Enumerator, kata yang belum pernah
saya dengar sebelumnya. Saya sesegera mungkin mencari informasi tentang kata ini
di internet by google. Saya mendapatkan sedikit informasi bahwa yang dimaksud
dengan enumerator adalah pengambil data, semacam surveyor. Setelah training
pada tanggal 27 Oktober lalu, saya akhirnya paham bahwa kami didapuk menjadi
enumerator memang untuk mengambil data di lapangan. Instrumen yang digunakan
yaitu kuesioner yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk
mendapatkan informasi apa yang ingin didapatkan.
Hari kunjungan pun datang, kami
yang ada di Jawa Timur dibagi menjadi 2 bagian. Untuk tim saya, kebagian
mengunjungi Kota Tuban, Jombang dan Batu. Tim kami terdiri dari 8 orang
termasuk Koordinator kami yaitu Bu Aa. Kunjungan pada hari pertama, kami
sudah dihadapkan pada penolakan secara halus oleh Kepala Sekolah, tapi kami
tidak pantang menyerah. Kami tidak mau hanya karena kami belum membawa surat
dari UPTD Kota ke sekolah, kami tidak diizinkan mengambil data di SDN Temandang
2 ini. Setelah melobby dengan berbagai alasan, kecurigaan Kepala Sekolah
dapat kami lunturkan dan kami diizinkan mengambil data di Sekolah dengan
lancar. Banyak dari para Guru yang mengeluhkan banyaknya pertanyaan, sehingga
kami harus mempercepat wawancara agar para Guru merasa tidak bosan. Saat kami
melakukan observasi di tiap kelas, ada beberapa kelas yang saat itu sedang
ditinggal sebentar oleh Guru, beberapa siswa mengira kami ialah Dokter yang
akan menyuntik mereka jika mereka ribut sendiri, kami hanya tersenyum ketika
mereka mengatakan, “Ada bu dokter, disuntik lho...”
Hari berikutnya kami ke SDN
Kutorejo II, setelah sampai di sana ternyata sekolah ini sudah dimerger dan
dijadikan satu dengan SDN Kutorejo 1, dengan alasan bahwa tidak boleh ada 2
sekolah dalam 1 atap. Merger ini dilakukan sejak tahun 2010. Besoknya kami ke
SDN Dagangan 1 yang letaknya di pucuk gunung, kami harus melewati jalan yang
berliku, dan jarang kami dapati orang selama perjalanan, benar-benar jauh
peradaban. Ditambah lagi tidak ada sinyal telepon seluler saat kami tiba di
lokasi. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Sekolah di SD tersebut. Untuk SDN
Dagangan sendiri, telepon yang bisa digunakan satu-satunya hanyalah handphone
dari Kepala Sekolah yaitu Pak Mulyono yang diletakkan di dalam gelas,entah
mengapa handphone tersebut ditaruh di dalam gelas, tentunya gelas tersebut
tidak ada airnya. Dan jika dijauhkan dari gelas tersebut, maka handphone itu
tidak ada sinyal lagi. Bisa dikatakan bahwa handphone tersebut memiliki 2 fungsi yaitu sebagai handphone pribadi dan
telepon sekolah. Kondisi SD ini cukup memprihatinkan, karena bangunan kelas 1-3
yang terletak di samping bangunan kelas 4-6, seperti akan roboh.
Dinding-dindingnya banyak yang berlubang dan ditutupi oleh papan ala kadarnya,
atap yang sudah rusak dan berlubang menunggu waktu untuk roboh. Bangku di kelas
yang sudah tak layak, dan pintu di kelas yang sudah rusak. Pada waktu hujan
deras, maka otomatis kelas 1-3 diliburkan karena tidak ada tempat untuk
belajar. Mereka berharap bahwa Pemerintah dapat menjamah sekolah mereka yang
terpencil ini. Mereka sangat senang saat kami datang ke Sekolah ini, karena
mereka berharap sekolah mereka akan mendapatkan bantuan. Di sekolah ini saya
menemukan salah satu Guru saya semasa SD yaitu Bapak Kepala Sekolah, beliau
pernah mengajar di SDN Parangbatu 1, Parengan, Tuban, dimana dulu saya pernah
mengenyam pendidikan selama 1 tahun. Setelah mengetahui bahwa saya pernah
menjadi muridnya, rapport antara sekolah dengan tim kami pun semakin baik.
Beliau bercerita tentang kondisi Guru-Guru disini yang kesejahteraannya masih
di bawah rata-rata, dan kebanyakan dari mereka dalam waktu dekat akan pensiun.
