara saya yang ada di kaki gunung Kawi, sampai di sana tengah malam.
Kemudian pagi harinya berangkat ke Blitar. Berbekal peta dari google map, Candi
Penataran terdeteksi dengan mudah.
Tapi bukan Bapak
saya namanya kalau nggak nyeleneh. Bukannya fokus menuju Candi Penataran, eh
malah ngajakin ke Makam Bung Karno. Alhasil, kita belok dulu deh ke Makam Bung
Karno buat ziarah. Kawasan tersebut jadi tempat wisata dan daya tarik
tersendiri bagi kota Blitar. Meskipun pake acara muter-muter dan eyel-eyelan
dulu buat cari parkiran, akhirnya dapet juga sih parkiran yang kosong. Dari
parkiran menuju makam kita jalan lumayan jauh, kalo mau nggak capek bisa naik
becak. Sepanjang jalan itu dipenuhi dengan toko-toko oleh-oleh dari baju hingga
makanan khas Blitar. Biaya masuknya tidak dipatok tarif khusus, seikhlasnya
dengan lapor dulu ke bagian keamanan. Masuk ke area makam, ada gapura besar
yang dibangun dengan bagus. Terdapat sebuah gedung perpustakaan yang isinya
sejarah tentang Indonesia, sejarah tentang almarhum Pak Soekarno tentunya. Ada
sebuah patung besar Bung Karno Pak Karno sedang membaca dan duduk di area depan
pintu masuk. Padahal tadi di jalan panas banget, waktu masuk ke area sini cukup
dingin karena ada air mancurnya.
Ketika berada di
area makam, saya agak heran dengan orang-orang ini yang mengabadikan diri di
depan pusaran Presiden pertama Indonesia. Kalau saya pribadi, memilih untuk
mendoakan saja daripada berfoto ria menggunakan tongsis. Terlihat sangat aneh.
Setelah selesai berdoa, kami melanjutkan perjalanan ke pintu keluar yang ternyata
berisi berbagai dagangan khas Blitar. Karena Bapak saya termasuk salah satu
orang yang iseng dalam membeli barang, berhentilah bapak di satu kios dan
membeli kendang. Entahlah buat apa, padahal di rumah udah penuh barang-barang.
Ya udahlah yang penting bapak seneng.
Setelah selesai dari
Makam Bung Karno, perjalanan dilanjutkan ke Candi Penataran. Subhanallah
panasnya... bener-bener seperti terbakar, karena kami nyampe sana jam 12 siang,
dimana matahri lagi menyengat dengan teriknya. Masuk ke area candi, kami tidak
diatrik biaya tertentu, yang penting seikhlasnya. Sebelum masuk, bapak berhenti
dulu di sebuah warung untuk beli kopi dan makanan kecil yaitu jadah, itu
semacam ketan yang digoreng. Biasanya di Surabaya menyebutnya lepet. Kami
sebenarnya sudah cukup puas melihat Candi Penataran dari kejauhan, tapi ya masa
Cuma ngeliat dari jauh, sedangkan perjalanan yang ditempuh udah sejauh ini. Ya
masuk lah kami... kompleks Candi Penataran cukup luas, dan bangunannya masih
cukup baik. Terlihat dari ukiran relief-reliefnya masih jelas, dan tidak
terlalu banyak pugaran di sana sini. Terlihat terawat juga. Saya jadi semakin
kagum dengan kekayaan leluhur kita dulu, mereka memiliki budaya yang sangat
tinggi, terlihat dari bangunan yang dibuat sungguh artistik. Ini adalah candi
peninggalan Hindu. Sebenarnya saya penasaran dengan isi cerita relief-relief
yang ada di setiap candi, tapi karena tidak ada tour guide, jadi tidak ada yang
bisa menjelaskan. Setelah puas berkeliling, kami pun akhirnya memutuskan untuk
pulang. Tapi kali ini pulangnya lewat kawasan yang dilewati letusan gunung
Kelud. Wahh seru nih kayanya, dan benar... jalannya sempit, harus bergantian
karena jalannya baru saja diperbaiki, akibat rusak terkena lahar Gunung Kelud 2
tahun yang lalu. Subhanallah.... Allah kalau sudah berkehendak, apapun bisa
terjadi ya. Pulangnya, kami sengaja lewat daerah yang bernama Pare, yang
terkenal dengan Kampung Inggrisnya.
salah satu pesan dari alm Bung Karno yang menancap kuat di benak
bagian depan Candi Penataran
relief Candi Penataran
salah satu patung di Candi Penataran
Well, ini adalah
liburan yang mengesankan bersama kedua orang tua. Meskipun nyampe rumah
semuanya langsung tepar karena kecapekan, setidaknya hormon endorfin kembali
naik dan saya sudah sembuhhhh.... Thanks God.
Komentar