Bagi saya, yang berasal dari Surabaya dan bisa dibilang ga pernah menginjakkan kaki di ibu kota negara, pergi ke Jakarta adalah satu hal yang langka. Terakhir saya ke jakarta itu tahun lalu, dan tahun ini tepatnya kemarin Jumat saya berkesempatan buat datang ke ibu kota lagi. Dalam rangka apa? Nanti saya ceritakan.
Berbekal Undangan yang saya dapat dari email, saya pesen tiket ke Jakarta. Awalnya saya mau berangkat sendirian, udah berasa menantang badai aja. Tapi orang tua saya lebih tepatnya Ibu yang ga tega ngelepas saya sendirian untuk pertama kalinya ke Ibu Kota, jadi saya pergi ke Jakarta bersama Ibu.
Berangkat jam 6 pagi dari Bandara Juanda ke Bandara Soekarno Hatta, sampai di sana jam 7.15. Krik krik mau ngapain, karena check in hotel kami masih jam 13.00. Akhirnya setelah searching di Google, kami memutuskan untuk pergi ke Pasar Tanah Abang, mau wisata belanja. kami naik Bus Damri ke arah Stasiun Gambir, kata mbak-mbak loketnya gitu, nanti turun di Millenium dan tinggal naik Bajaj aja deket ke Tanah Abang. Sejujurnya kami ga tau Millenium itu apa, tapi udah lah pasrah aja sama si Bis Damri ini. Lewat Jakarta Utara, pintu gerbang Ancol, dan akhirnya sampailah kami di pusat Kota Jakarta. As usual, macetnyaaaa masya Allah. Kemudian kami udah ada di Stasiun Gambir, lah mana Millenium nih? Ah payah...kernetnya ga nurunin kami di Millenium, kami pun turun di Stasiun Gambir yang bersebelahan sama Monas. Oke, ide konyol tiba-tiba datang.
"Buk, ayo ke Monas.."
Dan Ibu pun hanya mengiyakan permintaan anaknya yang wajahnya memelas ini.
Jam 10 pagi, lagi panas-panasnya dan kami jalan dari gerbang St. Gambir ke pintu masuk Monas, oke itu jauh. Lumayan menguras tenaga, untung cuma bawa 1 tas ransel aja.
Isinya Monas, hampir sama kaya Tugu Pahlawan, cuma menurut saya malah lebih keren Tugu Pahlawan. Soalnya di Tugu Pahlawan tampilannya lebih menarik di dalam, dan ada pemutaran film perjuangan, penataannya juga lebih keren, dan ada pameran barang-barang bersejarahnya. Kalau di Monas, cuma diorama dari zaman prasejarah sampai zaman Kemerdekaan.
Setelah puas berkeliling dan capek di Monas, kami pun keluar arena Monas dan nyegat Bajaj. Oke, ini pertama kalinya saya naik bajaj, kendaraan roda 3 yang bunyinya "otok otok otok". Dulu waktu saya masih TK di Malang, kalau dari Pasar Dinoyo pulang ke rumah, favoritnya naik bajaj.
Sampe di Pasar Tanah Abang, crowdednya masya Allah... ya hampir sama kaya di PGS Surabaya sih, cuma disini orangnya lebih "wow" aja, lebih "kasar". Beli ini itu, sampe akhirnya barang bawaan lumayan banyak dan tangan udah ga cukup lagi, terpaksa kami pun beli koper, hahaha...
Setelah puas muter-muter di Tanah Abang, Ibu telpon sodara kami yang kerja di Depkumham, namanya Mas Rochim. Beliau ini sudah berkeluarga dan sekarang menetap di Depok. Oleh Mas Rochim, kami dipesenin Hotel di deket Kantornya sana, namanya Rasuna Mansion. Kami pun menuju kesana dan bisa beristirahat dengan tenang..
Setelah puas muter-muter di Tanah Abang, Ibu telpon sodara kami yang kerja di Depkumham, namanya Mas Rochim. Beliau ini sudah berkeluarga dan sekarang menetap di Depok. Oleh Mas Rochim, kami dipesenin Hotel di deket Kantornya sana, namanya Rasuna Mansion. Kami pun menuju kesana dan bisa beristirahat dengan tenang..