Sekolah berikutnya yaitu SDN
Gedongombo 3, kondisinya jauh lebih baik dari SDN Dagangan 1. Jumlah muridnya
cukup banyak, meskipun ada beberapa Guru yang tidak dapat hadir karena
mengantarkan siswanya Jambore, maka kami harus menelepon Guru-Guru tersebut.
Sempat kami dikira sebagai sales buku saat datang dengan membawa map yang kami
tenteng. Kami pun menjelaskan bahwa kami bukan sales buku, melainkan tim
peneliti dan penjelasan lainnya yang akhirnya dipahami oleh mereka.
Mereka sempat mengira bahwa kami akan memberi mereka bantuan seperti alat tulis
untuk sekolah, karena sebelum-sebelumnya penelitian selalu memberikan
cinderamata bagi sekolah. Secara keseluruhan,sekolah-sekolah di Tuban cukup
mudah untuk dimintai ijin dalam melaksanakan penelitian ini.
Kota berikutnya ialah Jombang,
hari pertama saya ditempatkan di MI Al Urwatul Wutsqo yang merupakan bagian
dari Pondok Pesantren. Tingkat Pendidikan yang ada disini sangat lengkap mulai
dari TK hingga STAI. Kami diterima dengan tangan terbuka oleh Ibu Wakil Kepala
Sekolah, karena Kepala Sekolah sendiri yaitu Bu Nyai tidak bisa sewaktu-waktu
berada di Sekolah karena urusan Pondok. Maka untuk urusan sehari-hari
diserahkan kepada Bu Wakil Kepala Sekolah, beliau juga merupakan satu-satunya
PNS di lingkungan ini. Selain beliau, keseluruhan guru statusnya masih Guru
tetap Yayasan dan Guru Honorer. Mereka mendapatkan upah Rp. 15.000,- per jam,
sehingga tinggal dikalikan saja selama sebulan, dan hasilnya gaji mereka
rata-rata di bawah Rp. 700.000,-. Mereka mengaku, mengajar disini sebagai
sebuah pengabdian dan mengamalkan ilmu. Ada kejadian unik saat kami berpamitan
pulang, beberapa petugas Tata Usaha yang bersalaman dengan kami, mencium tangan
kami. Mereka sangat menghormati setiap tamu yang datang ke Sekolah. Meskipun
sejujurnya kami tidak terbiasa dicium tangan, kecuali oleh anak-anak, kami
berusaha untuk terbiasa. Padahal bisa saja mereka usianya di atas saya.
Kegiatan belajar mengajar yang ada di sekolah ini cukup kondusif. Ada satu Guru
yang tidak dapat kami wawancarai karena beliau harus menjalani PKL yang
ditugaskan oleh tempat kuliahnya, kami pun harus menelepon seore harinya atau
keesokan harinya ke sekolah karena beliau tidak diperbolehkan membawa handphone
di lingkungan Pondok.
Besoknya, kami datang ke SMPN Bandar
Kedung Mulyo, kami disambut kurang welcome oleh Wakil Kepala Sekolah yang saat
itu mewakili Kepala Sekolah karena tidak dapat hadir disbeabkan ada acara
Pelatihan di Malang. Beliau tidak bersedia menerima kami karena alasan tidak
berani melangkahi kewenangan kepala sekolah. Sehingga kami diperbolehkan untuk
datang pada lain hari. Kami pun memutuskan untuk pindah sekolah dan menuju ke
MI Al-Hikmah di Perak. Kami disambut dengan welcome oleh Kepala Sekolah yang
saat itu sedang menyirami tanaman. Beliau memperbolehkan kami melakukan
observasi dan mewawancarai Guru-Guru. Para Guru pun sangat antusias dengan
kedatangan kami di Sekolah. Mereka menaruh harapan bahwa penelitian ini akan
memberi perubahan dalam Pendidikan di Indonesia terutama kesejahteraan
Guru. Saat wawancara dengan Guru,
terkadang ada salah satu Guru yang sangat antusias dan terlihat mencampuri
wawancara yang sedang dilaksanakan oleh enumerator dan Guru. Di setiap sekolah
kami mendapati ada Guru yang sangat dominan, dan ia berusaha mempengaruhi
jawaban dari Guru yang sedang diwawancarai dengan suaranya yang lantang.
Sekolah berikutnya ialah SDN
Wonosalam 1, sekolah ini jaraknya cukup jauh dari peradaban Kabupaten Jombang.
