Everything happen for a reason

Saya termasuk orang yang percaya bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini ada alasannya. Bahkan setiap kejadian yang terlihat sepele seperti jatuhnya daun yang menguning dari pohonnya. Tetapi terkadang kita, manusia, awareness terhadap suatu hal yang 'sepele' itu tidak mudah. Butuh konsentrasi dan butuh perhatian lebih. 

Beberapa waktu terakhir banyak perubahan yang saya alami dalam hidup. Mulai dari pekerjaan, pertemanan, permasalahan, dan berbagai hal yang membuat saya menjadi lebih 'kaya' secara pengalaman. Namun spesifik untuk postingan kali ini, saya membahas tentang kejadian yang baru saja kemarin saya alami. 

Menjelang 100 hari setelah meninggalnya Bapak, keluarga saya mendapat pelajaran berharga. Khususnya untuk saya. Kejadian ini bermula ketika saya pulang menjemput saudara-saudara dari Tuban yang mau ke rumah Surabaya. Melewati Bundaran Dolog Surabaya ke arah Jemursari, kan pasti macet tuh. Saya mau melewati rel, tetiba ada mobil Ertiga di samping kiri saya mendahului saya yang ada di sebelah kanannya. Posisinya memang mepet-mepetan karena sedang macet, sedangkan bagian kanan saya juga ada mobil. Alhasil mobil ertiga tadi kegesrek bagian kanan belakangnya sama bagian depan kiri mobil saya. Saya pikir, ah senggolan doang. Udah lah, saya juga pernah kaya gitu sama motor waktu di Jl. Darmo tapi saya stay cool aja. Pernah juga mobil bagian depan kena bagian belakang truk waktu di Tuban gegara supirnya ngerem mendadak, jadinya retak gitu. Tapi Bapak saya tetep santai. Eh supirnya dari mobil Ertiga tadi keluar di tengah kemacetan kaya gitu, minta saya keluar juga. Ini orang ngerti nggak sih tata cara berkendara? Mbok ya cari tempat di depan yang agak lengang gitu lah... saya masih dengan wajah datar ga mau keluar.
Melewati rel, saya masih lurus dong, secara ini jalan sempit. Mau berenti, depan masih ada mobil, kiri juga. Saya agak kenceng ke depan, terus dihadang oleh ibu-ibu berjilbab dengan baju putih yang kepalanya nongol dari kaca jendela tengah mobil. Saya diteriaki, "Woy mbak berenti kamu!"
Tentu saja saya berhenti, emang niatnya mau berhenti, maunya setelah jalan Jemursari kan ada belokan kiri, disitu jalannya lebar. Tapi ya sudahlah berenti aja di sebelum Jermusari gang lebar, yang bener-bener jalannya nggak lebar. 
Sampe situ, saya nyalakan lampu hazard, udah deh ibu-ibu yang kepalanya nongol tadi turun langsung membentak saya dengan wajah garang dan nada bicara yang nggak santai, "Mana SIM kamu! Kamu nggak punya itikad baik ya, mau melarikan diri kan kamu!" 
Rasanya saat itu, sel-sel otak saya ada yang lenyap, Bapak saya aja nggak pernah membentak saya sampe kaya gini. Astaghfirullahaladzim... buk nyebut buk... saya tetap dengan wajah datar dan stay cool mengeluarkan dompet dan menunjukkan SIM A saya kepada beliau ini. Langsung dirampas sama dia.
Jujur saja, saya agak keder dengan dandanan menor dari ibu ini, yang pake eye shadow warna coklat, lipstik kecoklatan dan bulu mata cetar. Sedangkan saya, cuma kaya anak ingusan baru lulus SMA dengan setelan kaos, celana kain dan jilbab segitiga. Saya masih antara percaya nggak percaya ni orang ngapain sih pada keluar semua? Yang punya perkara kan saya dengan sopirnya ya, kenapa kok semuanya pada turun? Mana ada 2 mobil pula dengan baju putih-putih dan dandanan ibu-ibu sosialita yang katanya mau pergi ke Panti Asuhan untuk bakti sosial.

