Bagi siapapun itu, beradaptasi di
suatu tempat baru menjadi satu tantangan yang harus dilakukan. Challenge yang
bagi sebagian orang mudah, tapi bagi sebagian lainnya nggak mudah. Benar,
apalagi jika latar belakang budaya dan sosial masyarakatnya sangat berbeda.
Seperti kita tahu, perkembangan manusia juga dipengaruhi oleh kultur di daerah
asalnya. Coba lihat, orang Indonesia yang melahirkan anaknya di Amerika dan
besar di sana, meskipun ia memiliki darah Indonesia, tapi gaya hidup, tutur
bicaranya mengikuti gaya Amerika.
Tidak perlu jauh-jauh ke Amerika,
contohlah ada seorang teman saya yang kedua orang tuanya dari Bali, tapi sang
anak dilahirkan di tanah Jawa dan besar di Jawa. Kalo ngomong, pasti medhok
Jawa, nggak ada Bali-Balinya sama sekali. Meskipun secara nilai-nilai, agama,
tentu mengikuti gaya Bali. Begitu juga dengan orang-orang Jawa Timur yang
memutuskan untuk tinggal di Jogja, setidaknya untut menuntut ilmu.
Bagi orang luar Jawa, mereka kurang
bisa membedakan logat orang Jawa secara spesifik. Yang jelas logat “medhok”,
sudah sangat menempel sama orang Jawa, Jawa manapun itu. Padahal Jawa sendiri
dibagi menjadi beberapa region, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Barat, dan you know who... Jakarta dan Banten yang nggak mau disebut sebagai bagian
dari Jawa. #kemudian sewot
Tapi orang Jawa asli pasti bisa
membedakan mana yang termasuk dalam Jawa Timur, khususnya misalkan Surabaya,
Malang, Kediri, Tulungagung, Banyuwangi, Tuban, dan kota-kota lain di Jawa
Timur. Kenapa? Karena masing-masing kota memiliki ciri khas logat yang berbeda.
Logat bicara yang berbeda ini sebenarnya tetap satu rumpun, yaitu bahasa Jawa.
Namun, banyak kata-kata yang ternyata agak berbeda di antara kota tersebut.
Misalkan saja ya, ketika ada teman
saya dari Blitar ngomong “Cah kuwi lho panggah ayu ae.....”. Saya yang orang
Surabaya memahaminya, “Anak itu lho tambah cantik aja.....”
Padahal artinya bukan itu, “Anak itu
lho tetap cantik aja....”. Oke, arti dari kata “panggah” adalah “tetap”, bukan
“tambah”. Tuh kan...jadi agak salah paham jadinya.
Belum lagi ketika ada orang Surabaya
yang ngomong “c*k”, atau “janc*k” di daerah Malang, Kediri, Tuban, dan daerah
lain yang bukan daerah Surabaya. Pasti dikatakan bahwa orang itu “nakal” dan ga
tahu aturan. Padahal, untuk orang Surabaya yang hubungannya udah dekat,
mengatakan kata tersebut sudah sangat biasa, bahkan itu adalah panggilan yang
membuat tambah akrab.
Sedangkan untuk kata imbuhan seperti,
“Kon wis mangan ta?” (artinya: kamu udah makan?). Ada imbuhan kata “ta” di
belakang, yang membuat ciri khas tiap daerah. Kalau di Malang, kata “ta” itu
menjadi “a”, jadinya gini, “Kowe wis mangan a?”, memiliki arti yang sama, tapi
imbuhannya aja yang bikin beda dan membuat mengerti bahwa orang ini orang mana.
Belum lagi logatnya, yang jelas-jelas berbeda antara 2 daerah ini.
Nah, kalau di Jogja... imbuhan “ta”
dan “a” tadi berubah menjadi “po”. Jadi misalkan gini, “Kowe wis mangan po?”
Dan itu yang membuat saya geli... kenapa geli? Karena saya ga biasa mendengar
kata-kata “po” tersebut. Banyak orang pendatang yang di Jogja jadi ikut-ikutan
ngomong kaya gitu, dan saya jadi pengen ketawa sendiri. Entah kenapa, saya dan
Tita agak gimana gitu... jadilah kami kalo ngomong masih dengan imbuhan kata
“ta” atau “a”, karena kalau kita ngomong pakai imbuhan “po”, kita berdua
langsung ketawa sendiri sampe ga bisa berhenti. Sesungguhnya kami merasa masih
belum bisa menyesuaikan kata “po” di lidah... >___<
Itu baru kata imbuhan, belum lagi kata
lain misalkan ada kata “njuk”. Saya benar-benar ga paham waktu awal-awal di
Jogja, itu artinya apa? Setahu saja “ngunjuk” itu artinya minum. Tapi ternyata
bukan.... “njuk” yang biasanya disambung dengan kata “ngopo” itu artinya
adalah, “Lha trus opo’o?” kalo di bahasa Suroboyokan. Kalo bahasa Inggrisnya,
“So what?”.