Sekitar 45 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai kesana dari penginapan.
Untunglah kami disambut baik oleh pihak Kepala Sekolah. Kebetulan saat itu
kelas 5 dan 6 sedang mata pelajaran Olahraga sehingga mereka bermain di luar
ruangan bermain kasti. Mereka sangat antusias dengan kedatangan kami dan
berperilaku sedikit ‘over’ saat kami menghampiri mereka. Ada beberapa sekolah
yang terlihat malas-malasan saat kami meminta data seperti NIDN guru, rata-rata
nilai UN, dan jumlah siswa mendapat BSM, namun pada akhirnya kami bisa
mendapatkan data tersebut.
Kembali lagi ke SMPN Bandar Kedung
Mulyo, Kepala Sekolah sudah ada di tempat. Namun, beliau bersikukuh bahwa kami
harus membawa surat dari UPTD untuk perizinan. Akhirnya kami pun menawarkan
untuk Bapak Kepala Sekolah langsung menelepon kepada Pak As yang
merupakan Kasi Pendidikan Menengah di Jombang, beliau akhirnya menelepon dan
mendapat izin dari Bapak As untuk kami melakukan penelitian ini. Cukup
alot bernegosiasi dengan Bapak Kepala Sekolah, karena hampir 45 menit kami
menantikan untuk benar-benar diperbolehkan mengambil data. Ditambah lagi pada
saat itu sedang diadakan rapat Wali Murid, sehingga Bapak Kepala Sekolah baru
bisa diwawancarai di atas jam 12 siang. Baiklah, kami harus bersabar. Setelah
perizinan beres, saya meminta daftar nama Guru yang jumlahnya 41 orang. Kami harus menggunakan tabel acak
untuk mendapatkan sampel Guru yang harus diwawancarai. Beberapa Guru juga harus
kami tunggu karena pada saat itu sedang ada jam mengajar. Di SMPN ini kami
menghabiskan banyak waktu untuk menunggu, dibandingkan dengan sekolah-sekolah
yang kami kunjungi sebelumnya. Setelah wawancara dengan kepala sekolah SMPN
Bandar KedungMulyo, kami pamit untuk pulang.
Kota berikutnya ialah Batu, kota
terakhir yang akan kami kunjungi. Hari pertama saya dengan tim ditempatkan di
SDN Songgokerto II. Cukup mudah menemukan lokasi sekolah ini. Meskipun masih harus
masuk ke gang kecil. Letaknya berdekatan dengan Bukit Paralayang, suasananya
sangat sejuk. Ibu Kepala Sekolah menerima kami dengan sangat terbuka, tanpa
meminta surat dari UPTD seperti sekolah-sekolah di Kota sebelumnya. Kami pun
diberi kesempatan untuk melakukan observasi tentang kondisi sekolah. Beliau
bercerita bahwa sekolah ini baru saja direnovasi, terlihat dari bangunannya
yang masih terlihat bagus. Jumlah guru yang diwawancara 9 orang. Mereka cukup
terbuka saat diwawancarai, namun ada 1 Guru yang sedikit kurang welcome dengan
keberadaan kami, beliau menjawab seperti ala kadarnya. Namun itu semua tidak
menghalangi niat kami untuk mengambil data secara lengkap.
Kunjungan berikutnya ialah SMP
Solaiman. Awalnya kami mengira bahwa SMP ini ialah SMP swasta Islam, namun
dugaan kami salah besar, karena sekolah yang berlokasi di Jalan Raya Beji ini
ialah SMP swasta kristen. Kami juga terperangah ketika masuk ke dalam Sekolah
yang ternyata sebagian besar Gurunya beragama Islam. Kami berpikir bahwa
Yayasan Kristen pastilah guru-gurunya juga beragama Kristen. Lebih terperangah
lagi ketika tahu jumlah siswa dari Sekolah ini hanya 45 orang dari kelas 7
hingga 9 dan jumlah rombelnya hanya 3. Sekolah ini berada di bawah yayasan
Ebenezeer yang merupakan sekolah perinjilan. Para murid yang bersekolah disini
ialah para penghuni Panti Asuhan yang letaknya tepat di sebelah sekolah. Mereka
adalah anak-anak yang oleh orang tuanya dititipkan di sini. Ada yang orang
tuanya menjadi TKI, ada yang memang tidak memiliki orang tua dari lahir. Sampel
kami hanya 5 orang, karena hanya 5 orang ini yang dijadwalkan mengajar. Kami
diajak berkeliling untuk melihat kondisi sekolah. Ibu Kepala Sekolah sangat
welcome dengan keberadaan kami, meskipun dengan fasilitas yang sangat minim.
