Terinspirasi dari
seorang aktris multitalenta, Maudy Ayunda. Perempuan yang patut dijadikan
panutan dalam bidang pendidikan dan bagaimana ia mengatur waktu. Saya ingin menceritakan
tentang kehidupan sehari-hari rata-rata mahasiswa. Hmm....lebih tepatnya saya
sendiri sih, yang hingga usia segini masih berstatus “mahasiswa”.
Saya sekedar ingin
berbagi tentang kehidupan yang saya jalani selama berada di Yogyakarta, kota
yang banyak orang merindukannya. Kota yang kata orang romantis dan penuh cinta.
Eaaaa.... Kota yang bermandikan keunikan dan keramahan masyarakatnya. Semuanya
deh yang bagus-bagus ada di sini, hingga membuat saya kepincut untuk tinggal
disini sampai detik ini.
Tahun 2014, tahun pertama
kuliah S2, saya banyak menghabiskan waktu dengan mengikuti kuliah di kampus
mulai jam 8 pagi hingga jam 16. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk mencapai
kampus, untuk yang kuliah di UGM terutama. Bisa naik motor ataupun jalan kaki.
Kampus juga menyediakan fasilitas sepeda kampus untuk dipinjam. Mahasiswa bisa
meminjam di stasiun-stasiun sepeda yang telah disediakan di titik-titik
tertentu. Tak perlu khawatir kehabisan sepeda, karena sepeda yang disediakan
jumlahnya ratusan.
Selama di kampus
tepatnya di Fakultas Psikologi, fasilitas ruangan kelas yang nyaman sudah
menanti. Bangku-bangku di kelas disusun dengan bentuk U sebanyak 2 sap,
sehingga semua mata bisa tertuju kepada dosen yang mengajar di kelas, dan
setiap mahasiswa bisa berdiskusi dengan lebih leluasa karena bisa menatap lawan
bicaranya di seberang sana tanpa harus membalikkan badan.
Lelah belajar di
kelas, ada tempat bernama kantin yang siap memenuhi kebutuhan makan. Berbagai
menu disajikan di situ. Kalaupun bosan di kantin fakultas sendiri, kita bisa pergi
ke kantin di fakultas lain. Salah satu kantin favorit yaitu di FISIP karena
menunya lebih banyak daripada fakultas sendiri. Di kantin FISIP pun full music serta tempat duduknya ada
banyak, ada yang khusus smoking area
jadi kalau mau steril dari orang merokok kita bisa pilih tempat duduk yang
nggak ada tulisannya smoking area.
Fakultas psikologi
sangat beruntung karena letaknya yang berhadapan langsung dengan Masjid Kampus.
Jadi kalau ingin sholat berjama’ah setelah adzan berkumandang, tinggal lari
sedikit sudah sampai. Meskipun di fakultas juga telah disediakan fasilitas
ibadah mushola.
Saya juga sangat
bersyukur karena perpustakaan yang disediakan oleh psikologi memuat ribuan buku
dan laporan penelitian, lengkap dengan tempat nyaman, kursi empuk, dingin, dan
wifi. Buku yang nggak bisa saya temukan di toko buku dan kampus lain, sebagian
besar bisa saya temukan di perpustakaan ini. Beruntunglah mahasiswa yang punya
akses ke perpustakaan di UGM. Saya juga pernah mencoba pinjam buku di
perpustakaan fakultas lain dan kami bisa pinjam, meskipun memang harus bayar di
awal untuk registrasi sebesar Rp 10.000,- tapi setelah itu kita bisa pinjam
sebanyak 2 buku untuk dikembalikan setelah 1 minggu.
Satu hal yang
membuat saya bahagia dan bangga berada di kampus ini karena perpustakaan yang
menyediakan fasilitas lengkap bagi mahasiswanya. Mulai dari buku-buku akademis
hingga buku-buku populer bahkan komik pun ada. Ditambah fasilitas wifi di
penjuru perpustakaan berlantai 6 ini, dan berbagai koleksi jurnal ilmiah
internasionalnya. Tidak lupa di tiap lantai ada ruang belajar yang disediakan
bagi para mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah hingga tugas akhir,
fasilitasnya tentu dilengkapi AC, hotsport area, dan tempat duduk yang banyak. Tempat favorit
saya adalah ruang belajar mandiri di lantai 3, dimana itu adalah ruangan
hening. Kita diberi satu meja dan satu kursi untuk belajar. Bahkan menerima telepon pun kita harus keluar ruangan biar nggak
mengganggu konsentrasi yang lain. Kalau ingin berdiskusi, mahasiswa juga diberi
ruangan khusus untuk diskusi yang bisa menampung 6-10 orang tiap ruangannya.
