Mengenal diri sendiri

Manusia yang termanifestasi saat ini, terbentuk dari 3 alam, yaitu alam sadar, alam bawah sadar, dan alam tidak sadar. Ketiganya berada di fase Beta, Alfa, Teta dan Delta. Ketika kita sedang berpikir secara rasional, itu artinya kita berada pada fase Beta atau alam sadar. Saat kita menggunakan perasaan, insting, imajinasi kita untuk suatu hal, itulah fase dimana manusia berada di antara Alfa dan Teta atau alam bawah sadar yang bebas dan tidak mengenal norma. Kemudian pada faset Delta atau ketidaksadaran inilah dimana tubuh secara otomatis me-recovery dan menghasilkan tidur yang pulas, dimana kita tidak merasakan apa-apa sama sekali. 

Pasti semuanya pernah mengenal hipnotis kan? Yang beberapa waktu lalu sempat digunakan di TV untuk pertunjukan. Ada yang dihipnotis untuk bisa menyanyi, padahal sebenarnya saat di kehidupan nyata ia orangnya pemalu dan tidak mungkin melakukan hal tersebut. Kenapa bisa orang tersebut melakukan hal konyol? Jawabannya, karena orang tersebut telah meninggalkan fase Beta dan berada di fase Alfa dan Teta, dimana alam bawah sadarnya telah dijajah dengan cara diberi sugesti-sugesti yang tidak mungkin ditolaknya. Mengapa? Karena sifat dari alam bawah sadar tidak mengenal norma, ketika ada yang mensugestikan hal yang konyol sekalipun, maka ia akan melakukannya, bahkan yang berkebalikan dengan dirinya. Asalkan, tidak sampai membuat dirinya terancam. 

Hal ini berkaitan sekali dengan sistem kerja otak, prefrontal cortex, amygdala, sistem limbik bekerjasama. Bagian-bagian otak tersebut menghasilkan perilaku. Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya mengaktifkan alam bawah sadar dan ketidak sadaran bersamaan dengan alam sadar? Bisa kok. Tentu butuh latihan. Pernahkah teman-teman merasakan sebuah feeling berupa rasa nyaman dengan orang? Nah itulah produk alam bawah sadar. Atau berupa perasaan akan ada suatu hal terjadi setelah ini, dan ternyata kejadian tersebut sama dengan ada yang ada di pikiran kita? Itu juga hasil dari alam bawah sadar yang bisa dilatih kepekaannya. 

Ketika belajar mengenai hal ini, saya juga belajar bersamaan dengan psikologi transpersonal. Salah satu pendekatan psikologi yang percaya bahwa individu memiliki hubungan dengan kekuatan di luar dirinya melebihi dirinya sendiri, yaitu kekuatan spiritual. Individu yang bisa memandang dirinya melebihi topeng yang ada di dalam dirinya. Pendekatan ini bermuara pada esensi penemuan jati diri yang menghantarkan pada sumber-sumber kebajikan dalam diri. Konsepnya menurut salah satu pencetusnya bernama Assagioli bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga area yaitu puncak kesadaran tertinggi, wilayah tengah dari ketidaksadaran dan dasar dari ketidaksadaran. Ketiga wilayah ini mempunyai isi yang berbeda namun sangat erat berkaitan satu dengan yang lainnya.

Ketika manusia bisa berada di ketiga fase tersebut secara simultan, ia akan bisa menyadari bahwa alam ini tercipta karena sebuah makna yang telah diciptakan Tuhan. Antara manusia dan alam adalah kesinambungan tanpa batas. Setiap apa yang dikerjakan adalah bentuk dari pekerjaan alam. Keduanya bisa bergabung menjadi suatu harmoni.

Begitu juga ketika kita dipertemukan dengan orang yang kemudian menjadi teman, sahabat dan partner untuk berbagi. Hal itu bukan tanpa sebab, semuanya terjadi begitu saja tanpa ada kebetulan karena ada satu frekuensi yang sama antara kita dan orang tersebut. Entah dipertemukan secara tatap muka langsung atau hanya berkirim pesan, hal itu menimbulkan satu resonansi yang akhirnya membuat saling berkomunikasi. 

Sebenarnya di dalam Kitab Al-Qur'an sudah dijelaskan mengenai ketiga hal ini, namun manusia baru bisa membuktikannya secara empiris. Subhanallah.... rasanya tidak ada alasan untuk tidak berserah diri dengan Sang Maha Segala. Maka Allah tidak pernah menurunkan ayat-Nya tanpa tujuan. Bagi siapa pun yang sedang mencari jati diri yang abadi, teruslah mencari karena barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia pasti mengenal Tuhan-nya. 

Sebuah pemikiran yang didapatkan setelah membaca buku Energi Dzikir (Agus Mustofa, 2011) dan Para Pemain di dalam Diri Kita (Margret Rueffler, 1995).

Komentar