Saya turun lah dari mobil setelah kendaraan agak sepi, ibu yang nyopir ertiga tadi nunjuk saya, "Kamu udah berapa lama nyetir? Tau nggak kira-kira jarak mobil?" Saya jawab dengan lugunya, "Setahun..." tapi terus ada  kakak sepupu saya yang ikut turun, "Lho nggak ada korelasinya buk antara nyetir lama dengan kecelakaan, wong banyak truk udah pengalaman lama sopirnya tapi tetap kecelakaan?" 
Ah saya nggak mikir sampe segitunya, kemudian dia bilang, "Saya juga bisa nyetir mbak, tapi mbaknya baru setahun nyetir kan?" Lah trus kenapa? batin saya. Dia memaki saya dengan bilang yang aneh-aneh, saya mau melarikan diri lah, saya nggak bertanggung jawab lah, saya nggak punya itikad baik lah, tapi dengan nada tinggi dan dengan keroyokan banyak banget orang.  Saya yang awalnya selow, ngeliat ibu saya yang mulai ikut tinggi nada bicaranya, jadi ikutan tinggi. Tapi setelah itu, saya mikir, "Lah ngapain saya ikutan marah-marah gini, ga nyelesein masalah...." saya bilang ke si ibu ertiga tadi, "Trus ibu maunya apa?" Dia minta ganti rugi. Tapi SIM saya ditahan sebagai jaminan. Ada perempuan satu lagi nih yang ikutan juga manas-manasin keadaan dengan memvideo semua situasi ini. Astaghfirullah... saya nggak suka kalau udah mulai kaya gini nih. Apa faedahnya coba? Saya bukan tersangka kecelakaan yang sampe bikin korban jiwa lho dan hal kaya gini ini nggak etis sama sekali. 

Sepertinya timingnya pas, ada seorang polisi menghampiri kami dan mendengarkan satu per satu penjelasan kami. Intinya adalah, saya yang ada di posisi belakang, yang nggak bisa kontrol mobil. Padahal... dia yang... ah sudahlah. Sudah sudah... saya teringat pesan almarhum Bapak yang bilang bahwa beberapa hal di dunia ini memang tidak bisa sesuai kehendak kita, dan nggak perlu pelit sama orang lain, Allah yang Maha Kaya. Ibu saya juga udah mulai calm down, akhirnya tercapailah kesepakatan bahwa saya ganti rugi tapi saya mau tahu nominalnya berapa. Akhirnya ke bengkel lah kita, ke Suzuki di A. Yani. Sampai sana, ternyata bagian body repairnya sudah tutup dan harus di Suzuki Waru. Berhubung ini adalah hari Minggu, jadi baru bisa hari Senin alias besok. 

Kemudian dia bilang, "Saya senin kan kerja...." dan ditambah dengan perempuan yang dari tadi ikut manasin keadaan, "Iya ibu ini kan kerja..."
Seketika saya, ibu dan kakak saya langsung begini wajahnya -________- sambil ngebatin, "Lah dikata kita ini ga kerja apa? Dikata kita ini orang pengangguran yang ga ada acara gitu?" 
Ya sudahlah, tukeran nomer handphone aja. Biar ibu ini ngehubungi saya buat beritahu habis berapa biayanya. Saya mah santai bu orangnya, nggak akan melarikan diri. Pendidikan yang saya dapatkan nggak mengajarkan saya untuk lari dari masalah, toh setiap orang punya salah dan khilaf. Saya cuma nggak mau aja menambah musuh karena masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan secara damai. 
Teringat kata salah satu dari perempuan tadi yang bilang, "Ini itu perkara uang mbak...uang...." dengan nada yang beneran bikin saya eneg. 
Astaghfirullahaladzim... iya mbak iyaa... berapa toh, saya ganti. Kok ya takut banget i loh ngeluarin uang. 

Sampai selesai nulis ini, saya sebenarnya masih dalam proses untuk mengambil hikmah dari ini semua. Semalam saya sempat merenung, bahwa mungkin saja saat ini saya sedang ditegur oleh Allah. Saya diajari secara privat tentang makna "menerima" dan makna "ikhlas." 
Saya ngga mau membayang-bayangkan juga, "Andai masih ada Bapak, pasti.... ah sudahlah..." Bapak saya orang yang super sabar dan nggak akan terlalu mempermasalahkan kalau cuma urusan baret doang, bisa dicover sama asuransi kata beliau. 

Memang, internalisasi dan evaluasi diri itu tidak mudah, but it's a must! Mengevaluasi diri itu, tidak murah karena tidak semua orang bisa menyelesaikannya. Bagi orang-orang yang diberi kesempatan untuk mengevaluasi diri dan memperbaikinya adalah kesempatan yang berharga. Tinggal percaya aja bahwa hukum karma itu berlaku dan berbuat kebaikanlah sebanyak-banyaknya, meski dalam kondisi sedang tidak baik. Karena setiap kejadian itu pasti ada alasannya.


Komentar