-______-
Baiklah.... aneh ya? Iya, di
awal-awalnya.... tapi sekarang saya udah terbiasa dengan kata-kata tersebut,
karena banyak Dosen saya yang bilang kaya gitu. “Njuk ngopo?”
Hahaha....baiklah.
Ada juga kata “mari”, yang artinya
“selesai” atau “sudah” dalam bahasa Surabaya. Sedangkan disini “mari” adalah
“sembuh”, jadi waktu itu saya pernah ngomong di kelas, “Eh tugasnya wis mari?”
Langsung diketawain sama sekelas yang waktu itu banyak orang dari Solo. “Hah
tugasnya sakit yun?” Lah, saya kan jadi bingung. Akhirnya ada seseorang teman
saya yang orang Malang bilang, “Maksudnya Ayun itu tugasnya wis rampung?”.
Ohh...saya baru “ngeh” kalo ternyata mereka ga paham dengan kata “mari” yang
lebih tepat untuk orang sakit dan supaya cepat sembuh, sedangkan yang tepat
adalah kata “rampung” yang artinya selesai. Baiklah....
Banyak lagi kata lain seperti
“morat-marit” yang disini dikatakan “abul-abul”, kata “jedhing” yang disini
dikatakan “kolah” alias kamar mandi / toilet.
Dari logat saya yang kental sama
Suroboyo-an ini, seharusnya mereka langsung tahu saya orang Jawa Timur. Tapi
banyak yang salah mengira kalo saya orang Jawa Tengah, parahnya lagi ada yang
bilang saya orang Jawa Barat. -____-
Karena menurut mereka orang Surabaya
kental dengan logatnya yang keras dan terkesan kasar. Mereka nggak ada yang
percaya coba kalau saya orang Surabaya soalnya logatnya nggak kaya yang mereka
pikir. Dari situlah saya berusaha menjelaskan, bahwa nggak semua orang di
Surabaya itu keras dan kasar seperti pikiran mereka.
Beberapa klien saya yang belum tahu
saya orang mana, pernah tanya saya orang mana? Saya jawab, Jawa Timur,
Surabaya. Mereka pada nggak percaya. Dikirain saya orang Solo atau
daerah-daerah sekitar Jawa Tengah. Jauhnya..... ><
Satu hal lagi terkait logat, adalah
tutur kata. Orang Jogja jelas lebih halus dan lebih kalem dibandingkan orang
Jawa Timur yang ngomongnya berapi-api. Bukan kasar, tapi bersemangat. Beda
memang dengan orang Jogja... saya sering takjub dengan orang-orang di Jogja,
bahkan laki-laki pun kalau ngomong halus banget, bikin seneng yang dengerin.
Beberapa teman di kelas yang laki-laki orang Jogja, ngomongnya memang halus dan
hati-hati banget. Bahkan volume suaranya juga nggak kenceng. Ini orang halus
banget ya kalo ngomong...kok bisa sih? Begitu juga dengan Dosen-Dosen yang
sebagian besar juga dari Jogja, bicaranya halus dan nyenengin, nggak “nylekit”.
Inilah satu hal yang saya suka dari orang Jogja.
Saya beruntung dapat tempat kost yang
warga sekitarnya ramah-ramah dan buka usaha yang ramah anak kost dengan harga
yang ramah pula. Seperti tempat makan, laundry, toko kelontong. Saya pernah
laundry di tempat yang berjarak sekitar 200 meter dari kosan, waktu itu saya
bilang kalo nama saya Ayun, eh Bapaknya dengernya Hayun. Akhirnya sampe
beberapa kali saya laundry di sana, nama saya ditulis Hayun dan setiap kali
saya kesana, selalu dipertemukan sama keponakan Bapaknya yang juga punya nama
Hayun. Laah? Bapak ini piye to? Saya juga ga mau mengklarifikasi deh... biar
Bapaknya seneng.
Setelah beberapa kali laundry di
tempat yang berjarak 200 meter itu, eh saya baru tahu kalau ada laundry yang
lebih dekat, jaraknya nggak sampe 100 meter ternyata, saya pun pindah ke tempat
laundry itu. Di situ pun saya kembali dipanggil mbak Hayun, padahal jelas-jelas
saya bilang nama saya Ayun. Krik krik.... masa sih saya alay ngomongnya, pake
imbuhan “h” di depan? Tapi ya sudahlah....