Sorenya kami ke Kantor Depkumham sampe malem dan makan bareng di Kuningan City. Kayanya di Jakarta ini setiap area perkantoran, pasti di sebelahnya ada Mall, sepaket gitu. Parkiran penuh amat yak, tapi waktu masuk ke Mall, ampun deh sepiii banget. Ini tiap orang bawa 2 mobil kali ya? Kalo saya bilang, Kuningan City ini kaya Grand City di Surabaya, mall yang besar tapi sepi.
Besoknya, saya bersiap berangkat ke daerah Jalan Palmerah. Setelah sarapan pagi di hotel, saya berangkat jam 6.30 pesen taxi, sekalian check out. Karena hari Sabtu, jadi jalanan cukup lengang dan ga sampe 20 menit udah sampe dong ke tempat tujuan di Jalan Palmerah Barat, Kantor Kompas Gramedia. Waktu turun dari Taxi, langsung saya menemukan sesosok yang saya kenal, Soni - temen saya di Kampus. Ketemu juga sama Vera dan Bonita. Kami ngobrol-ngobrol sebentar sama Ibu saya, dan akhirnya naik ke ruangan tes. Ibu saya nunggu di lantai bawah, gimana lagi dong?
Tes dimulai jam 8.30. Agendanya adalah psikotes, selesai jam 10.00 Katanya sih bakal ada pengumuman siapa yang bakal lolos ke tahap berikutnya jam 11.00. Sembari menunggu jam 11.00, kami diberi makan siang. Tapi dasar orang Indonesia ya...selalu aja jam karet, kami menunggu pengumuman sampe jam 13.30 baru diumumin. Selama menunggu itu saya yang duduk sebelahan sama Bonita a.k.a Bonbon, dan belakang kami si Mustofa yang juga anak Ilkom UB dan Andhika, anak Sejarah UI ketawa ga berenti-berenti. Ada aja bahan becandaan, dari mulai ngomongin Agen Pertamina, sampe stok buku nikah yang habis. Kami sama-sama melamar di posisi yang sama yaitu HRDP.
Tes dimulai jam 8.30. Agendanya adalah psikotes, selesai jam 10.00 Katanya sih bakal ada pengumuman siapa yang bakal lolos ke tahap berikutnya jam 11.00. Sembari menunggu jam 11.00, kami diberi makan siang. Tapi dasar orang Indonesia ya...selalu aja jam karet, kami menunggu pengumuman sampe jam 13.30 baru diumumin. Selama menunggu itu saya yang duduk sebelahan sama Bonita a.k.a Bonbon, dan belakang kami si Mustofa yang juga anak Ilkom UB dan Andhika, anak Sejarah UI ketawa ga berenti-berenti. Ada aja bahan becandaan, dari mulai ngomongin Agen Pertamina, sampe stok buku nikah yang habis. Kami sama-sama melamar di posisi yang sama yaitu HRDP.
Alhamdulillah...saya, Bonbon, Musto, Dhika, Soni, Vera, dan Mbak Melsa (Psikologi UB 08) lolos ke tahap berikutnya yaitu psikotes tahap kedua, dan interview. Psikotes tahap kedua ini as usual, tes kepribadian yang sudah familiar. Sedangkan interviewnya agak "beda", karena kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Kebetulan saya bagian dari kelompok C10 yang beranggotakan 4 orang, diwawancarai oleh seorang psikolog bernama Tita. Duh, namanya adek saya ini pasaran banget sih ya. Kami ditanyai macem-macem, serius tapi santai...
Tes berakhir sampai jam 17.20. Ibu saya udah garing banget nungguin saya pasti, untungnya Ibu saya ga nunggu sendirian, tapi sama beberapa orang tua yang juga nganterin anaknya, dari Bengkulu. Pulangnya, saya dibarengin sama seorang yang baik hati bernama Mbak Santi, Eka dan satu lagi lupa namanya (maafkannn...ya mbak) yang nunjukin kami rute busway ke arah Ragunan seperti kata mas Rochim. Kami diminta nginep di Depok, tapi ntar turun di Ragunan, baru dijemput untuk ke rumah.