Disana kita bisa booking dan
berdiskusi selama maksimal 2 jam, karena harus bergantian dengan kelompok
lainnya. Perpustakaan pusat yang terdiri dari 5 lantai ini buka dari jam 08.00 hingga jam 21.00. Bagi yang
lagi ngebut ngerjain skripsi, tesis, maupun disertasi bisa banget kalau mau
fokus ngerjakan di tempat ini. Konsep Perpustakaan seperti ini yang surgawi banget, karena tempatnya nyaman, mau ngapain aja bisa, dan jam bukanya lama. Meski jika dibandingkan dengan perpustakaan di luar negeri seperti UK dan Korea, mereka ada yang buka hingga 24 jam. Di Perpustakaan pusat ini disediakan kantin kalau lagi lapar, toilet di setiap ruangannya, fotokopi
kalau mau meng-copy referensi, dan tentu saja kran air putih bagi pecinta air
putih apalagi gratisan. Tapi sayangnya, fasilitas Mushollanya kurang memadai
karena kurang begitu luas, menurut saya sih...
Sepulang dari kampus,
biasanya saya akan membeli makan di sekitar kampus. Tempatnya bisa pindah-pindah,
meskipun sebenarnya ya itu-itu aja. Saya bukan tipe orang yang suka eksperimen
tempat makan baru, karena takut kalo nggak cocok jadinya malah kecewa. Eaaa apa
sih... maksudnya, kalau udah cocok dengan beberapa tempat makan, ya itu-itu aja
yang didatangin. Tempat makan yang sering saya datengin saya bikin list nya
nih:
1.
Tempat makan
Flamboyan yang ada di Jl. Flamboyan, ini karena menu yang disediakan banyak
banget tinggal pilih sesuai selera. Menunya makanan rumahan dan bentuknya
prasmanan jadi bisa memilih sesuka hati. Tempatnya juga cukup besar dan enak
jadinya lumayan betah kalau makan disini.
2.
Mr. Jamoer yang
ada di Klebengan, itu karena bahan dasarnya yang serba jamur tapi menunya bisa
dibuat macem-macem mulai dari sate sampe omelet jamur.
3.
Warung Chinese
Food Cio Tiu Muslim di daerah Sagan. Tempatnya kecil dan rada nyempil meskipun
di pinggir jalan. Favorit kalau disini pesannya fuyung hai. Sampai-sampai
masnya hapal, karena saking seringnya. Soalnya saya juga pernah komplain
gara-gara telurnya gosong, jadinya masnya sekarang hati-hati banget kalau
masakin fuyung hai. Hehe
4.
Ayam bakar Mas
Yanto yang ada di dekat SMP 5. Tempat ini selaluuu rame dan ga pernah sepi.
Pelanggannya kebanyakan memang mahasiswa, dan mas-masnya ini jagoan banget,
kalau ada orang pesan ga pake dicatet, tapi dia hapal dong pesenan setiap
orang. Rasa makanannya menurut saya enak dengan harga yang cukup murah. Menunya
ada ayam bakar, ayam goreng, ikan, hingga telur. Cukup lengkap... dan mas
Yantonya ini ramah banget sama tiap konsumen. Makanya banyak yang seneng makan
disini meskipun letaknya di pinggir jalan alias kaki lima...
5.
Ayam geprek Mas
Kobis. Biasanya saya dan adik saya manggilnya Mang Kobis, lebih greget aja sih.
Bedanya antara Malang dan Jogja dalam menu ayam adalah, kalo di Malang namanya
lalapan, kalau di Jogja geprekan, kalau di Surabaya penyetan. Intinya sama sih,
ada ayam / tempe/ tahu / telur yang dilengkapi dengan sambal. Ya gitu standar sih.
