Malang yang selalu dirindukan

Setiap perjalanan memberikan kesan tersendiri bagi individu. Apa yang dilihat, dirasakan, dipikirkan setiap orang pasti berbeda. Menjadi menarik ketika bisa berbagi rasa tentang keseharian menarik di setiap perjalanan.

Kembali lagi di perjalanan. Sebelum kembali ke kota perantauan, saya melepas rindu pada keluarga Malang. Sudah setahun lebih tidak bertemu mereka, merindukan suasana hangat di tengah Bude, Mbak Iin, Afif, Ais, Mas Wiwid dan Mas Anto. Mereka yang selalu menanyakan tentang kuliah saya, nggak pernah bosan mengingatkan saya buat makan dan turun ke bawah buat ambil makan (karena kamar saya ada di lantai 2), mas Anto yang selalu godain perihal cowok, Afif yang selalu ngikutin saya kemanapun pergi, Ais yang sering nanya pelajaran bahasa Inggris, dan tak terhitung lagi kejadian yang menjadi kenangan dengan mereka tersimpan baik di memori saya tentang Jl J.A Suprapto Celaket.

Menyusuri jalanan Surabaya menuju Malang, kenangan demi kenangan seperti film berputar di depan mata saya. Melewati tol, lumpur Sidoarjo, Porong, Pandaan, Lawang, Singosari, hingga Arjosari. Ini bukan film, ini nyata, saya menikmati perjalanan di dalam Bus Patas Tarif Biasa bernama Restu ‘Panda’. Suasananya masih sama, aroma Bus masih sama. Pengamen yang silih berganti menyanyikan lagu terbaiknya, dan wajah-wajah penyair jalanan yang mengkritisi negara membawakan puisi itu, saya masih sangat mengingatnya. Mereka semua masih sama, menjalani pekerjaan ini. Jalanan yang saya lalui masih sama, orang-orang sibuk dengan aktivitasnya. Anak-anak SD yang baru keluar dari sekolah berlarian, senangnya mereka yang masih berpikir bahwa masalah tersulit dalam hidup adalah PR Matematika. Melewati apsar, para pedagang di sekitar pasar Singosari yang menjual barang-barang bekas berjejer di trotoar mulai dari sepeda bekas hingga baju bekas.
Saya kembali tersadar, di bangku urutan ke-3 saya sekarang duduk. Alam bawah sadar ternyata mendorong saya untuk berada di sini.

Sampai juga di belahan bumi ini lagi, Malang. Hawa panas siang hari hampir sama dengan Surabaya. Tapi ada yang beda, angin di Malang punya aromanya tersendiri. Naik angkot yang sama, ADL, untuk kembali bereuni dengan jalan-jalan yang pernah saya lewati selama kurang lebih 4 tahun. Memandang lagi tiap ruas jalan, dimana saya biasanya nyegat angkot, melewati stasiun, melewati balai kota, hingga jalan Ijen yang tertata dengan rapinya. Saya nggak menyesal pernah ada di kota ini, meskipun memang tak sepenuhnya kota ini indah. Sengaja saya ingin naik angkot daripada harus merepotkan teman buat menjemput.

Melankolis memang, tapi ini adalah ungkapan rindu. Menganga saat melihat kondisi sepanjang jalanan menuju Kampus yang dipenuhi Kafe-kafe gaul ala anak kekinian. Apalagi tempat seperti itu ramai dikunjungi oleh mayoritas mahasiswa. Nampaknya memang gaya hidup sudah mulai bergeser. Jaman saya, berada di kafe adalah suatu hal yang mahal, tapi sekarang rasanya sudah sangat lazim.
Saya kembali tercengang dengan perubahan kampus FISIP yang berdiri menjulang berwarna oranye dengan dua gedung bersambung. Wah...benar-benar berbeda dari jaman saya meninggalkan kampus ini. Ada kesan yang mendalam ketika berada di Lab tempat saya menghabiskan waktu selama 1 tahun terakhir di Kampus. Lab masih sama seperti dulu, hanya penghuninya dan tambahan alat tes terlihat di sekitarnya. Bertemu dengan orang-orang yang pernah menjadi partner selama beberapa tahun di Kampus. Saya disapa oleh beberapa angkatan 2010 yang masih hapal dengan wajah kakak aslabnya ini, “Mbak ngapain? Kerja dimana?” Pertanyaan yang tidak ingin saya dengar, sebenarnya nggak ingin menjawab tapi ya sudahlah... “Aku kuliah lagi...” sembari memasang senyum manis.

