Stay Honest in Your Own Mask

Setelah menyelesaikan studi S1 Psikologi di Universitas Brawijaya, ada 2 pilihan yang harus saya hadapi. Pertama, bekerja atau kedua melanjutkan studi magister.. Sebagai anak muda yang masih diliputi rasa euforia setelah lulus, saya tentu saja memilih untuk mencoba ke dunia kerja meskipun keinginan untuk melanjutkan studi master tetap tersimpan. Beberapa pengalaman mengikuti seleksi masuk ke dunia kerja mulai saya jajal, dari tes tahap awal administrasi, psikotes, hingga wawancara demi meniti karir.

Tentu saja, beberapa pengalaman menarik saya dapatkan selama menghadapi tes kerja. Pengalaman yang membekali saya untuk menambah kapasitas diri. Berkenalan dengan teman-teman sesama sarjana dari Universitas lain, macam-macam soal tes, hingga menghadapi pertanyaan-pertanyaan unik yang diajukan oleh pewawancara. Saya baru mengetahui bahwa di dunia kerja, persaingan menjadi sangat ketat ketika kita dihadapkan dengan "pesaing" dari Universitas lain.

Biasanya, setelah seleksi administrasi, ada seleksi psikotes, jika lulus seleksi ini akan dihadapkan pada seleksi wawancara. Tahap inilah yang biasanya membuat para calon pegawai gugup dan tak tahu harus menjawab apa. Saya pernah mengalami hal ini, meskipun saya dari jurusan Psikologi yang notabene pernah belajar tentang wawancara. Ada beberapa pengalaman menarik saat wawancara kerja yang tidak akan saya lupakan. Saya pernah memiliki cita-cita untuk menjadi bagian dari perusahaan media, karena saya senang menulis dan meliput berita. Saya mendaftar di sebuah perusahaan media terbesar di Indonesia saat ada jobfair yang diadakan oleh Kampus saya. Saya menghadapi tahap wawancara awal dan memilih posisi sebagai staf HRD. Kenapa HRD? Karena posisi yang ditawarkan untuk jurusan saya hanya itu, jadi saya pun tidak mempermasalahkannya, karena saya tetap memiliki keinginan bekerja di media. Beberapa minggu kemudian saya mendapatkan email bahwa saya lolos, dan diharapkan bisa mengikuti tahap psikotes di Jakarta. Apa? Jakarta? Terakhir kali saya ke Jakarta sekitar setahun yang lalu, itu pun hanya sehari semalam  langsung pulang ke Surabaya. Saya pun nekat berangkat ke Jakarta menghadapi psikotes ditambah ada wawancara dengan Psikolog. Wawancara ini hanya sekitar 30 menit, saya menghadapinya bersama 4 orang calon pegawai lain. Pengumuman untuk lolos tidaknya ke tahap selanjutnya langsung diumumkan, saya sangat bersyukur karena lolos tahapan berikutnya. Tes berikutnya yaitu sekitar 3 minggu lalu di tempat yang sama.
Perjuangan ke Jakarta dengan naik kereta api selama kurang lebih semalaman dan naik KRL harus ditempuh, untuk bisa menghadapi pewawancara. Saat nama saya dipanggil, tentu saja saya harus terlihat prima meskipun baru sampai dari perjalanan jauh. Menghadapi pewawancara yang nantinya bakal menjadi atasan saya sedikit membuat saya terbata-bata dalam menjawab. Seperti biasa, setelah memperkenalkan diri, mulailah beliau menggali potensi yang ada di diri saya. Kebanyakan mengenai "Apa yang akan saya lakukan jika sudah diterima?" dan "Pengalaman apa saja yang bisa membuatmu layak diterima di perusahaan ini?". Sampailah pada satu pertanyaan yang menurut saya sangat menohok, ketika beliau melihat beberapa pengalaman organisasi, pengalaman kerja dan IPK saya. Memang saat kuliah, saya tergabung dalam organisasi karya ilmiah dan organisasi jurnalistik yang mengasah kemapuan menulis, pengalaman kerja saya yaitu menjadi asisten laboratorium di jurusan psikologi sehingga mengharuskan saya untuk terlibat dalam kegiatan ilmiah lagi, dan IPK saya yang cumlaude.
"Kamu yakin dengan pengalamanmu yang sangat akademis bisa kerja di situasi kerja dengan iklim bebas seperti di media massa seperti ini?"
Hening.
"Kamu orangnya akademis sekali lho..."
Saya harus ngomong, saya harus ngomong...tapi bingung mau jawab apa, akhirnya yang keluar kalimat ini, "Memang saya termasuk akademis bu, tapi menurut saya dengan pengalaman yang sangat akademis seperti inilah yang menjadi bekal saya menghadapi dunia kerja."
Ahhhh....bicara apa saya tadi kan? Nggak nyambung banget. Tapi ya sudahlah... wawancara yang hanya memakan waktu 20 menit itu membuat saya berpikir lagi, ya ampun...ternyata dengan bekal nilai akademis tinggi tidak menjamin seseorang sukses di dunia kerja. Alhasil saya pun belum bisa melaju ke tahap selanjutnya yang kurang 2 tahap lagi, yaa..saya anggap belum rejeki saya. 

