Life After Marriage

Hari ini usia pernikahan saya dan suami masuk 10 bulan lebih sedikit. Rasanya waktu berjalan dengan syahdu dalam rangkaian hari-hari bersama. Tidak terasa cepat ataupun lambat. Saya tidak akan menggurui atau merasa paling benar dalam tulisan ini, karena membicarakan soal pernikahan bobotnya tak pernah ringan. Jadi, saya akan berbagi pengalaman setelah menjalani sekitar 10 bulan pernikahan.

Bagaimana?
Kita mulai dari pernikahan dimana membawa peran baru dalam hidup. Yang awalnya hidup sebagai perempuan lajang, sekarang statusnya menjadi istri orang. Yang dulunya kemana-mana seringnya sendiri, sekarang masih tetap sendiri...eh nggak ding, sekarang jadi punya opsi untuk ditemani. 

Bicara soal pernikahan, sepertinya kita lihatnya yang indah-indah melulu gitu ya? Padahal juga nggak seperti itu. Pasti ada konfliknya, ngga enaknya, sebelnya, marahnya, keselnya, itu semua berusaha banget dan sampai detik ini berjuang mengaturnya.
Terkadang beda pendapat menjadikan saya kesel sama suami dan memilih untuk diam. Disitu biasanya saya nggak bisa mikir jernih, tapi kemudian waktu yang mulai menyadarkan bahwa saya ngga boleh lama-lama sebelnya. Saya balik lagi, karena gimana pun juga saya hidup sama dia, jadi saya butuh dia, dan dia butuh saya. Balik baikan lagi deh (setelah dirayu dan dibelikan telur gulung...ehehe).

Perubahan yang nampak juga pada pergaulan. Yang dulunya ketika pengen ngajak jalan temen tinggal berangkat aja, sekarang pake izin dan kadang ditemani. Kalau dulu nongkrong bisa sampe berjam-jam, sekarang harus tahu jam pulangnya supaya ngga terlalu lama.
Dengan menikah, kita pun jadi punya keluarga baru yaitu keluarga suami. Bertambah juga orang yang bisa diajak bercerita maupun berbagi. Sejauh ini, saya tidak mengalami kendala yang berarti dengan mertua. Dulunya sempat dengar banyak cerita bahwa nanti ketika menikah, mertua perempuan akan sering mengatur dan bla bla... kan jadi takut ya. Alhamdulillah setelah menikah, saya tidak mengalami hal tersebut, justru saya belajar beberapa hal yang dulunya belum saya ketahui dari beliau.

Bagi saya, pernikahan bukan hanya bertemunya dua insan menjadi satu, tetapi bagaimana satu sama lain pun bisa bertumbuh. Seiring berjalannya waktu, kami pun belajar tentang sifat-sifat yang dimiliki, menyesuaikan diri, memahami, tak jarang juga disertai konflik. Tapi itu semua menjadikan kita sebagai "manusia." Bahwa kita tahu, manusia tidak ada yang sempurna. Masalah sepele, bisa saja menjadi besar karena memang belum siap menerimanya dan menolaknya terus menerus. Tiap orang ada kurangnya, tapi coba deh kita lihat baik-baiknya juga, supaya kekurangannya bisa dimaknai sebagai hal yang manusiawi asal tidak melampaui batas hati nurani. 

Berkaitan dengan pola hidup, juga pasti ada yang berubah. Sejujurnya, sampai detik ini saya masih terhitung jarang "masakin" suami. Sehari-harinya saya masih tinggal dengan Ibu saya, jadi polanya masih Ibu yang masak. Saya paling mentok kalo lagi mood ya goreng-goreng yang gampang aja. Memang saya akui belum ada greget untuk belajar masak karena belum merasakan urgensinya. Alhamdulillah suami saya ngga mempermasalahkan hal tersebut. Orangnya sangat pengertian dan doyan semua makanan, jadi saya nggak pernah pusing soal makanan buatnya. Yang penting ditemani makan. Justru dia yang kayanya pusing sama pola makan saya yang banyak milih-milihnya. 

Masalah finansial, kami pun masih belajar untuk mengaturnya. Sejauh ini kami masih sama-sama produktif bekerja. Jadi untuk pengeluaran sehari-hari, insya Allah masih dan berharap selalu tercover dengan baik. Sejak hidup berdua, jadi semakin mikir kalau mau beli-beli sesuatu. Yang dulunya untuk beli The Body Shop tinggal berangkat, sekarang pake tanya dulu dan dianterin belinya. Begitu pun dengan dia, yang kalo mau beli gadget keluaran terbaru, jadi mikir berkali-kali lipat, ngga kaya dulu semasa masih sendiri.

