Counting Blessing

Awal-awal kuliah lalu saya sempat galau mau memilih mata kuliah pilihan apa, antara psikologi forensik, psikologi lintas budaya organisasi, atau psikologi positif. Kemudian ternyata kebanyakan Klinis milih psikologi positif karena forensik jadwalnya tabrakan sama Mayor. Eh ternyata waktu itu, prof K protes ke pengajaran dan minta kelas forensik dibuka. Yang berminat bisa angkat tangan dan masuk ke kelas tersebut.

Tapi saya nggak termasuk yang angkat tangan waktu itu. Sedikit menyesal sih ternyata yang nggak angkat tangan cuman 15–an orang, sedangkan sekitar 19 orang ikut forensik. Saya pun akhirnya ikut ke psikologi positif yang diajar oleh Prof K, mahasiswanya memang tidak banyak, 12 orang.

Selama perkuliahan awal hingga pertengahan semester ini saya belajar banyak tentang psikologi positif. Saya memang belum kenal dengan namanya psikologi positif sebelumnya. Baca-baca bukunya pun belum, baru tahu kalau ternyata pelopor psikologi positif adalah Seligman. Selanjutnya, saya nggak tahu.

Ternyata, memang Allah menempatkan hamba-Nya selalu di tempat yang terbaik. Saya dibiarkan masuk ke kelas psikologi positif agar saya bisa selalu positif memandang hidup. Kami belajar banyak hal tentang emosi positif, trait positif, dan hal-hal positif lain yang sebenarnya masuk ke dalam indigenous psychology Indonesia. Pada pertemuan ke berapa kemarin, kami diminta untuk membuat tabungan kebahagiaan. Jadi, di kelas kami diminta untuk membuat kotak dari kertas yang dilipat sedemikian rupa, kemudian setiap harinya kami harus mengisi hal bahagia dan hal lucu apa yang dialami hari itu. Pada akhir kuliah hari itu, kami menabung di kotak masing-masing. Awalnya kami keberatan karena pasti lumayan ribet membujuk orang-orang di kelas untuk rutin mengisi. Tapi ternyata, respon yang didapatkan berbeda. Mereka bisa dikatakan antusias dengan tabungan kebahagiaan yang kami tempel di salah satu pojok kelas. Kemudian setiap harinya mereka mengisi, dan setiap minggunya diukur seberapa bahagia kami.

Memang, pada akhir-akhir ini kami jadi jarang mengisi karena form kertasnya habis, excuse banget yak. Tapi, sebab utamanya karena nggak ada yang mengingatkan dan karena semakin tidak teraturnya jadwal kuliah kami. Alhasil, tabungan kebahagiaan itu jadi ga begitu keurus deh. Kemudian ada salah satu dari anggota kelas yaitu mbak Fifi yang menunjukkan kepada kami tentang bukti empiris dari tabungan kebahagiaan yang ternyata bisa meningkatkan gratefullness atau kebersyukuran dan subjective well being masing-masing individu. Lebih tepatnya ialah counting blessing, dimana kita berusaha menghitung kebersyukuran dalam hidup.

Benar ya ternyata... hal-hal kecil dalam hidup yang membahagiakan dan hal-hal lucu yang kita alami bisa menimbulkan dampak positif pada diri kita perlahan-lahan. Hal yang positif ini, jika diceritakan pada orang lain akan beramplifikasi dan membuat orang yang mendengar cerita kami menjadi turut bahagia dan cerita lucu pun semakin lucu ketika diceritakan kepada orang lain.

Meskipun saya tidak rutin menabung di kelas, setiap harinya saya selalu menulis minimal 2 hal yang membahagiakan dan 2 hal lucu yang saya lihat atau alami. Percaya atau tidak, sudah berjalan hampir 2 bulan dan ketika saya membuka dokumen tersebut, rasnaya seperti dicharge ulang, emosi positif kembali membuat hati saya penuh dengan kebahagiaan.


Anyway, ini merupakan hal yang di luar negeri sudah berhasil dilakukan. Mau mencoba atau tidak? Silahkan dibuktikan sendiri.... 


tabungan kebahagiaan di kelas kami 

Komentar