Satu lagi pengalaman menarik yang saya alami sewaktu saya mengikuti tes untuk bisa terpilih menjadi Pengajar Muda di sebuah Gerakan yang diadakan oleh tokoh pendidikan di negeri ini. Setelah melalui beberapa tahapan tes, sampailah pada tahap wawancara. Wawancara ini nantinya memakan waktu 45 menit hingga 1 jam. Saya mengira ada observasi yang dilakukan oleh pewawancara, namun tidak hanya itu saja, yang diinginkan oleh pewawancara ialah pengalaman saya di masa lalu yang bisa menjadi bekal saya menghadapi dunia pengabdian di tempat yang terpencil. Saya sudah terbiasa hidup berpindah-pindah karena orang tua saya pun terhitung sudah lebih dari 5 kali berpindah rumah, sehingga untuk masalah adaptasi, saya yakin bisa melaluinya. Lalu ada satu pertanyaan menohok yang membuat saya harus jujur sejujurnya pada pewawancara. Biasanya, kita yang diwawancarai akan merasa jaim dan cenderung mengungkapkan kelebihan-kelebihan kita. Namun pada wawancara kali ini sungguh jujur saya tidak bisa menutupinya, ketika beliau bertanya,"Hal apa sih yang membuatmu sangat kecewa dalam waktu dekat kemarin, dan bagaimana kamu menghadapinya?"
Tentu saja saya bertanya balik, "Apa harus berkaitan dengan kuliah?"
"Tidak...bisa berkaitan dengan orang terdekatmu, hal apapun, bebas...." ujarnya seraya tersenyum.
"Tapi yang baru-baru ini ya, saya nggak ingin mendengar kekecewaan yang pernah kamu alami pada 4 tahun atau 3 tahun silam, harus yang baru...." tambahnya lagi. 
Saya berpikir singkat, memang ada hal yang membuat saya kecewa, urusan asmara. Apakah saya harus mengatakannya? Akhirnya...
"Ada bu," jawab saya mantap.
"Saya pernah sangat percaya sama orang tapi orang tersebut mengkhianati saya. Dia adalah mantan saya..." 
Oh My God! Saat itu juga saya tidak menyangka saya bisa mengatakan hal tersebut dengan jujur, cerita pun mengalir lancar, dan tidak disangka beliau sangat excited menanggapinya. 
"Nggak apa-apa nih kamu nggak nikah dulu kalau diterima di Gerakan ini?" tanggapan pewawancara sambil tertawa.
Sambil tertawa saya menjawab, "Nggak apa-apa bu, saya masih muda kok..."
"Kamu lucu banget sih...." beberapa kali pewawancara menanggapi dengan kalimat itu sambil tertawa, dan ia masih mengeksplor saya dengan pertanyaan yang sama beberapa kali meskipun waktunya sudah melebihi yang ditentukan. 
Dari sana saya belajar bahwa jujur dan nyaman dengan pewawancara adalah salah satu kunci utama untuk meyakinkan pewawancara kemudian membuat suasana menjadi mencair, ya meskipun hingga sekarang saya masih menanti pengumuman dari seleksi ini. 
Semoga yang terbaik terjadi pada karir kita ya...Amin...


Note:
Tulisan ini saya ikut sertakan dalam Blog Sharing Career First Gagas Media. :)
#careerfirst

Komentar