Mainan anak ayam



Melihat mainan anak ayam yang berbunyi cetok-cetok ketika berada di lampu lalu lintas di tengah teriknya matahari Surabaya, membuat saya nostalgia akan masa kecil. Ketika itu, saya bahagia sekali dibelikan oleh Bapak mainan berupa bentuk ayam berwarna merah jambu, yang ada tuasnya untuk diputar kemudian ditaruh di lantai dan berbunyi “cetok-cetok” hingga tuas berhenti berputar. Kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan apapun pada masa itu.

Masa kecil, menjadi masa yang sangat indah dengan dikelilingi oleh orang-orang tersayang dan benda-benda sederhana pemberian mereka. Tidak harus berada di rumah mewah dan mainan berharga mahal untuk bisa merasakan kebahagiaan. Bapak pulang ke rumah dengan wajah lelahnya, memberikan mainan kepada anaknya dan kami bermain bersama, jika itu saya rasakan pada detik ini, rasanya kebahagiaan akan membuat hati saya meledak-ledak.

Begitu banyak yang telah diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Apa yang mereka kerjakan, sebagian besar dan bahkan sepenuhnya diberikan untuk keluarganya. Di jarak 308 km dari rumah, di antara ribuan buku yang ada di Perpustakaan ini saya menyadari bahwa saya tidak sendiri. Ribuan bahkan ratusan ribu anak muda meninggalkan kampung halamannya, jauh dari orang tua, demi menuntut ilmu di tempat rantau.

Saya masih ingat bagaimana pertama kali keluarga mengantarkan saya untuk bersekolah di tempat yang jauh. Senyuman yang disunggingkan dan ciuman yang diberikan mungkin bukan apa-apa ketika sebenarnya hati mereka berat melepas anaknya yang akan hidup sendiri di tempat yang jauh.

Saya jadi ingat dengan kata-kata Pak Menteri Anies Baswedan di Hari Pendidikan kemarin, bahwa “Anak adalah cinta berbalut harapan. Ibu melepaskan anak untuk merantau jauh demi pendidikan yang lebih baik; melepaskannya dengan cinta, mengalunginya dengan harapan, dan menyematkannya doa tanpa akhir. Pada tiap lembar bacaan, ada doa Ibu dan Ayah. Pada tiap karya tulis dan pekerjaan dari dosen, ada harapan dari Ibu dan Ayah. Mereka mungkin tidak tahu satu per satu yang dikerjakan anaknya, tapi mereka tak pernah berhenti hibahkan semua yang mereka miliki untuk kebaikan dan kebahagiaan anak mereka. Teruslah belajar, jangan bairkan waktu bergulir tanpa makna. Janjilah kepada Ibu dan Ayah, suatu hari nanti mereka akan melihat aak mereka pulang membawa ilmu, membawa makna dan menjawab semua doa dengan melampaui harapan Ibu dan Ayah mereka. Izinkan mereka kelak menyongsongmu dengan rasa bangga dan syukur. Doa tulusnya dijawab oleh keberhasilan anaknya.”

Tidak hanya orang tua, namun juga kakek dan nenek yang selalu memberikan doa dan petuah untuk cucunya yang sedang di tempat rantau. Meskipun saya tahu bahwa nenek bukanlah seorang ahli baca tulis, dan kakek bukanlah seorang yang berpendidikan hingga sarjana, tapi kearifan seorang Petani yang tahu apa arti kerja keras mengajarkan pada saya untuk selalu bertawakkal. Berbekal doa dan harapan bahwa cucunya akan meraih kesuksesan di kemudian hari. Saat ini saya hanya bisa memberikan doa terbaik untuk kakek dan nenek yang tinggal tenteram di Desa.

Semoga dan doa yang disemogakan menjadi terwujud. Saya sudah ada di tahap ini dan berharap bahwa apa yang saya peroleh di tempat rantau dapat memberikan kebermanfaatan bagi lingkungan dan memberikan kebahagiaan bagi Ibu dan Ayah yang telah rela setiap tetes peluhnya menjadi bekal bagi anaknya di tempat perantauan.
Aamiin ya robbal alamin...

Yogyakarta, 4 Mei 2016


Komentar