Cabin Fever?

Menulis postingan kali ini, rasanya seperti berat sekali, tetapi dorongan itu rasanya kuat sekali. Semoga saya bisa menulis dengan konsisten lagi ke depannya...

3 bulan #stayathome, membuat banyak perubahan dalam lini kehidupan saya dan juga orang-orang di seluruh dunia pastinya. Kondisi ini "memaksa" kita untuk bisa beradaptasi dan berusaha menjalani hidup seperti biasanya, tetapi memang tidak bisa. Saya pun juga, meski mungkin ukurannya tidak sangat signifikan.

Saya bersyukur, di tengah kondisi pandemi ini, keluarga kami tidak termasuk dalam orang-orang yang diberhentikan kerjanya. Benar-benar bersyukur. Di sisi lain, keluarga kami terkena dampak juga, karena ada usaha yang kami jalankan tidak dapat menerima banyak klien dalam waktu bersamaan, alhasil harus mandeg sementara waktu. Tentu itu juga berpengaruh terhadap perekonomian keluarga. Tetapi jika saya mengeluh disini, rasanya saya malu karena masih banyak orang lain yang lebih banyak mengalami kerugiannya dibandingkan saya.

Lalu udah ngapain aja selama masa pandemi ini?
Jika disebutkan satu per satu, rasanya postingan ini akan bisa sampai beberapa jilid. Tapi saya akan merangkumnya. Sebagian besar kegiatan yang biasanya dilaksanakan di luar rumah, saat ini menjadi serba online. Hal ini membutuhkan penyesuaian luar biasa, yang mungkin dulunya tidak terbiasa memakai aplikasi zoom dan google meeting, sekarang mau tidak mau harus bisa. Yang dulunya menerima klien lewat tatap muka, sekarang harus membiasakan diri lewat chat atau telepon, bahkan video call. Aneh? Banget. Karena sensasinya tentu berbeda dibandingkan dengan bertemu langsung. 

Justru saya merasa di kondisi seperti ini, saya merasa overwhelmed dengan banyaknya informasi yang datang. Webinar setiap harinya selalu ada, bahkan saya pernah menemukan topik webinar menarik sehari hingga 4x, dan saya daftar dong ke-4nya. Kurang rajin apa? 
Tetapi yang saya rasakan akhirnya, jenuh. Saya jenuh dan merasa terlalu banyak informasi yang masuk pada diri kita, hanya akan membuat otak kita bekerja lebih lambat dan sulit mencerna. Saya mulai merasakan sulit membagi waktu antara belajar, bekerja dan keluarga, padahal saya tetap di rumah. Setiap hari melihat ke arah layar, dan itu lelah sodara-sodara.

Meski demikian, saya merasa tidak sampai ke arah mengalami kondisi emosional bermasalah. Seperti halnya istilah yang sering digunakan dalam menyebut kondisi emosional yang terganggu karena terlalu lama berdiam diri di rumah yaitu cabin fever. Saya masih pada taraf bisa meregulasi emosi, tidak uring-uringan. Tapi saya mengalami sulit fokus, tiba-tiba blank, dan merasa overwhelmed dengan kondisi saat ini.
Untungnya saya mulai menyadari, bahwa ini tidak sehat dan tidak bisa dilanjutkan terus menerus. Saya pun akhirnya mencoba untuk tidak berurusan dengan webinar selama beberapa hari, hasilnya cukup positif. Saya mulai merasa lebih tenang dan tidak mudah cemas. Sebenarnya ada rasa cemas akan ketinggalan informasi, tapi saya berbicara pada diri saya sendiri bahwa informasi itu tidak akan pernah kurang, justru bertambah setiap harinya. Bukan berarti kita tidak mengikuti satu hari, kita akan ketinggalan. Malah sebaliknya.

Hal lain yang dilakukan sepanjang 3 bulan ini, saya mulai coba resep baru, memanfaatkan oven yang ada di rumah, hasilnya lumayan. Nastar lebaran 3 toples yang ludes dalam waktu H+3 Lebaran, karena yang makan ya orang-orang di rumah aja. Tidak ada tamu yang datang ke rumah, dan kami pun tidak pergi kemana-mana. Bahkan, tidak pulang kampung alias mudik. Sedih memang, tapi demi kebaikan bersama.

Sejauh ini, saya merasa masih bisa menjaga kewarasan. Dengan tipe saya yang cenderung introvert, saya merasa cukup diuntungkan dengan kebijakan #dirumahaja. Meski memang polanya lambat, tak apa. Saya perlahan bisa menata kembali langkah yang akan diambil, merencanakan apa saja aksi yang akan dilakukan ke depannya, dan Bismillah tetap optimis dan menggantungkan harapan hanya pada Sang Pencipta. 

Kembali produktif dengan berkolaborasi dengan orang-orang di sekitar, memecah tugas-tugas besar menjadi lebih realistis dan dilakukan dengan perlahan. Oh ya, satu lagi. Di kondisi seperti ini, saya menjadi lebih produktif dalam membaca buku-buku self help yang selama ini hanya menumpuk di Kindle. Saya merasa bisa lebih menghela napas setelah membaca buku-buku ini. Next time akan saya review ya, buku apa saja itu. 



Komentar