Yang bikin berbeda adalah rasa lauknya itu, ada juga yang sambelnya cara
bikinnya beda. Contohnya di Mang Kobis ini kita bisa request cabe berapa,
kemudian masnya bakal atraksi ngulek sambel di depan kita yang udah diberi
minyak goreng, sedikit micin, dan bawang, baru deh lauk yang udah kita pesan
tadi diulek jadi satu. Menu yang bikin beda adalah disini ada kobis goreng,
jadi kobis itu digoreng dan digeprek jadi satu. Rasanya? Ya bisa dibayangin
sendiri lah..kalau saya sih cabe 2 atau 3 aja udah cukup. Soalnya ada yang
pesan sampe cabe 30-an.
6.
Sate Madura depan
UGM, nggak tahu nama warungnya apa. Di pinggir jalan dekat UGM tepatnya depan
RS Panti Rapih. Pertama kali kesini waktu sama salah satu temen di kelas lagi
galau habis ujian, eh ternyata lumayan enak sate ayamnya. Akhirnya kalau lagi
pengen makan sate disini deh, sate ayamnya sebungkus Rp 13.000,-. Lumayan murah
kan?
7.
Nasi Uduk
D’gejrot. Sama halnya dengan geprekan lainnya, tapi ini nasinya uduk dan
ala-ala betawi gitu namanya. Tempatnya cukup enak dengan harga yang murah.
Murah nih syarat utama buat para mahasiswa, hehehe. Pertama kali tahu tempat
ini waktu saya lagi jogging pagi di Balairung. Ada orang yang nyamperin saya
ngasih kupon yang ternyata kupon beli 1 gratis 1 di d’gejrot ini. Akhirnya saya
cari tempatnya waktu itu dan lumayan lah dapet gratisan, karena saya kan bareng
sama adik. Makan berdua cuma habis 1 orang.
8.
Ayam Penyet
Suroboyo. Ini obat kangen sama makanan Jawa Timur-an. Sebenernya menunya nggak
yang Jatim banget, tapi rasa asin dan gurih dari masakan di sini jadi obat
rindu kalo lagi kangen masakan di rumah.
9.
Loving Hut.
Tempat makan vegetarian yang ada di Gejayan. Kalau lagi mau makan sehat dengan
harga yang rada mahal, bisa kesini. Kita bisa memilih makan pakai nasi merah
atau nasi putih dengan lauk yang lagi disediakan pada hari itu, atau kita memilih
berdasarkan menu yang selalu ada setiap hari. Semuanya vegetarian dan enak.
10. Ini nih andalan kalau lagi mager, siapa lagi kalau
bukan nasi goreng Lampoeng alias dalam kampoeng. Tempatnya pas depan kostan,
tinggal sms aja nanti kalau udah selesai bakal dibales sama Pak Pur kemudian
tinggal ambil deh. Menu yang disediakan macam-macam, ala makanan malam pada
umumnya seperti nasi goreng, bakmi, hingga capcay.
11. Sebenernya masih ada beberapa tempat lainnya seperti
warteg bu Gaya, warung juice Ankas, warung padang murah meriah, dan
tempat-tempat lainnya. Tapi itu semua lagi-lagi karena deket kostan, bukan yang
jauh-jauh apalagi mahal.
Nah, makan sudah... sekarang kalau ingin belanja
gimana? Tempat biasanya untuk belanja adalah Mirota kampus yang menjadi
pusatnya banyak mahasiswa berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari
makanan hingga kosmetik, baju, alat tulis, alat listrik, semuanya lengkap ada
disini. Makanya ga heran tempat ini selalu ramai pengunjung terutama mahasiswa
dan ibu rumah tangga yang berburu barang murah. Jika dibandingkan dengan
swalayan yang ada dimana-mana itu, harganya jauh berbeda. Namun untuk bahan
makanan mentah, jelas lebih murah harga di Pasar tradisional. Kalau saya, lebih senang beli buah-buahan segar di pasar tradisional karena harganya yang jauh lebih murah. Bayangkan saja, pisang sesisir harganya kalau di swalayan bisa Rp. 16.000,- tapi di pasar kita bisa dapat Rp. 10.000,- kan lumayan jauh bedanya... Memang sih harus rela berdesakan, tapi menurut saya itu nggak apa-apa, toh ya ini pilihan.
