Antara menolak dan
tidak ikhlas, awalnya. Siapa yang tidak sedih ketika mendengar orang yang
paling disayangi didiagnosis penyakit yang menjadi pembunuh nomor 2 di dunia?
Tidak bisa menerima, jelas.
Rasanya itu, antara
sedih, bingung, marah, kesal, protes, kecewa, semua emosi negatif bercampur
menjadi satu dan jadilah satu luapan, menangis.
Kalau dibilang
“waktu yang menjawab semuanya”, ternyata memang benar. Ada masanya ketika sedih
itu harus dialami dan diterima. Tapi, suatu emosi tidak akan tinggal selamanya
dalam diri. Ketika saya melihat semangatnya perlahan kembali menyala, meski
berada pada situasi yang jika saya ada pada posisi itu saya mungkin tak
sesemangat sepertinya.
Hari demi hari saya
melihat perjuangannya, berada di satu kondisi yang membuatnya tak lagi bisa
menjalani aktivitas dengan biasa. Detik demi detik saya menjadi saksi bahwa ia
begitu kuat menjalani prosesnya. Ditemani seseorang yang selalu setia
mendampingi dan melayani sepenuh hati dan jiwanya.
Perlahan saya mulai
percaya, saya mulai bisa mengumpulkan puing-puing kekuatan yang sempat runtuh
itu.
Sepuluh hari berada
di satu tempat yang sama, menjadi saksi dari setiap detik perjuangannya.
Memberikan semangat meski sebenarnya lelah. Mendulang harapan meski sebenarnya
pijakan kami goyah. Tapi demi satu kata, sembuh.
Berada di momen kala
itu, saya sama sekali tidak menyesal. Melakukan hal yang menurut orang remeh
temeh, tapi berjuta maknanya bagi saya. Meski harus rehat sejenak dari urusan
perkampusan, justru saya merasa berharga. Harusnya dari dulu saya ada di posisi
ini. Tapi lagi-lagi, Tuhan punya waktu
yang paling tepat bagi hamba-Nya.
Meski kala di
depannya saya tak punya banyak kata yang bisa diungkapkan. Tapi saya mengetahui
dengan pasti bahwa bagaimanapun kondisinya, saya mencintai beliau apa adanya.
Saya menghormati setiap apapun yang beliau katakan pada saya. Ketika melihatnya
tertawa dan menunjukkan kekuatannya, saya percaya disitu ada do’a-do’a dari
banyak orang di luar sana yang diijabahi oleh Allah.
Satu mata air yang
menjadi penyegar jiwa, yang selalu saya banggakan sosoknya. Begitu kuat dan bersemangat
dalam menjalani ibroh yang sudah ditetapkan. Tetaplah teguh berada di posisi
ini. Saya tahu lelah jiwa raga yang kau rasakan. Tapi ingatlah, saya selalu
punya waktu dan telinga untuk mendengarkan segala yang kau rasakan. Bahwa
engkau tidak sendiri, kita menjalani ini semua bersama-sama.
Hingga di satu titik
saya menyadari. Bagaimanapun kondisi saya, sosok-sosok ini yang menjadi tujuan
saya – tempat saya pulang –memberikan apapun demi saya. Lantas apa lagi yang
harus saya pinta? Saya merasa cukup dengan ini semua. Saya merasa bersyukur
atas adanya mereka hingga detik ini.
Harapan itu terus
ada, bahkan semakin menyala. Saya percaya bahwa Allah Maha Baik yang akan
memberikan kekuatan bagi kita. Kami akan selalu berdoa dan berusaha menjalani
ini semua. Kami tak akan lelah meminta dalam setiap waktu. Karena kami percaya
di setiap awal dimulainya hari, waktu subuh selalu menunjukkan kekuatan
magisnya. Selalu ada harapan untuk sembuh. Aamiin ya robbal alamin.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
Komentar