Tempat belanja murah bertebaran di
Jogja, apalagi dekat-dekat dengan daerah Kos. Contoh saja daerah kos saya yang
dekat banget sama Mirota Kampus. Ini semacam Sardo di Malang, menjual segala
kebutuhan A sampai Z ada disini. Senangnya adalah murah-murah, dibandingkan
beli di Ind*maret atau Alf*mart. Tapi nggak enaknya adalah penataannya yang
nggak rapi, jarak antar rak deket banget, nggak leluasa jadinya kalau jalan,
dan antrinya yang bikin stres.
Hal lain yang hampir sama dengan
Malang, setiap kali liburan maka Jogja akan selalu ramai. Kami yang mahasiswa
ini, justru bisa dikatakan jarang untuk keluar kos kalau weekend atau liburan,
malah memilih tempat di luar Jogja atau tempat wisata yang masih sepi macam
pantai-pantai di Gunung Kidul dibandingkan pergi ke Malioboro yang menjadi
tempat wisata wajib bagi wisatawan. Faktor yang paling utama adalah macet, ini
bikin paling stres.
Tentang temperatur kota... hmmm...bisa
dikatakan Jogja itu ada di antara Surabaya dan Malang. Di satu sisi Jogja bisa
sangat panas, bahkan melebihi Surabaya. Tapi di satu waktu, Jogja bisa sangat
dinginseperti di Malang. Hal itu disebabkan karena letak geografis Jogja yang
diapit oleh gunung dan pantai. Di utara ada gunung Merapi, di selatan ada
pantai di deretan Gunung Kidul. Menurut saya, suhu disini cukup nyaman dibuat
tempat untuk tinggal. Apalagi disini juga jarang bahkan hampir nggak ada nyamuk
yang mengganggu tidur. Beda banget sama Surabaya.
Malang dan Jogja memang tempatnya
menuntut ilmu. Banyak mahasiswa pendatang dari berbagai penjuru daerah datang
ke tempat ini untuk belajar di Universitas yang tersebar di seluruh Jogja, maka
dari itu nggak heran bila tempat ini dinamakan kota pelajar.
Kota pelajar, tentu menyimpan berbagai
cerita. Beberapa waktu yang lalu, belum sampai seminggu ini saya mendengar
kabar sedih dan tragis dari seorang teman tentang seorang mahasiswi yang
meninggal di kamar kosnya. Penyebab meninggalnya adalah ia melahirkan dan
kehabisan darah di kamar kosnya sendiri. Astaghfirullahaladzim... merinding
mendengar kabar seperti ini. Ia salah seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri
di sini yang baru berusia 20 tahun, saat ini masih duduk di semester 4. Ia
ditemukan oleh pembantu kosnya yang sedang bersih-bersih dan ternyata mahasiswi
itu sudah 3 hari tidak berdaya. Satu hal yang harus digaris bawahi adalah,
dimana penghuni kosnya yang lain? Masa iya teman-teman di sebelah kamarnya
nggak ada yang peduli sama temannya sendiri? Masa iya saat temannya teriak di
kamar kosnya dan suara tangisan bayi nggak kedengaran?
Ini adalah potret salah satu sisi
kelam dari kost jaman sekarang, dimana tempat kost udah kaya “aku ya aku, kamu
ya kamu”, alias egois. Tidak peduli lingkungan sekitarnya. Sama seperti gaya
hidup jaman sekarang di perumahan elit, ya kan?
Kalau sudah seperti ini jadinya, siapa
yang disalahkan? Ya masing-masing dari kita wajib mengoreksi diri. Kejadian ini
membuat kita menjadi sadar bahwa peduli terhadap lingkungan sekitar adalah
kodrat dari manusia yang merupakan makhluk sosial. Bahwa kejadian seperti ini
menjadi hal yang nyata ada di depan mata, bukan hanya karangan fiktif. Bahwa
kejadian ini semoga membuat kita menjadi sadar untuk menajaga perilaku. Satu
hal yang membuat saya sangat kecewa adalah, kok ya ada yang tega menyebarkan
foto kejadian dari mahasiswi cantik ini ke sosial media,
astaghfirullahaladzim... siapa pun anda, itu adalah hal yang sangat tidak etis,
tidak manusiawi. Ada dimana hati nurani anda? Ketika hal tersebut misalkan
terjadi pada kerabat anda? Apakah masih tega anda memfoto dan menyebarkannya?
Sungguh saya nggak bisa memahami jalan pikiran orang-orang seperti itu.
Namun yang jelas, tempat ini memberikan
saya banyak pelajaran. Saya bertemu orang-orang baik yang menjadi
saudara-saudara baru bagi kehidupan saya ke depan. Jadi, hidup di Jogja
itu......... J
ini pertama kalinya saya dan Tita foto di depan Tugu Nol km :p maapkeun narsis
Komentar