Yang Termarjinalkan

Istilah Marjinal pertama kali saya kenal sewaktu membaca buku paket Bahasa Indonesia jaman SMA. Artinya marjinal adalah pinggir, tidak diperhatikan. Tiba-tiba terbersit pikiran tentang orang-orang yang termarjinalkan di negeri ini.
Tanggal 10 Nopember kemarin as we know, Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Semuanya pasti sudah tahu sejarahnya, jadi saya ga perlu cerita kembali kan?
Beberapa tayangan berita di TV menyiarkan tentang perayaan Hari pahlawana, tapi tentu di balik syahdunya peringatan, terselip cerita miris yang membuat batin teriris. Bagaimana tidak? Para Pahlawan yang dulu berjuang untuk mendapatkan Kemerdekaan kita ini, pada jaman sekarang tidak lagi diperhatikan. Mereka yang dulunya sempat dipenjara, atau bahkan dibuang di pengasingan, sekarang sebagian besar dari mereka benar-benar tidak dianggap. Salah satunya adalah Suripno Masduki, usianya sudah menginjak 80 tahun. Ia adalah seorang veteran yang berasal dari Lampung. Pada usia 18 tahun ia sudah ikut perang Kemerdekaan dan menjadi salah satu laskar pejuang. Tapi setelah kemerdekaan didapatkan, mereka kaum-kaum veteran ini tidak mendapatkan buah manis. Setidaknya, pekerjaan yang bisa diberikan Pemerintah kepada mereka. Alih-alih pekerjaan, sekedar ucapan terima kasih saja tidak ada. Bahkan, setiap 10 Nopember mereka harus merayakan sendiri hari Pahlawan bersama dengan teman-teman seperjuangan di tahun 1945 itu. Benar-benar  ironi sekali kan? Mereka yang dulu berjasa, pada saat semuanya telah menjadi lebih baik, akan dilupakan.

Ada juga Kisah dari Propinsi Kalimantan Utara, propinsi termuda di Indonesia ini baru diresmikan menjadi propinsi ke-34. Medan jalan menuju kesana sangat sulit, benar-benar sulit karena harus menggunakan pesawat apa ya istilahnya...pesawat kecil semacam helikopter, dan nyampe sana jalannya masih benar-benar belum tersentuh oleh Pemerintah. Jalanan yang ada sangat becek, sulit dilalui oleh motor. Jalan dari Desa satu ke Desa lain juga sama, butuh perjuangan besar. Banyak dari warga Kalimantan Utara yang lebih memilih untuk hijrah  ke Malaysia demi mendapatkan sesuap nasi. Mereka lebih baik jadi budak di hadapan negara tetangga daripada tidak diperhatikan di negara sendiri. Benar-benar ironi sekali.
Hmm...jadi bersyukur dari kejadian ini. Saya bsia mengenyam pendidikan, mendapatkan penghidupan yang layak, menikmati apa yang saya punya sekarang... Benar-benar terima kasih kepada Allah, Alhamdulillah..

Komentar