Ada rasa mencelos ketika saya tidak bisa menjawab pertanyaan seputar kerja, memang. Tapi ada rasa senang ketika mengatakan bahwa saya adalah seorang pembelajar yang selalu ingin belajar lagi. Memang, muara dari belajar adalah bisa menafkahi diri sendiri. Tapi, itu tidak harus dijawab saat ini kan? Ini semua proses untuk ke arah sana kan? Suatu saat kamu akan tahu rasanya berada di posisi saya.

Sempat berinteraksi dengan beberapa adik tingkat yang akan konsul KRS ke Dosen yang akan saya temui, mereka bertanya saya ada di semester berapa? Saya Cuma jawab dengan senyum sambil bilang, “Coba tebak?” tapi segera saya jawab, “Aku udah lulus kok, duluan aja gpp....soalnya aku lama mau ngobrol sama Ibu...”
Bertemu lagi dengan Ibu, orang yang menjadi atasan saya sewaktu berada di Lab. Bukan lagi hubungan antara dosen-mahasiswa, tapi ini hubungan partner kerja, atau mungkin hubungan antara anak-orang tua, mungkin?
Ngobrol banyak tentang kuliah, problematika, hingga bertukar pengalaman kuliah antara dulu masa beliau dan masa saya sekarang. Meskipun beliau bukan dari UGM, tapi saya ingin sharing dengan beliau yang menurut saya expert di bidang konseling. Salah satunya, menaklukkan rasa takut saya terhadap pendekatan BT dan CBT. Entah kenapa, saya kurang begitu mahir di pendekatan itu. Bukan berarti saya mahir di pendekatan yang lain, tapi setidaknya saya lebih nyaman menggunakan pendekatan selain BT dan CBT untuk klien saya.
Saya tahu bahwa saya bukan orang yang mengandalkan kognitif dalam hidupnya seperti orang kebanyakan. Kemampuan kognitif saya berada di taraf rata-rata dan saya bukan orang tipe pemikir yang selalu ingin memecahkan masalah dengan logika. Saya lebih nyaman dengan tipe “perasa” dan “peka” yang selalu menempel di diri saya. Meskipun saya bukan orang extrovert, tapi saya juga bukan orang introvert sepenuhnya.

Beliau memberi saya saran supaya saya tidak takut dengan pendekatan kognitif dan sistematis. Suatu saat akan ada masanya klien saya adalah orang yang pemikir dan mengutamakan logika sehingga saya harus menghadapinya dengan logika pula.
“Tenang aja...itu semua masalah jam terbang kok Yun...”
Kata-kata itu yang akhirnya saya pegang. Saya harus berani salah dan kelihatan tidak “oke” di mata orang. Iya, itulah tandanya pembelajar yang baik.
Pembicaraan mengenai pasien-pasien di rumah sakit jiwa, hingga klien pertama dari beliau yang pernah lari karena keliru memberi intervensi. Benar-benar masukan yang membuat saya kembali kuat, bahwa menjadi Psikolog bukan pilihan yang salah, ini adalah pilihan paling benar untuk saya dan hidup saya.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Teman-teman saya sudah menunggu seperti Fiqih, Nusa, Hesti dan Pita di luar ruangan. Kumpul kangen dengan mereka membuat saya merasa menjadi seorang mahasiswa S1 lagi, regresi. Tapi bisa ada di tengah mereka menjadi satu hal yang sangat saya syukuri. Saya tidak harus memakai topeng di depan mereka. Ketika saya ada di posisi terendah sekalipun mereka tetap mensupport saya bagaimanapun caranya. Jadi teringat tentang hal-hal bodoh yang pernah kami lakukan demi mensupport satu sama lain. Waktu saya, Pita dan Fiqih yang pernah jalan ke Surabaya dari Malang pada saat malam hari sehabis pulang dari MTD dan yang kami lakukan adalah cerita bergantian di dalam mobil, muter-muter geje di Surabaya pas tengah malam sampai akhirnya balik lagi ke Malang subuhnya. Pernah juga kami pergi ke pantai, kemudian pas pulangnya karena Fiqih ga pakai kacamata akhirnya dia ga bisa lihat jalan dengan jelas dan kami kena kecelakaan kecil karena ban depan sebelah kiri naik ke trotoar. Waktu kami pulang tengah malam karena acara organisasi, dan saat itu Pita jadi ketua panitianya dan dia merasa gagal padahal acaranya sukses banget. Kami pulang ke rumah Pita dan ternyata Pita lupa bawa kunci pagar rumah, alhasil kami pun meloncat pagar rumah tengah malam dan masuk ke rumah buat tidur beberapa jam sebelum harus kembali ngampus jam 7 paginya, jam 4 kami udah bangun buat ngerjain tugas statistik tersebut. Dan masih banyak lagi cerita yang kita lalui dan hal-hal bodoh lain membuat kami bersyukur kami pernah ada di masa ababil itu.