Bagi sebagian orang, mencuci baju adalah hal yang
membuang-buang waktu. Terkadang kalau saya sibuk dan nggak punya banyak waktu
di kostan, saya meletakkan baju-baju ke laundry dan 3 hari kemudian udah
selesai. Tapi selagi bisa mencuci sendiri, saya sih lebih sreg mencuci sendiri.
Meskipun seperti aitem-aitem sprei, mukena, jaket, saya lebih prefer di laundry
karena kalau nyuci sendiri lumayan berat ya cin.. apalagi kalau musim hujan, ga
kering-kering jadinya. Laundry di Jogja nih lumayan murah itungannya, sekitar
Rp. 3000,- hingga Rp. 5000,- per kilogramnya untuk cuci dan setrika, murah kan?
Satu hal paling krusial ialah air putih. Saya
berlangganan air putih galon salah satu merk ternama di Indonesia. Memang cukup
mudah ditemukan apalagi di sekitar kost saya ada beberapa toko yang jualan air
di galon. Tapi, tidak semuanya bersedia mengantarkan hingga ke kostan. Jadinya
saya langganan sama salah satu toko yang letaknya depan kostan banget dan
bersedia nganterin ke dalam kostan pakai sebuah gerobak yang dibikin sendiri.
Masih ada satu hal lagi sih, karena letak kamar saya ada di lantai 2, jadi saya
terbiasa angkat galon dari lantai 1 ke lantai 2 demi bisa minum dengan
sejahtera. Ya lumayan hitung-hitung olahraga angkat galon, karena saya nggak
punya barbel buat olahraga. Ada yang bilang sih, kalau cewek yang kuat itu
bukan cewek yang ga mudah nangis, tapi cewek yang bisa angkat galon sendiri.
Jangankan ke dispenser, dari lantai 1 ke lantai 2 aja sanggup. Hahaha...maafkan
kecongkakan ini ya....
Namanya juga mahasiswa, pasti butuh namanya tempat
ngumpul-ngumpul, entah untuk diskusi, atau sekedar hang out. Ada satu kafe
favorit yang cukup sering saya kunjungi karena tempatnya yang nyaman dan menu yang
disajikan juga enak. Namanya adalah Kafe Coklat, letaknya di Jl. Cik Di Tiro
sebelah Laboratorium Paramitra. Yaa lagi-lagi tempatnya karena dekat kostan,
tinggal jalan kaki 3 menit udah sampai deh. Tempatnya nyaman, homey, lagu-lagu
yang diputar oke, dan yang terpenting coklat yang disajikan disini semuanya enak
(meskipun belum nyoba semua menu sih...). Lagi-lagi karena saya orangnya ga
mudah pindah ke lain hati kalo udah suka sama satu menu ya itu aja, favorit
saya kalo kesini adalah hot chocolate classic, harganya pun ga terlalu mahal
untuk ukuran kafe dengan menu coklat, Rp. 16.000,- (belum termasuk pajak). Wifi
yang disediakan kenceng, pelayanannya ramah-ramah dan responsif, jadi betah
berlama-lama disini. Tapi karena tempatnya ga begitu luas, jadi harus rela
berdempetan kalo lagi rame. Ya...setiap tempat pasti ada plus minusnya kan
ya...
Saya ga inget lagi kafe mana yang jadi favorit saya
selain Kafe Coklat ini, berhubung saya bukan anak kampus yang suka nongkrong di
kafe layaknya anak kuliahan lainnya. Btw, ini saya ga lagi diendorse lho sama
pemilik kafenya.
Selain itu, tempat favorit saya adalah toko buku. Saya
bersyukur di kota pelajar ini setiap tempat deketan sama toko buku.
Contohnya aja di dekat kostan saya, dekat sama Gramedia dan Togamas, dua toko
buku favorit sepanjang masa. Gramedia di Jl. Sudirman ini bisa ditempuh dengan
jalan kaki hanya 10 menit atau naik motor 5 menit. Sedangkan Togamas bisa
ditempuh dengan motor 7 menitan kira-kira. Ga jauh sama sekali... soal harga?