Mereka menjamu kami dengan sangat baik. Ada kisah lucu saat kami menanyakan
berapa jumlah nilai rata-rata UN dan nilai tertinggi serta terendah. Sekolah
tidak memiliki data secara tertulis, sehingga kami disodori ijazah dari lulusan
SMP tersebut pada tahun ajaran terakhir dan kami pun harus menghitung sendiri.
Untung saja jumlahnya tidak banyak, hanya 16 orang.
Sekolah berikutnya yaitu SMPN 3
Batu yang sudah sangat terkenal bagus di Kota ini. Kami datang ber-4 ke sekolah
ini karena mengetahui jumlah Gurunya sangat banyak. Saat sampai di sekolah,
kami bertemu dengan salah seorang TU yang mengatakan bahwa Kepala Sekolah
sedang mengikuti pelatihan di Balai Desa suatu kecamatan yang letaknya lumayan
jauh. Akhirnya salah satu dari anggota tim kami menuju ke Balai Desa tersebut menaiki
ojek. Sedangkan kami bertiga masih di Sekolah untuk meyakinkan bahwa kami
merupakan lembaga penelitian resmi yang bekerja dengan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Mereka lagi-lagi meminta surat resmi dari UPTD Batu sebagai
buktinya. Sehingga kami harus menelepon koordinator tim untuk bisa memberikan
surat pada sekolah ini. Setelah itu, kami mendapat laporan dari salah satu tim
bahwa di balai Desa tidak ada siapa-siapa dan tidak ada kegiatan pelatihan.
Pelatihan baru dimulai jam 13.00. Kami tentu saja kaget dan orang dari TU
tersebut juga heran. Beberapa menit kemudian datanglah Kepala Sekolah SMPN 3.
Kami pun meminta ijin untuk mengambil data dan sembari jalan, nanti akan
diantarkan surat dari UPTD untuk sekolah, sehingga Kepala Sekolah mengizinkan
kami. Kami pun menggunakan tabel acak untuk menentukan sampel karena jumlah
Gurunya sebanyak 50. Observasi yang kami lakukan kali ini bisa dikatakan berat,
betapa tidak rombel yang ada berjumlah 30. Kami harus berkeliling sekolah,
melihat dan menanyai berapa orang yang tidak masuk di setiap kelas serta
menanyai siapa guru yang sedang mengajar saat itu serta membuat janji dengan
guru yang termasuk ke dalam sampel. Kami mencari satu per satu guru yang masuk
ke dalam sampel. Cukup lama waktu yang dihabiskan untuk observasi, yaitu 2 jam
pelajaran karena luasnya sekolah. Ada salah satu kelas yang letaknya sangat
terasing yaitu di seberang lapangan, entah mengapa. Sekolah ini juga memiliki 2
lapangan sekolah yang sangat besar, kantin yang banyak, serta ruangan khusus
untuk memasak. Pada saat kami akan pamit, Bapak Kepala Sekolah meminta kami
untuk menghadap beliau di ruangannya. Beliau meminta maaf kepada kami mengenai
surat dari UPTD tadi, karena koordinator kami telah mengantarkan sendiri suurat
tersebut ke sekolah.
SD IT Ibnu Hajar ialah tujuan
berikutnya, kami sengaja datang dengan formasi tim perempuan-perempuan karena
biasanya Guru SD IT mayoritas perempuan. Alamat yang diberikan kepada kami
kurang valid, karena ternyata sekolah yang kami tuju telah pindah ke alamat
lain. Alamat yang kami tuju pertama ialah sebuah TK, dan SD telah dipindah ke
alamat lain. Kami pun menuju alamat yang baru dan cukup tersembunyi letaknya.
Sesampainya di sana, kami seperti masuk ke dalam rumah sendiri karena memang
bangunannya layaknya bangunan rumah, bukan sekolah. Kami disambut dengan sangat
baik oleh Ibu Kepala Sekolahnya yang masih muda. Beliau menjelaskan bahwa
memang bangunan Sekolah ini masih mengontrak sejak Juli 2013 ini hingga tahun
depan. Awalnya mereka bergabung dengan TK,tapi karena suatu alasan maka SD IT
Ibnu Hajar pindah ke sini. Jika ada dana dari Pemerintah, mereka ingin sekali
membangun bangunan sekolah sendiri, tidak mengontrak lagi. Rombel yang ada
berjumlah 4 rombel, kelas 1-4, untuk kelas 5 dan 6 masih belum ada, karena
sekolah ini baru berdiri sejak tahun 2010. Sampel yang masuk wawancara pada
hari ini hanya 4 orang, betapa bahagianya. Ditambah lagi dengan Guru-Gurunya
yang sangat welcome dengan kedatangan kami. Kami diajak berkeliling ke Sekolah
yang "feels like home" dengan 3 tingkat ini. Kamar-kamar yang
selayaknya ada di rumah, disulap menjadi ruangan kelas. Untuk kelas 2-4 diberi
bangku-bangku kecil, sedangkan untuk kelas 1, mereka belajar dengan lesehan.
