Belajar dari kehilangan

Dalam 3 tahun terakhir ini, keluarga kami merasakan kehilangan yang berturut-turut dari orang-orang terdekat. Tangisan dan duka menjadi warna tersendiri, di antara berbagai tawa kebahagiaan serta capaian yang didapat. Penolakan terhadap kenyataan yang berujung pada penerimaan adalah hal yang tidak mudah bagi siapapun itu termasuk saya. Antara tidak siap dan bingung perasaan apa yang muncul saat kejadian itu datang lagi dan lagi. 

Dimulai dari sepupu dekat yang masih berusia belia di tahun 2017, kemudian orang tersabar sepanjang masa yaitu Bapak saya di Februari 2018. Tahun yang sama di bulan November, Mbah Putri (Ibu dari Bapak) juga dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kemudian di Februari 2019 Mbah Putri (Ibu dari Ibu) menghembuskan napas terakhirnya, dan di bulan November 2019 Pakde (yang menjadi wali nikah saya) meninggalkan kami selama-lamanya. Terakhir, Sabtu tanggal 18 Juli 2020 lalu Mbah Kung (Bapak dari Ibu) yang menyusul kehadirat-Nya. 

5 orang yang mewarnai keluarga kami dipanggil dalam waktu berdekatan adalah suatu kenyataan berat. Bukan hanya saya, tapi juga Ibu dan Adik saya. Kami menjalani hari-hari yang sewajarnya meski rasanya tak lagi sama, ada rasa hampa disana. Ada ruang kosong dalam hati yang tidak berani kami masuki jika tidak oleh yang pernah menempatinya dahulu. Masa-masa melewati itu sungguh nyata meski tak selalu kami tampilkan satu sama lain. Tak apa, kami tahu satu sama lain pun saling menguatkan dan mendoakan meski tak saling ditampakkan. Allah tahu bahwa kami akan diberikan pelajaran berharga dari masa-masa ini. 

Saya teringat pernah membaca sebuah buku berjudul "Becoming Aware" di tahun 2017 menjelaskan ada tahapan berduka dari Elisabeth Kubler Ross, yaitu denial, anger, bargaining, depression and acceptance. Perasaan denial itu benar adanya, karena kejadian buruk akan hampir selalu disikapi dengan penyangkalan. Berharap bahwa ini hanyalah mimpi dan bukan di dunia nyata, sehingga kita bisa segera bangun dan berharap ini semua cuma ilusi belaka. 

Baru kemudian masuk ke tahapan kedua, yaitu tahapan anger. Ketika sudah menyadari bahwa yang terjadi itu kenyataan, muncul emosi marah dan perasaan tidak terima, tidak adil, dan mempertanyakan kejadian ini. Kenapa kami? Kenapa aku? Kenapa harus seperti ini? Dan berbagai pertanyaan yang meminta kejelasan tentang kejadian tersebut. 

Tahap selanjutnya adalah bargaining. Dimana kita merasa sedikit ada kejelasan namun masih berusaha menawar kejadian tersebut karena tidak sepenuhnya harus terjadi pada kondisi kita. Seharusnya begini, seharusnya begitu, mauku begini, mauku begitu, disinilah letak tawar menawar dengan diri sendiri. 

Tahap berikutnya yaitu depression, dimana masa sedih, terpuruk dan merasa bahwa ada yang hilang dari bagian diri kita. Masa ini menjadi masa yang challenging karena masa-masa sedih dimana tidak tahu harus seperti apa, sulit menjelaskan perasaan ini pastinya. Pernah ada masa dimana saya menghadapi suatu situasi dan pikiran saya shortcut untuk segera menanyakan kepada Bapak. Kemudian saya baru sadar bahwa Bapak saya sudah tiada. Saat itulah hati rasanya sendu, pikiran tak menentu. Ada rasa hilang yang tak bisa diungkapkan, sehingga luapan perasaan ini dijelaskan dengan tangisan. 

Hingga akhirnya masa yang benar-benar membawa kita untuk benar-benar move on, yaitu acceptance. Tahap dimana kita sudah menerima kondisi bahwa memang orang yang kita cintai sudah meninggalkan kita di dunia ini. Tidak ada lagi fisik yang bisa diajak berbicara, disentuh bahkan dipeluk. Di tahap ini menurut saya adalah tahap yang paling "nyesek" karena keberadaan orang tersebut telah kita akui ketiadaannya. 

Rasa sedih dan berat ini masih ada ketika membaca kembali, mengingat atau diingatkan kembali tentang memori bersama orang-orang tersebut. Seperti saat saya menulis ini, saya mendiamkannya cukup lama yaitu 2 minggu untuk akhirnya bisa menuntaskannya. Perasaan yang tak bisa ditutupi, karena mata saya masih berkaca-kaca saat membaca kembali untuk mengoreksi kesalahan penulisan. Terlebih sudah lama rasanya saya tak menyambangi peristirahatan terakhir orang-orang tersebut. Di foto pada postingan ini adalah makam Mbah Kung, sesaat setelah beliau dikebumikan.

Bagi kami, kehilangan adalah momen yang membuat kami down. Tapi kami tahu bahwa rasa itu tidak akan selamanya menetap. Saya sadar bahwa setiap pertemuan tentu akan ada perpisahan. Entah siapa duluan yang meninggalkan, saya atau mereka, tidak ada yang benar-benar tahu kecuali Tuhan Yang Maha Esa.

Doa terbaik, bagi Bapak, Mbah Putri, Mbah Kung, Pakde dan Adek sepupu saya yang telah mendahului kami berada di alam yang berbeda. Kami belajar dari rasa ini, rasa kehilangan yang membuat kami menyadari, betapa pentingnya arti bersama saat orang-orang yang dikasihi masih ADA.


-Tuban, 18 Juli 2020-

Komentar