Terima Kasih Rumah Sakit Jiwa!

Tepat jam 5 pagi saya menulis postingan ini, memori saya memanggil kembali kenangan ketika berada di RSJ Lawang, Malang. Sayup-sayup terdengar suara lonceng gereja yang membuat saya rindu suasana di RSJ Lawang yang sejuk. Pagi hari menembus dingin kami mandi bergantian, karena memang kamar mandinya terbatas. Kami ber-15 yang tidur di dalam 1 kamar Asrama bisa mengenal tabiat asli masing-masing. Dari mulai cara mengerjakan tugas, cara belajar, hingga cara tidur dan cara mengatur waktu masing-masing kami semuanya tahu. Tidak jarang hal itu mengundang tawa dan mengundang julukan baru di antara kami. Tentu saja ini semakin membuat kami terikat layaknya saudara. Ketika kembali ke peradaban Yogyakarta dan tidak lagi bersama 14 orang lainnya di asrama, saya merasa ada yang hilang. Ternyata 4 minggu kemarin cukup membuat saya merasa “memiliki” mereka sebagai roommate. Yang awalnya selalu makan bersama-sama, sekarang mau nggak mau makan sendiri. Yang awalnya tiap kali nyanyi-nyanyi nggak jelas selalu ada yang nyahutin, sekarang nggak ada. Yang kemarin kalau pakai baju nggak matching selalu diprotes, sekarang nggak ada yang protes. Ternyata ini toh rasanya rindu.

Setiap pagi, kami yang diberi jatah makanan di instalasi Gizi selalu rajin pada 2 minggu pertama. Tapi semenjak 2 minggu terakhir, kami menjadi malas-malasan. Alasannya? Karena kami mulai masuk siang, dan kami nggak sempat makan di Gizi yang dibatasi dari jam 6-8 pagi. Alhasil, orang macam saya dan Baiti yang selalu menargetkan tiap pagi harus sarapan pagi, harus berlarian “mengejar gizi” di instalasi Gizi demi mendapatkan sepiring sarapan. Padahal waktu sampai di instalasi Gizi, Ibu-ibu yang melayani kami sudah merengut karena sudah jam 8 lebih, tapi kami masih aja dilayani. Terima kasih ibu-ibu Gizi, you’re my morning saviour.

Setelah dari instalasi Gizi, kami menuju ruangan masing-masing yang disana sudah ditunggu oleh para pasien. Pasien-pasien yang perilakunya selalu membuat kami tersenyum. Kami disambut dengan suka cita oleh mereka, terutama klien kami masing-masing. Mereka sudah menunggu di depan ruangan, sambil melakukan aktivitas pagi masing-masing. Ada yang sedang menyapu halaman, membersihkan meja makan, mencuci piring, dan beberapa aktivitas lainnya. Senyum mereka membuat kami merasa diterima. Apalagi ketika mereka mengucapkan, “Pagi mbak P(e)sikolog....” rasanya ‘nyesss’ aja, ada hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika mendengarkan kata itu.

Menanyakan kabar mereka pagi ini, melihat mereka yang sudah sarapan pagi dan mandi pagi, kemudian senam pagi. Mereka juga memakai bedak dan gincu serta menyisir rambutnya agar terlihat rapi ketika diajak ke instalasi rehabilitasi. Mereka yang bersemangat untuk diajak “ngobrol” oleh kami. Di titik ini saya kembali terhenyak, oleh halusinasi-halusinasi yang mereka utarakan, oleh waham-waham yang mereka yakini. Bahwa kehidupan ini tidak pernah bisa ditebak akhirnya seperti apa. Siapa yang akan menyangka bahwa orang dengan wajah rupawan / rupawati, karena suatu kejadian mengakibatkan memorinya hilang dan mengalami schizophrenia sehingga bisa ada di depan saya sekarang. Siapa yang akan menyangka bahwa sehari yang lalu kita masih bisa bersenda gurau dengan keluarga, namun seminggu kemudian berada di depan saya. Hal-hal yang terlihat sepele di depan kita, ternyata menurut orang lain itu tidak sepele. Itu merupakan titik pencetus dalam hidup mereka sehingga bisa ada di tempat ini sekarang. Siapa yang akan menyangka bahwa kejadian diputus oleh pacar, dibentak oleh orang tua, dipecat dari pekerjaan, menjadi kejadian sangat traumatis dalam hidup yang membuat mereka menjadi berubah.

