Ketika Ibu Datang



Judulnya “nggak banget” deh ya? Tapi no problem lah ya, intinya saya mau cerita kalau minggu kemarin Ibu saya datang mengunjungi ke-2 anaknya yang sedang menuntut ilmu di kota lain. Awalnya saya nggak “ngeh” ketika Ibu tanya berapa harga tiket bus dan kereta api, tapi akhirnya saya sadar juga kalau Ibu saya mau kesini. Oke, lagi nggak fokus karena 90% jiwa saya ada di kampus beserta tugas-tugasnya, ditambah lagi pas waktu yang bersamaan ada teman saya datang ke sini karena ada tes kerja. Alhasil ketika teman saya datang hari Sabtu paginya dan tes kerja, sorenya saya jemput Ibu di stasiun.
Pastilah kangen sama Ibu, sudah sebulan ga ketemu, paling hanya telepon seminggu beberapa kali. Yang paling nyenengin adalah dibawain makanan, tapi errrrr....kenapa makanannya daging-dagingan? Tau sendiri saya ga seneng makan daging. Kata Ibu, bawain buat Tita yang kemarin pas Idul Adha ga bisa makan daging kurban. Istirahat sebentar dan kami pun makan di sebuah tempat yang ‘mahasiswa’ banget, pasti mahasiswa di Malang dan Yogya tau tempat ini, yaitu warung SS “Spesial Sambal”, hahaha tuh kan? Pasti tau kan?
Kata Ibu, “Rame banget tempatnya....mahasiswa semua, pasti murah harganya...” Ya iya lah bu, masa iya tempat makan buat mahasiswa mahal, yang ada ya ga laku. Tapi seperti biasa, nunggu makanannya ada lho 30 menit lebih sampe Ibu (as usual) ngomel-ngomel ke pegawainya. -____- Agak annoying sih dengan perilaku Ibu satu ini yang selalu jadi tukang protes dan berada di  garda terdepan kalau dalam hal mengkritik suatu hal, tapi kalau nggak ada Ibu ya nggak seru, karena saya, Tita dan Bapak cenderung nerima-nerima aja, meskipun terakhirnya “nggrundel” sendiri, hahahah. Setelah itu Ibu bilang, “Ayo beli magic com, buat nanak nasi.” Awalnya saya nggak mau karena pasti rempong banget kudu masak di Kosan, tapi ya udahlah, kan dibelikan ini. Muter-muter daerah Gejayan kok nggak ada, ya udah sampe ringroad utara aja, belilah kami di tempat langganan di Jakal km 4,5, toko Vokuz namanya. Setelah itu beli beras dan segala macam kebutuhan di Mirota Kampus deh sekalian malam mingguan sama Ibu. Jarang-jarang kan kaya gini?
Besoknya Ibu udah masakin nasi, dan do other things yang biasanya Ibu lakukan di rumah. Agak nggak enak juga sih, kenapa Ibu rela datang kesini tapi hanya untuk melakukan “hal sepele” macam ini. Di tempat setrikaan, bajunya Tita yang udah berminggu-minggu belum distrika akhirnya disetrikain sama Ibu. Saya awalnya ngelarang, tapi Ibu bilang, “Biar ga ganggu belajarnya adekmu....” Hadeeeh....padahal saya sengaja untuk mengondisikan seperti itu, baju dia ya harus dia setrika sendiri, agar dia bisa bagi waktu antara belajar dan melakukan tugas lain. Eh malah Ibu bilang, “Ya laundry aja kan enak, terima beres...”. Iya laundry sih boleh, tapi nggak sering-sering juga kan? Yang ada jadi nggak mandiri.
Agak siangan Ibu ngajak buat ke Pasar Beringharjo, biasa shopping....kelakuan Ibu-Ibu emang selalu bisa ditebak. Alasannya sih nyariin contoh baju buat Tante yang di Malang, tapi akhirnya yang dibeli macem-macem sampe kewalahan anaknya ini bawa barang. Ada satu hal yang membuat saya trenyuh ketika melihat para pekerja di pasar, kebanyakan berusia lanjut yang tubuhnya sudah renta. Mereka masih saja ‘menjajakan’ tenaganya untuk jadi kuli angkut di Pasar, dan yang paling membuat pengen nangis adalah kebanyakan mereka adalah perempuan, menawarkan tenaganya untuk mengangkut barang orang-orang yang menghendaki dengan upah seadanya dengan bermodal selendang lusuh.
Ada lagi penjual yang menjajakan karung goni bekas beras dengan merk “Segitiga Biru” yang sepi pembeli, ia masih bisa tersenyum ketika sekilas saya melihat barang di depannya, “Monggo....mampir mbak...” katanya. Ya Allah...nggak kuat rasanya melihat fenomena semacam itu hadir di depan mata, tak seharusnya mereka masih berada di tempat ini, seharusnya mereka berkumpul bersama keluarga saja di rumah tanpa harus mencari nafkah seperti ini.
Lepas dari fenomena semacam itu, saya pergi ke shopping, ini adalah nama tempat belanja buku termurah di Yogya. Sama seperti Jl Wilis di Malang konsepnya, jadi buku-buku bisa didapatkan dengan harga miring. Saya berhasil membawa pulang buku “Live Span Development” dari Laura R. Berk dengan harga kurang dari 200 ribu, hoho senangnya. Setelah itu Ibu masih aja ngajak beli macem-macem makanan, katanya buat persediaan di Kos.
Besoknya udah hari Senin, saya dan Tita tentunya kuliah. Tita ada UTS pagi, saya kuliah pagi. Sorenya harusnya Ibu pulang jam 16.50 naik kereta api, dan menurut jadwal kuliah seharusnya saya selesai jam 16.10. Jadi hanya ada waktu sekitar 35 menit (kepotong perjalanan kampus-kos) untuk ngantar Ibu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain dengan mengabulkan doa saya, tumben-tumbenan bu Dosen memberi kami kesempatan pulang cepat 30 menit sehingga saya bisa mengantar Ibu dengan lebih leluasa.Itu karena seharian ini kami sudah diberi tugas mengerjakan inventory yang subhanallah banyaknya. Mulai dari CAQ sebanyak 200-an aitem, dan MMPI-2 sebanyak 567 aitem. Rasanya tangan ini kaya ga mau dibuat nulis lagi.
Sebenarnya asik juga Ibu ada di Kosan, bisa jadi penyemangat tersendiri ketika lagi kesel di Kampus, bisa menenangkan anaknya yang lagi berproses jadi Psikolog yang ‘bener’, tapi ya mau nggak mau Ibu harus kembali pulang ke Surabaya, melanjutkan rutinitas di sana, menemani Bapak, dan nggak ada kata lain selain,
We love you, from moon to the earth, Mom...

 di Stasiun Tugu

Komentar