Bagi sebagian orang, bersedih adalah hal yang wajar, tapi bagi orang lain, bersedih adalah hal yang dianggap lemah. Padahal bersedih adalah wujud emosi selain bahagia yang seringkali menjadi tujuan hidup manusia. Belum lagi apabila ada perilaku yang tidak sesuai norma mulai muncul, anggapan-anggapan bahwa orang ini tidak normal, gila, hingga gangguan mulai disematkan. Komentar negatif, pandangan sinis, hingga menjauh dari mereka yang mengalami hal tersebut. Lantas, sudah tepatkah sikap dan perilaku ini?
Survei yang diadakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa diperkirakan pada tahun 2030, depresi merupakan gangguan mental yang menduduki peringkat pertama di dunia. Depresi adalah penyebab kematian dengan bunuh diri tertinggi di dunia. Hal tersebut sudah menjadi fakta yang tak lagi rahasia bagi orang-orang yang mengakhiri hidup karena adanya masalah dengan emosinya.
Sehat secara fisik adalah hal yang utama, namun hal tersebut juga harus diiringi oleh sehat secara mental. "Men sana in corpore sano" artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang sehat, juga dapat diartikan sebagai pikiran sehat ada di dalam tubuh yang sehat. Kedua dimensi antara fisik dan pikiran tidak bisa dipisahkan untuk mencapai defisini sehat.
Bicara soal kesehatan jiwa, ternyata 3 dari 4 orang yang saat ini mengalami masalah kejiwaan tidak mendapatkan perawatan secara baik. Mengapa? Karena adanya pandangan negatif dan stigma di masyarakat yang menganggap bahwa orang dengan masalah mental adalah orang gila, orang terkutuk yang harus dijauhi keberadaannya. Dimulai dari saat ini, saya mengajak teman-teman untuk mengubah pikiran tersebut. Bagi kami yang pernah menempuh pendidikan di psikologi, mungkin saja hal ini mudah. Namun bagi teman-teman dari jurusan apapun, latar belakang apapun, atas nama kemanusiaan, pantaskah kita mengucilkan mereka yang punya masalah dengan mentalnya untuk dijauhi dan dipinggirkan?
Jika kita rela mengeluarkan uang demi kesehatan fisik yang memang harus dijaga, yang sering pergi ke klinik, puskesmas atau rumah sakit ketika sakit flu. Tapi justru untuk hal yang sangat penting, yaitu mental, apakah kita tidak mau mengeluarkan usaha untuk membuatnya bisa lebih baik, atau katakanlah sembuh?
Setiap tahunnya sudah ada peringatan hari kesehatan mental yaitu tanggal 10 Oktober. Setiap harinya bukannya makin berkurang, justru mental illness semakin bertambah, indikator apakah ini?
Sudah banyak kasus-kasus tentang mental illness terjadi di sekitar kita, mulai dari yang stres kemudian pergi dari rumahnya, stres kemudian lari ke NAPZA lantas bunuh diri, hingga kasus skizofrenia yang masih banyak ditangani dengan cara dipasung.
Mental illness tidak dapat disepelekan. Lantaran bagi teman-teman yang tidak pernah mengalami rasanya survive dari mental illness, tidak bisa kita menilai seenaknya saja perilaku seseorang. Kita tidak pernah tahu rasanya dan prosesnya sehingga ia berperilaku seperti sekarang. Kita tidak akan pernah tahu karena kita tidak mau tahu dan berusaha menutup kepedulian atas nama stigma dan label negatif.
"Males ah bergaul sama orang yang kerjaannya ga pernah sembahyang...."
"Ogah ketemu sama orang yang ga jelas gitu...."
"Dia tuh kerjaannya cuma posting di sosmed, instastory di klub malam, trus pakaiannya ga bener...."
Itu sekelumit kalimat yang pernah saya dengar tentang bagaimana orang bisa menilai dengan mudahnya hanya dari sosial media atau yang tampak di luarnya saja.
Cobalah, di satu kesempatan kita ajak ngobrol dengan hati yang lapang dan pikiran yang kosong tentang orang tersebut. Cernalah apa yang dia katakan, tanpa menilai seperti apa orangnya. Kita akan perlahan bisa memahami bagaimana sudut pandangnya, bagaimana ia berjuang dalam menjalani hari-hari penuh tekanan, bagaimana prosesnya hingga bisa ada di tahap ini. Kita akan bisa menjadi orang yang lebih bijaksana dalam menilai orang. Tidak hanya dengan bilang, "Ah, kamu kurang dzikir makanya hatinya nggak terbuka gitu....." atau "Ngapain sih dipikirin berat-berat, hidup itu dibuat enjoy aja men....."
Ya, andai semudah itu. Namun bagi mereka yang mengalami hari penuh dengan gejolak emosi, itu tidak mudah.
Setiap orang berhak atas hidup bahagia dan bermakna. Daripada sibuk untuk berghibah dan melihat sisi buruk dari orang, cobalah untuk melihat bahwa apa yang dia lakukan adalah dinamika yang menjadikan kehidupan lebih berwarna. Ajak mereka bicara, kalau perlu sarankan untuk menemui praktisi kesehatan seperti Psikiater dan Psikolog untuk membicarakan tentang masalahnya. Saat ini, sudah banyak layanan kesehatan primer yang menyediakan praktisi kesehatan jiwa.
Dengan begitu, perlahan kita akan tahu bahwa apa yang mereka lakukan, itu adalah bagian dari proses untuk menjadikan hidup lebih baik, lebih bermakna dan lebih mengantarkan pada kedamaian.
_________________________________________________
Btw, pagi ini saya melihat sebuah video dari seorang selebgram yaitu Karin Novilda. Ia yang begitu kontroversial, mencurahkan isi hatinya di channel youtube-nya, tentang bagaimana bisa survive dari mental illnessnya yaitu depresi sehingga saat ini bisa menjadi orang yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Terima kasih, Karin sudah membagikan pengalaman hidupmu, really appreciate it. Banyak yang terinspirasi darimu, termasuk saya yang merasa belum bisa seperti kamu terjun langsung untuk membantu survivor bencana di Palu, Sigi dan Donggala. Ternyata benar hasil dari berbagai penelitian tentang happiness, yaitu bahwa ketenaran, kekayaan, dan tombol like dari sosial media tidak menjamin kebahagiaan yang hakiki dari hidup. Kebahagiaan yang hakiki, muncul dari adanya rasa bersyukur, dan kurangilah ekspektasi yang berlebihan karena hal tersebut akan menjadikan toxic dalam hidupmu.
Selamat berproses menjadi pribadi yang lebih baik!
Kalau mau nonton videonya, silahkan klik link ini.
Komentar