Menikah bagi saya juga sebagai proses pendewasaan. Bagaimana dulunya masih berpikir pada aku, sekarang jadi ke arah kita, karena ada partner untuk berbagi. Mulai mengatur investasi masa depan, karena nantinya insya Allah akan ada tambahan anggota keluarga yaitu anak. Investasi ini pilihannya banyak, dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan masing-masing pasangan. Bisa dengan emas, deposito, saham, reksadana, dsb yang sekarang semakin mudah untuk kita mengaksesnya dengan menggunakan aplikasi.

Ekspektasi yang saya canangkan ketika menikah, ternyata memang ada yang berbeda dengan realitanya. Tetapi perbedaan itu tidak membuat saya menjadi distres, justru membuat saya menjadi paham bahwa memang ketika sudah menikah, kita tidak bisa melihat dari hal bahagia saja. Kita diminta untuk lebih memahami dan mendengarkan. Bukan tentang perkara menang atau kalah dalam berargumen, tetapi jalan tengah terbaik dalam argumen tersebut.

Salah satu diantara kita pernah dominan dalam berbagai perannya. Misalkan ketika membahas "Mau makan apa?" Biasanya saya yang dominan, karena saya yang rewel dibandingkan dia. Tapi ketika bahas hal lain, dia pun bisa jadi lebih dominan dibandingkan saya. Seni menikah memang saling melengkapi. Belum lagi ketika ada yang bermasalah dengan pekerjannya, jadinya kebawa ke suasana rumah dan ketika diminta saran malah kesannya tidak seperti yang diharapkan. Beberapa kali kami pernah juga mengalaminya. Marah? Iya. Kezel? Pasti. Ya menyingkir sejenak dan mengambil jarak untuk menerima kemarahan dan kejengkelan dari dalam diri. Baru kemudian bisa berkomunikasi kembali jika perlahan sudah mulai surut rasa marah tersebut.

Mungkin kisah kami akan berbeda dengan kisah pasangan lain. Kami pada dasarnya sama-sama orang introvert, yang kalau dipaksa sebenarnya bisa menjadi ekstrovert tetapi kurang nyaman. Jadi, kami memang tipe pasangan yang "mager"an di rumah, atau kalau mau traveling sekalian yang jauh dan tempatnya tidak terlalu ramai. Kami bukan benci dengan keramaian, tetapi lebih nyaman dengan tidak terlalu hiruk pikuk orang.

Sejauh ini kami bersyukur atas apa yang kami miliki hingga saat ini. Meski tak luput dari samping kanan dan kiri mengatakan, "Udah isi belum?" "Kok belum hamil?" dan pertanyaan semacamnya, saya masih take it easy. Melihat sisi positif dari ini, kami jadi ada waktu untuk pacaran dulu setelah menikah. Mengenal satu sama lain lebih lama sebelum menjadi orangtua. Karena kami tahu bahwa Allah punya waktu yang tepat untuk kami bisa dipercaya menjadi orangtua. Bagi saya, omongan orang terkadang bisa diambil hal baiknya, tetapi jika terlalu menusuk dan justru membuat beban pikiran, ada baiknya ambil jarak dulu dengan orang tersebut.

Bagi saya, menikah itu bukan sebuah pencapaian, melainkan pengharapan yang tidak akan terjadi tanpa seizin Allah. Menikah bisa menjadi hal yang baik untuk berbenah dan membuktikan bahwa kita bisa menjadi orang yang lebih baik. Belajar menjadi istri, menjadi menantu dan insya Allah menjadi Ibu nantinya bagi anak-anak kelak. Kita akan menemukan versi diri kita yang lain di kehidupan pernikahan. Mungkin itu makna dari ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru" dari orang-orang sesaat setelah ada yang menikah.

Kelak, bagi kalian yang memang belum menikah pun akan merasakannya. Dan bagi yang sudah menikah juga pasti punya versi ceritanya sendiri. Ini cerita versi saya dan kami mohon doanya semoga keluarga kami selalu sakinah, mawaddah, warahmah fiddunya wal akhirat.
Aamiin ya robbal alamin.

Loc. Lautan Pasir Gunung Bromo

Komentar