Sebuah Proses

Tanggal 9 Januari 2015 menjadi penanda berakhirnya semester 1 di kelas Magister Profesi Klinis. Memang bukan akhir dari segalanya, karena perjuangan masih menanti kami di semester-semester berikutnya. Tapi setidaknya, semester ini sudah berakhir. Alhamdulillah....

Akhirnya segala tugas dan ujian bisa diselesaikan. Usaha maksimal telah dikerahkan, sekarang tinggal menunggu hasil dari jerih payah yang sudah diusahakan selama ini. saya kembali flashback ke masa di saat pra profesi bulan Agustus lalu, kemudian masuk blok pertama, kedua, hingga ketiga dan diakhiri dengan ujian. Saat masuk pertama kali saya belum tau bagaimana menentukan diagnosis seperti menurut PPDGJ, wawancara dengan pendekatan-pendekatan di psikologi, dinamika psikologis, pola kepribadian, hingga psikopatologi perkembangan. Alhamdulillah...sekarang perlahan saya mulai mengenal dan memahami seluk beluk dari psikologi klinis.

Banyak yang bilang bahwa psikologi klinis itu sulit. Saya kembali ke saat dihadapkan pada wawancara seleksi masuk Mapro. Apa yang membuat saya menyukai psikologi klinis? Pertanyaan yang diajukan oleh interviewer kepada saya. Jawaban saya simpel, “Karena saya senang dengan psikologi klinis.” Mereka tersenyum mendengar jawaban saya, bukan karena kagum, tapi karena aneh. Kemudian saya melanjutkan, “Segala hal yang didasari oleh rasa senang, akan dijalani dengan senang pula.”
“Berarti kamu seneng dong liat orang gangguan-gangguan?” balas interviewer.
“Bukan senang dengan gangguannya, tapi senang mempelajari itu. Dari mereka saya bisa belajar banyak....” jawab saya.
“Lho berarti kamu jadikan mereka media belajar? Senang di atas penderitaan orang?”
“Dari mereka saya bisa belajar bersyukur, bukan senang di atas penderitaan orang, justru dari situlah saya dan orang-orang tersebut bisa belajar satu sama lain.” Jawaban itu yang akhirnya keluar dari mulut saya.

Retoris? Memang iya.... Tapi Alhamdulillah jawaban itu yang bisa mengantarkan saya hingga ke detik ini.

Salah seorang Profesor yang mengajar di kelas mengatakan, bahwa kami yang ada di kelas Klinis harus bersyukur karena bisa mengalahkan ratusan orang yang memperebutkan kursi yang kami duduki di kelas. Seleksi untuk masuk ke kelas PIO dan Pendidikan tidak seketat masuk ke kelas Klinis. Di kelas Klinis rasio perbandingan pendaftar dengan yang diterima bisa 5 banding 1. Sedangkan di kelas PIO dan Pendidikan antara pendaftar dan yang diterima sekitar 2/3 banding 1. Bukannya menyepelekan kelas lain, tapi itu faktanya. Beliau sangat menyayangkan kalau nantinya di tengah jalan ada yang memutuskan untuk berhenti dan menghilang karena nggak kuat dengan Klinis, padahal di luar banyak yang menginginkan posisi ini. Maka dari itu beliau bilang kalau kami harus kuat menjalani hari-hari berat di kelas Klinis.

“Masuk ke Klinis itu sulit, pelajarannya sulit, nanti di dunia kerja juga sulit.” Pameo sinis yang banyak dilontarkan orang-orang kepada psikologi klinis.

Kami jelas nggak setuju dengan pameo ini. Justru kami dari psikologi klinis yang dituntut untuk detail dalam asesmen hingga intervensi ini bisa menempatkan diri di segala cabang psikologi. Saya pernah membaca sebuah buku psikologi karya Prof JEP bahwa lulusan Mapro Klinis yang ditempatkan di bidang psikologi industri dan organisasi (PIO), memang 1 tahun pertama agak kesulitan ketika dihadapkan pada teori organisasi, namun pada tahun-tahun berikutnya banyak yang mengatakan bahwa mereka bersyukur lulus dari klinis karena diajarkan asesmen yang detail dan hal itu tidak dimiliki oleh bidang psikologi yang lain. Bahkan Psikiater pun kagum dengan Psikolog Klinis yang dalam asesmen sangat detail ketika dihadapkan pada pasien di RSJ.


Pada akhirnya, saya melihat hasil buku-buku yang sudah saya baca selama beberapa bulan terakhir. Memang tidak cukup banyak, tapi saya bisa memahami bahwa saya berproses dalam 6 bulan ini. Belajar psikologi, tak ubahnya seperti meng-upgrade diri sendiri untuk sekolah kepribadian. Tidak perlu sekolah di “John Robert Power” untuk bisa mendapatkan attitude layaknya superstar, tapi memahami dan bisa menempatkan diri dengan baik itu sudah cukup. Meskipun awalnya biaya yang dikeluarkan setiap semester terasa sangat banyak, kemudian saya kembali berpikir bahwa segala yang kita keluarkan selama itu ada di jalan Allah dan untuk beribadah demi mendapatkan ridho-Nya, hal itu dimaknai sebagai Jihad fi sabilillah. Belajar adalah bagian dari ibadah untuk mengetahui sedikit ilmu-Nya. Insya Allah ilmu yang didapatkan barokah ya buat kita semua.
 Amin ya robbal alamin.  



Komentar