Jelas Togamas juara lebih murah, tapi untuk kenyamanan tentu Gramedia juaranya.
Meski begitu, dua toko buku ini sama-sama favorit karena di sini berasa surga
dunia, bisa baca-baca buku yang dipengenin, tanpa harus beli meski hanya bisa baca
bagian belakang buku (karena masih diplastikin). Selalu muncul
inspirasi-inspirasi baru setelah datang ke tempat ini, tempat yang membuat saya
merasa berarti (lebay...). Yaa... doakan suatu saat saya bisa menjadi salah
satu nama yang tertera di jajaran buku best seller. Ada satu lagi tempat jualan
buku favorit, yaitu "Shopping" yang ada di dekat Taman Budaya Yogya. Tempat ini
menjual berbagai buku dari buku anak-anak, anak sekolah, hingga buku kuliah dan
umum. Saya sering membeli buku novel disini, akrena harganya yang miring
dibandingkan di toko buku, meskipun di sini jelas bukan buku asli. Maafkaaan....
Siapapun yang pernah berkunjung ke Jogja, pastinya
nggak afdhol kalo nggak mampir ke Malioboro. Betul nggak? Sebuah jalan yang
legendaris, jalan penuh romansa bagi siapapun yang melewatinya. Tak terkecuali
saya, yang selalu merasa suasana hati jauh lebih baik ketika melewati tempat
ini. Entah kenapa, tempat ini serasa menyimpan magnet supaya siapapun kembali
kesini. Saya selalu rindu tempat ini, meski sering banget macet dan banyak lalu
lalang orang. Saya cinta dengan keeksotisan tempat ini, suasananya yang membuat
rindu, atmosfernya yang berjalan begitu lembut. Nggak salah kalau banyak orang
rindu dengan tempat ini, saya pun begitu. Di sini berjejer pedagang yang
menjajakan segala keunikan Jogja yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
Saya juga senang berjalan di dalam lorong-lorong Pasar Beringharjo yang terletak di ujung Jalan Malioboro, melihat lalu lalang orang-orang berniaga yang begitu sibuk, melihat berbagai dagangan yang berwarna warni khas Jogja. Semua itu, suatu saat akan saya rindukan ketika saya jauh dari tempat ini.
Begitu juga dengan Taman Budaya yang menjadi saksi dari berbagai kegiatan akbar anak muda Jogja, dari mulai pameran, festival, talkshow dan konser serta acara lainnya digiat oleh anak-anak muda yang menorehkan sejarah di Jogja.
Saya juga senang berjalan di dalam lorong-lorong Pasar Beringharjo yang terletak di ujung Jalan Malioboro, melihat lalu lalang orang-orang berniaga yang begitu sibuk, melihat berbagai dagangan yang berwarna warni khas Jogja. Semua itu, suatu saat akan saya rindukan ketika saya jauh dari tempat ini.
Begitu juga dengan Taman Budaya yang menjadi saksi dari berbagai kegiatan akbar anak muda Jogja, dari mulai pameran, festival, talkshow dan konser serta acara lainnya digiat oleh anak-anak muda yang menorehkan sejarah di Jogja.
Itulah beberapa hal yang bisa saya bagikan. Sebenarnya masih banyak banget kegiatan di luar itu yang saya lakukan di Jogja. Nanti kita bahas di lain postingan saja. Anyway, akan lebih baik kalau ke depannya saya kasih foto-fotonya kali ya... Baiklah, soon akan saya sertai foto biar lebih nyata.
Memang, jika dibandingkan dengan Oxford, kota di UK
yang jadi tempat belajarnya Maudy Ayunda tersebut, Jogja sangatlah berbeda.
Masyarakat disini sangat menjunjung tinggi keramahan dan kebudayaan. Jelas
berbeda dari segi nilai-nilai kehidupannya juga. Yang jelas, masing-masing dari
kita berusaha menjalani hidup dengan normal dan dengan baik di kota yang jauh
dari tempat asal kita.
Komentar