Taman Bungkul Surabaya



Riuh rendah suara orang dan pengamen bercampur jadi satu saat saya dan keluarga pergi ke tempat satu ini. Taman Bungkul, siapa warga Surabaya yang tidak tahu? Biasanya tiap hari Minggu akan dijadikan tempat car free day. Saat saya berkunjung ke sana kebetulan saat malam minggu, jadi Taman yang luasnya ga sampai 1 hektar ini penuh sesak dengan orang-orang mulai dari muda mudi, anak-anak hingga lanjut usia. Sebenarnya, kami ke Taman Bungkul cuma buat mengantarkan Bapak memperpanjang SIM. Fasilitas perpanjangan SIM keliling ada di sini setiap harinya, buka sampai malem juga. Setelah urusan selesai, kami wisata kuliner di belakang Taman Bungkul, ada rawon dan soto kalkulator. Lucu ya namanya? Jadi, sehabis makan kan biasanya kita bayar tuh...para pegawainya disini ngitungnya cepet banget kaya kalkulator, akhirnya dinamakan soto dan rawon kalkulator deh.
Tapi kita ga makan disana karena saya dan Tita lagi ga napsu makan daging. Akhirnya kita ke pujasera di belakang Taman Bungkul, dekat dengan makam mbah Bungkul. Ada banyak pilihan makanan, dari martabak, nasi goreng, batagor, mie ayam, bakso, pecel, dan banyak lagi. Setelah pesan, kami pun nunggu makanan dateng, tiba-tiba ada seorang anak nyamperin kami dengan membawa keranjang yang isinya bungkusan telur puyuh. Mereka menawari kami untuk membeli telur puyuh itu, harganya 5000 isinya 5 kalo ga salah. Ibu noleh ke saya,”Ini senengane mbak Ayun pas jaman kecil...mau ta mbak?”. Saya Cuma diem, antara mau dan enggak. Sebenarnya lagi ga napsu juga makan telur puyuh, tapi kasihan liat anak kecil berpakaian lusuh dengan muka melas ini. “Ya terserah” itu yang akhirnya terlontar dari mulut saya.
“Piro dek?” tanya Ibu.
“Limang ewu ae buk....” jawab anak kecil itu. Ga tega juga ngeliatnya.
“Ga oleh kurang...wis bengi lho iki...” Ibu nawar.
“Nggak buk...kurang setorane Buk...kulakane mek 4500,” jawab si anak.
Ya ampun...Cuma ambil untung 500? Ya Allah... “Yowis buk,,beli berapa gitu...” saya bisik-bisik ke Ibu.
Akhirnya Ibu bayar deh telur itu dan si anak kecil pergi. Eh tiba-tiba beberapa anak kecil yang juga jual telur puyuh nyamperin kita berbondong-bondong dan meminta kita untuk beli telurnya. Lah...ya kalo gini ini payah namanya. Pake asas kasihan sih tadi..tapi akhirnya kami menolak dengan halus. Cuma yang jadi pikiran saya, anak kecil yang kira-kira dilihat dari wajahnya masih pantas duduk di kelas 2 SD, dibiarkan jualan demi mengejar setoran. Padahal hasilnya ga seberapa. Hah....jadi pengen nangis tiap lihat anak-anak kecil udah disuruh untuk cari nafkah demi menghidupi dirinya, terlebih untuk keluarganya. Rasanya saya ini ga pandai sekali bersyukur, dibandingkan dengan mereka. Mereka seharusnya masih bisa bermain-main, tetapi sudah dibebani tugas cari uang tapi mereka melakukannya tanpa rasa beban. Fenomena sosial seperti ini yang seharusnya ditunjukkan buat para koruptor yang tega-teganya memakan uang negara demi kepentingan pribadinya. Masih banyak sekali di negara ini rakyat yang hanya sekedar untuk makan saja mereka susah, apalagi untuk kebutuhan sekunder ataupun tersier, wahai para koruptor!
Setelah makan, saya dan keluarga jalan-jalan sebentar kelilin Taman Bungkul, melihat aktivitas orang-orang di sini, ada yang bermain ayunan, berfoto-foto, ngobrol, menawar barang-barang yang sedang dijual, dan melakukan aktivitas lain di malam minggu ini. Mereka melakukan ini dengan tujuan melepaskan penat, sama seperti kami. Bapak bercerita ke kami kalo dulu jaman kecilnya sering diajak oleh mbah Kakung ke alun-alun dan pasar malem yang ada di Pandegiling.
Wisata Bungkul ini jadi wisata murah meriah tanpa ada tiket masuk untuk mendapatkan secercah kebahagiaan demi menyambut hari-hari ke depan. Memang, tempat hiburan rakyat seperti ini harus selalu ada di tiap Kota, utamanya tempat-tempat urban. Taman Bungkul, semoga masih tetap ada hingga anak cucu kita kelak.

Komentar