Makan di sebuah tempat makan bernama “Baegopa?” yang dari bahasa Korea artinya “lapar?”. Porsinya keliatannya kecil, tapi ternyata kenyang bangeeetttt.. Saya, Pandu, Pita dan Fiqih makan ber-4 sekalian nemenin Fiqih buka puasa. Ini anak sampe habis 2 porsi padahal porsinya udah jumbo menurut saya.

Besoknya, saya akhirnya menginjakkan kaki di rumah Celaket. Rumah ini masih sama seperti dulu, berlantai dingin namun orang-orangnya hangat. Semenjak Eyang Kung meninggal, pohon–pohon di depan rumah ditebang, sehingga terasa lebih terang meskipun tidak rindang lagi. Bude sibuk merajut dan nggak menyangka bahwa ponakannya ini akan ada di rumahnya hari ini, saya rasa. Mulai bicara soal kabar, keluarga di Surabaya, Malang, Jakarta, hingga politik Indonesia, akhirnya saya tahu bagaimana kondisi Bude dan keluarga sekarang. Sayangnya, mbak Iin dan Afif masih ada di sekolah. Ternyata Afif sudah pulang tapi masih ada acara di sekolahnya hingga saya pun memutuskan untuk pergi sejenak menemui kakak-kakak aslab yang ngajak buat makan siang bareng di Mie Galau. Udah lama juga nggak kesana, waktu sampai disana ternyata tempatnya jadi lebih gede dari yang dulu. Antrinya nggak umum, kata kak Icha. Wuahh...bertemu dengan kak Afia, kak Alfian, dan kak Icha. Ngobrol tentang kabar dan rencana masa depan masing-masing membuat kami rindu masa dimana beban berat “hanyalah” jadi aslab. Dibandingkan dengan sekarang, status aslab jauh lebih aman.
Sempat bertemu juga dengan partner penelitian sebagai enumerator, Bu Ari dan mbak Vita Argobel, bertemu dengan si kecil Aldan dan Ara yang cerita tentang film baru ditontonnya. Makan ice cream mochi yang ternyata rasanya standar.

Saya kembali lagi ke rumah Budhe dan bertemu dengan mbak Iin. Afif keponakan tersayang sedang tidur sampai maghrib dia baru bangun. Si ganteng..... akhirnya bisa ketemu juga... kelihatan lebih banyak bicara dan suaranya berubah. Masih lucu, tapi sudah berubah. Ya ampun...setahun nggak ketemu udah berubah banget. Badannya makin kurus, tapi lebih putih. Lebih ganteng sekarang yang jelas... aih kenapa dia jadi pemalu gini sama saya. Tetap, otak kreatifnya membuat saya tercengang. Entah apa yang ada dipikirannya, anak kecil ini mengajak saya berimajinasi kembali dengan bermain sepak bola yang dibuatnya dari kertas-kertas berjejer. Peraturan dia tetapkan, dan saya tinggal main. Gemesnyaa....saya bahagia bisa bareng main keponakan tersayang ini. Nggak mau pisah, iya.
Saya kembali ke kamar saya di lantai atas, masih sama seperti yang dulu perabotannya, meskipun letaknya sudah berbeda. Beberapa barang saya kata mbak Iin masih ada, buku-buku yang sengaja saya tinggal dan akhirnya saya ambil demi keperluan kuliah sekarang. Lumayan juga ada satu ransel, berasa boyongan kedua, lebay dikit gpp lah ya. Makan malam dengan mereka, melting rasanya diperhatiin sama mbak Iin dan Bude lagi. Terasa banget sekarang, ketika orang-orang terdekat mengingatkan saya untuk hal-hal kecil yang sangat vital, sedangkan dulu saya berpikir bahwa perhatian mereka itu lebay. Nggak pengen pulang...tapi apa daya, saya sudah berjanji sama Bapak untuk pulang hari ini meskipun malam hari.

Waktu..... janganlah berlalu dulu, saya masih ingin berada di tempat ini, beberapa detik saja tahanlah. Mau nggak mau, sanggup tidak sanggup saya harus kembali ke Surabaya karena lusa saya harus sudah kembali ke Jogja. Iya, malam itu akhirnya saya pulang ke Kota tercinta dan saya harus tahu, bahwa kehidupan saya yang sekarang telah bersiap menyambut dan mengajak saya berpisah dengan nostalgia.


Terima kasih Malang, kota yang selalu dirindu kapanpun dimanapun. 

Komentar