Salutnya untuk sekolah ini, mereka sudah memiliki perpustakaan sendiri di
sekolah dan tempat khusus berwudhu untuk praktek sholat. Para Guru yang ada di
Sekolah itu pun gajinya bisa dikatakan di bawah standar, karena tidak sampai Rp
500.000,00 per bulannya.
Kunjungan hari terakhir yaitu SDN
Tlekung 1. Letaknya ada di lereng Gunung. Sekolah ini terdiri dari 2 bangunan
utama yang ada di atas dan di bawah. Kami diterima oleh beberapa Guru, karena
Kepala Sekolah berhalangan hadir dengan alasan mengikuti rapat di SDN Mojorejo
II. Ada satu Guru yang dengan gigih mengatakan pada kami untuk datang besok
saja karena saat ini Kepala Sekolah tidak dapat ditemui sehingga tidak ada yang
memberi izin untuk melakukan penelitian. Kami pun meminta nomor telepon Kepala
Sekolah dan menelepon beliau untuk mengutarakan maksud dan tujuan kami. Di luar
dugaan, kepala sekolah sangat welcome dengan kami dan menanyakan apakah
surat-surat kami lengkap. Tentu saja lengkap, sehingga beliau memberi izin
kepada kami melakukan penelitian. Kami pun mewawancarai guru-guru di sekolah
tersebut dengan lancar. Kebetulan pada saat itu para Guru sedang melakukan
praktek membuat es krim karena kemarin baru saja ada demo blender yang datang
ke sekolah. Mereka memberi kami es krim rasa alpukat, tapi tidak terbuat dari
alpukat, melainkan dari sawi dan tape. Kami pun diajari para Guru membuat es
krim di sela-sela wawancara, selain rasa alpukat ada juga rasa melon dan durian
dnegan bahan dasar seledri, timun, tape, nangka dan sawi sesuai dengan takaran
masing-masing. Guru-guru yang awalnya sangat tertutup dengan kami pun akhirnya
perlahan mencair dan terbuka dengan kehadiran kami. Apalagi pada saat itu hujan
deras sehingga kami diminta untuk menunggu hingga hujan reda. Sekolah ini juga
memiliki kelas inklusi, beberap murid dengan kebutuhan khusus ada di sekolah
ini, namun hanya ada 2 guru pendamping kelas. Tentu saja jumlahnya tidak
mumpuni, karena jumlah ABK di sekolah ini sebanyak 8 orang. Sepulangnya dari
Sekolah, kami pergi ke rumah Ibu kepala Sekolah untuk melakukan wawancara, kami
diterima dengan sangat baik oleh beliau dan beliau bercerita banyak tentang
sekolah tersebut. Salah satunya mengenai relokasi sekolah, sekolah tersebut
awalnya berada di atas lokasi yang sekarang ditempati, namun karena lokasi tersebut
sangat berdekatan dengan Tempat pembuangan Akhir (TPA), sehingga tidak kondusif
untuk diadakan kegiatan belajar mengajar, sehingga sekolah direlokasi ke tempat
sekarang ini yang bangunannya yang jauh lebih bagus.
Pada akhirnya, kami melakukan perpisahan dengan karaoke bareng sampe suara pada serak, dan sebelumnya kami nonton Thor bareng di Matos. Sepulangnya dari Enumerator langsung deh ambruk, flu berat ga karuan, sekarang udah agak mendingan sih. Kudu tetep semangat untuk terus belajar dan berkarya untuk negeri. Jumat ini saya kudu ke Jakarta dan bulan depan Jogja dan Semeru menanti! Yeay, kudu tetap sehat! That's all pengalaman saya menjadi enumerator. Senang, sedih, kecewa, takjub, dan semua perasaan campur aduk selama menjadi bagian dari tim ini. Amazing dan wonderbar deh ! :D
Komentar