First time juga naik busway, cukup nyaman tapi tetep lebih nyaman naik kendaraan pribadi. Masih banyak kendaraan pribadi kaya motor dan mobil yang nyerobot seenaknya di jalur busway, iya sih emang kebetulan malam itu malam minggu jadi jam rame-ramenya dan crowded banget. Tapi bukan berarti seenaknya gitu dong nyerobot jalur Busway. #gak sante
First time juga naik busway, cukup nyaman tapi tetep lebih nyaman naik kendaraan pribadi. Masih banyak kendaraan pribadi kaya motor dan mobil yang nyerobot seenaknya di jalur busway, iya sih emang kebetulan malam itu malam minggu jadi jam rame-ramenya dan crowded banget. Tapi bukan berarti seenaknya gitu dong nyerobot jalur Busway. #gak sante
Besoknya, saya bangun pagi dan menghabiskan hari Minggu maen sama anak-anaknya mas Rochim yang jumlahnya ada 4. Tapi yang terakhir masih bayi umur sebulan, jadi belum bisa diajakin main. Yang pertama namanya Kak Lissa ada di kelas 3 SD, Kak Ale sama Dede Al. Si Dede Al ini unyuuu banget kalo ngomong masih cadel-cadel gimana gitu, maklum masih TK sih. Tapi gampang banget akrabnya sama orang. Nempel banget sama saya, waktu kami main di Mall Cinere, minta digandeng mulu main muter-muter sampe akhirnya dia kecapekan tidur gitu aja di pangkuan saya. Unyu banget pengen saya culik ke Surabaya, hehe.
Waktu saya pulang, dia bilang, "Mbak nanti maen lagi yaa..." uuuu lucunyaa... "Iyaa..." nanti kalo saya diterima, saya bakal nginep disini lagi.
Pulangnya, kami naik Taxi ke Stasiun Gambir, pengen nyoba ngerasain naik kereta malam. Kami naik KA. Bima yang tujuannya Stasiun Gubeng Surabaya. Jam 17.00 kereta berangkat. Jam 14.30 kami berangkat dan sampai sana masih kudu antri buat nukerin tiket, karena saya beli tiket online. Ga praktis banget sebenarnya, apalagi antrinya sampe 30 menit sendiri.
Selama nunggu antrian itu, saya liat banyak porter-porter yang menawarkan para penumpang untuk diangkatkan barangnya, tarifnya sudah ditentukan oleh pihak stasiun dengan menempelkan pengumuman resmi, bahwa tarif minimal mereka 15ribu dan maksimal 20ribu setiap kali mengangkat sampai ke kereta. Trenyuh banget ngeliat penampilan mereka, dari Subuh sampe malem kerja kaya gini, aaakkk...pengen nangis rasanya ketika ngeliat fenomena kaya gini. Di Surabaya juga ada, tapi lebih berasa aja di Jakarta, ketimpangan sosial lebih kentara di sini. Lihat aja Gedung-Gedung bertingkat di Jakarta, sebelahnya pas udah perkampungan kumuh. Timpang bangeeetttt....ga imbang. Keras banget hidup di Jakarta, bro! Kalo ga kuat mental emang ga bisa survive di sini. Dan saya jadi berpikir beberapa kali untuk meyakinkan diri, apa saya yakin mau tinggal di ibu kota? Seenak-enaknya hidup di kota orang, emang paling enak di kota kelahiran, Surabaya.
Meskipun panas dan yaaa lingkungannya menurut orang-orang kasar, tapi saya nyaman disini. Saya nyaman jadi bagian dari "Bonek".
Monas :)
saya dan Ibu di samping Monas
Dede Al unyu banget bawa mainan kepiting :*
Komentar
kasihan amat yang ke Jakarta ngeliat yang ngenes". *geleng-geleng