Berkali-kali saya merenung ketika pulang dari ruangan, mengapa frekuensi alam menarik saya ke tempat ini? Mengapa dunia memiliki sisi ini? Mengapa tempat ini dijadikan sebagai rumah sakit jiwa? Mengapa begitu banyak orang yang ada di sini dengan sakit yang mereka alami? Bagaimana dengan orang-orang yang bernasib seperti mereka namun tidak ditempatkan di RSJ? Dan beribu pertanyaan mengapa-mengapa lainnya. Saya berkontemplasi, berusaha memperbaiki diri saya. Ketika saya berada di sini, apa yang menjadi niatan saya adalah membantu sesama. Saya ingin berbagi kebahagiaan, kebersyukuran kepada mereka yang berada di dekat saya. Terkadang saya tak kuasa menahan air mata ketika mendengarkan cerita mereka dimana di usia mereka, saya masih bisa bermain dengan riang, menghabiskan waktu bersama teman-teman tanpa memikirkan kondisi orang yang berada di bawah kita kemampuan ekonominya. Sedangkan mereka, sudah harus berjuang untuk mencari nafkah, menghidupi keluarga, memikirkan kondisi anggota keluarga yang lain. Benar-benar di tempat ini saya menemui orang yang “untuk makan hari ini saja sudah syukur, besok kami tidak tahu apakah bisa makan atau tidak”. Oh Allah.... begitu sayangnya Engkau pada saya sehingga mempertemukan saya dengan orang-orang hebat macam mereka.

Allah begitu adil, sehingga mereka masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia. Dengan segala kondisi yang mereka alami, dengan halusinasi dan waham yang mereka miliki, agar mereka masih bisa survive terhadap hidup. Meskipun mereka tidak diberi kewajiban untuk menunaikan shalat, tapi banyak dari mereka yang rutin shalat 5 waktu, bahkan shalat malam. Saya menjadi malu, bahwa saya terkadang melalaikan sunnah muakad satu ini. Saya menajdi malu ketika mereka bercerita bangun jam 3 pagi demi menunaikan ibadah ini sedangkan saya terkadang terlelap dalam tidur. Rasanya seperti ditampar, ketika saya menginginkan banyak hal tapi untuk shalat malam saja masih harus diingatkan.

Bertemu dengan rekan profesi lain yang juga sedang praktek, perawat muda dan dokter muda. Mereka yang membuat saya kagum dengan pekerjaan masing-masing. Kami saling bekerjasama untuk membuat pasien-pasien menjadi lebih baik kondisinya, sebisa mungkin dengan metode keilmuan yang kami miliki masing-masing.

Setiap hari pun kami tak luput dari tawa. Para pasien yang memiliki berbagai macam perilaku membuat kamu tertawa dan tersenyum. Ada-ada saja perilaku dan celotehan yang mereka katakan. Tidak jarang pula kami tiba-tiba disamperin dan dipanggil, “Dokter, kapan saya pulang?” Padahal kan kami bukan Dokter, kami memang memakai jas putih, tapi kami bukan Dokter. Ada juga yang tiba-tiba menyanyi di depan kami, mengajak berkenalan, memberi bunga, melemparkan senyuman, hingga ada yang bilang, “Dokternya kok kecil....?”
-_____- ngggg kalo ini tidak perlu dikomentarin ya.

Para supervisor yang sangat terbuka dan sudah berpengalaman di bidang schizophrenia, membuat saya membuka mata lebih lebar, bahwa ilmu psikologi itu fleksibel, se-fleksibel hati ini (opo sih?). Para Psikiater yang sudah membagi ilmunya kepada kami tentang trik trik diagnosis gangguan jiwa. Pak S dan Bu N dari Kampus yang sudah sangat berjasa meluangkan waktunya demi memberikan supervisi dan turut serta menguji kami. Ibu dan Bapak yang sudah memberikan banyak dukungan motivasi dan finansial, hingga mengirimi saya motor untuk bisa mobilisasi di RSJ yang luasnya banget banget ini. Terima kasih banyak.....

Hingga detik ini saya sangat bersyukur telah menyelesaikan stase RSJ dengan segala lika likunya dengan lancar. Menjadi bagian dari tenaga ahli di RSJ adalah salah satu mimpi saya yang semoga diaminkan oleh Allah suatu saat. Prkatek selama 160 jam kemarin semoga menjadi bekal yang bermanfaat bagi saya menjalani profesi psikolog dan bisa bermanfaat bagi klien-klien yang telah berproses bersama kami ber-16. Aamiin ya robbal alamin.






Here we are, Terima kasih RSJ Lawang!

Komentar