Semalam bersama “MIRA”



Bulan Mei lalu, ada long weekend yang dimanfaatkan oleh orang-orang di perantauan untuk pulang ke daerah asalnya. Begitu juga dengan saya, yang memutuskan untuk pulang ke Surabaya pada long weekend tanggal 5 sampai 8 Mei. Acara kehabisan tiket sudah pasti terjadi, karena memang saya tidak pesan tiket jauh-jauh hari. Pukul 20.00 saya dan adik berangkat ke Terminal Giwangan, meskipun pakai acara bingung parkirnya dimana. Ternyata tempat parkir untuk motor ada di sebelah selatan dan per harinya dikenakan biaya Rp. 6000,- dibayar di awal. Setelah aman memarkirkan motor, kami menuju tempat pangkalan bus antar kota menuju Surabaya. Ada 2 pilihan bus menuju kota Surabaya, ada yang Patas AC dan Non Patas AC. Kebetulan waktu itu saya naik bus yang non patas AC, dan naiklah kami berdua naik bus berjudul Mira. Tarifnya cukup terjangkau dengan Rp 56.000 bisa sampai Surabaya. Memang sengaja memilih bus non patas karena tarifnya bsia separonya sendiri dari patas yang Rp 120.000. Lumayan kan selisihnya? Pikir saya waktu itu.

Selama di perjalanan, banyak hal yang bisa kita amati dan kita rasakan. Situasi dimana orang-orang membutuhkan transportasi untuk pulang bertemu keluarganya menjadi pemandangan yang lazim. Macet ada dimana-mana. Jika banyak orang memilih untuk menghabiskan liburan di Yogyakarta, justru saya dan adik kebalikannya. Kami justru memilih untuk pulang ke Surabaya bertemu dengan orang tua dan merindukan rumah. Pilihan yang banyak ditempuh oleh mahasiswa rantau macam kami. Jalan antara Yogya dan Solo padat merayap, hingga sampai di terminal Solo... waowww begitu banyak orang-orang yang menantikan bus, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Padahal biasanya terminal Solo tidak seramai ini. Semua orang berebut untuk bisa masuk ke bus yang saya tumpangi. Banyak akhirnya dari mereka yang harus berdiri dan tidak mendapatkan tempat duduk. Kebanyakan memang dari kalangan mahasiswa, meskipun ada juga beberapa bapak-bapak. Mereka rela berdiri berdesakan dengan penumpang lain di atas bus yang berjalan meliuk-liuk. Jangan ditanya, perasaan ini pasti deg-degan setiap kali bus mendahului kendaraan lain. Kecepatan yang digunakan juga tidak tanggung-tanggung, cukup membuat seisi bus puyeng. Belum lagi ketika berada di jalanan yang gelap di Mantingan, bus udah kaya orang kesetanan melaju dengan kencangnya. Di kondisi seperti itu, saya merasa kasihan dengan orang-orang yang ada di bus yang sedang berdiri. Tengah malam, mereka bergelandotan dengan tangan memegang pegangan bus dan mata terpejam. Bisa ya mereka tidur dengan kondisi berdiri dan bus melaju seperti ini? Saya masih mending, karena meskipun puyeng dengan kondisi bis yang melaju kencang tapi posisinya duduk, masih bisa tidur dengan enak.

Di suatu jalan yang cukup macet memasuki Madiun, bus mengambil jalur di sebelah kiri dan berusaha mendahului kendaraan-kendaraan di depannya di jalur kiri. Terseok-seok dan terganjal oleh batu jalannya bus dan hal yang tidak saya inginkan terjadi. Bus kami miring ke kiri sedangkan di sebelah kiri adalah selokan yang cukup lebar meskipun ada pohon yang menahan bus. Semua orang di dalam bus menahan napas. Bapak kenek bus berusaha memberikan aba-aba pada pak Sopir untuk terus menginjak gas sekuat tenaga karena bus terganjal batu besar. Hanya kata-kata tasbih yang bisa keluar dari mulut. Hingga beberapa menit berlalu dengan deg-degan masih bisa kami rasakan, bus berhasil jalan dan berada di jalur yang seharusnya. Alhamdulillah...

Ternyata aksi ekstrim bus tidak berhenti sampai disini, masih beberapa kali kami rasakan bus mendahului truk, atau bus lain dengan kecepatan tinggi. Saya tidak ambil pusing, lebih karena tengah malam dan mengantuk yang memaksa mata untuk terpejam. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi, kalau menurut jadwal seharusnya kami sudah sampai di Surabaya, tapi posisi kami masih di Jombang sehingga bisa diduga masih sekitar 2 jam lagi kami sampai di Surabaya. Pukul 6 pagi akhirnya bus memasuki terminal Purabaya Surabaya. Lega dan gembira bisa menginjak tanah Surabaya, setelah 9 jam berada diombang ambing jalanan.

Kapok?
Nggak.

Perjalanan kembali ke Yogyakarta, kami tetap memilih naik bus non patas. Berangkat dari Surabaya sekitar jam 23.00. Saat kami naik, bus masih kondisi sepi. As usual, saya memilih duduk di deretan ke-3 sebelah kiri. Beberapa orang juga tampak menaiki bus, ada sekeluarga bersama ank kecilnya memilih duduk di kursi belakang sopir. Ada 2 ibu-ibu berumur 60-an juga naik berdua tapi memilih berpisah kursinya. Beberapa menit kemudian kursi terisi penuh dan bus siap berjalan menuju Yogyakarta. Perjalanan kali ini tidak se-ekstrim perjalanan menuju Surabaya kemarin, atau karena saya nggak begitu merasakannya karena banyak tidurnya. Kondisi bus penuh sesak, banyak penumpang yang berdiri. Pas saya melek, lah kok ada ibu-ibu berdiri di samping saya dan melihat ke arah saya. Duh, jadi nggak enak kan... antara mau ngasih tempat duduk tapi juga mager karena kondisi sesak dan ngantuk banget yang membuat saya berat menyerahkan kursi. Akhirnya saya geser aja deh mepet ke adik saya yang ukuran tubuhnya kecil, ibu-ibu langsung nyamber dan bilang, “Mbak bagi duduknya ya....” Nah lho, dia bisa baca pikiran saya. Saya cuma bilang “Oh ya..” dan melanjutkan tidur meskipun kaki serasa kejepit. Nggak beberapa lama kemudian, orang di depan saya turun dan segera suami dari ibu itu menyuruh istrinya pindah duduk ke depan, Alhamdulillah yah...

Ternyata, teori pro sosial nggak berlaku ketika berada di kondisi seperti ini. Saya yang membuktikan sendiri. Gimana nggak, dalam kondisi ngantuk dan penuh sesak belum tentu orang mau menyerahkan apa yang sudah didapatkannya dengan begitu saja kepada orang lain. Alasannya, karena kondisi mengantuk dan nanti malah nyampe Yogya nggak dapat tempat duduk.

Sampai di Solo, ibu-ibu yang ada di sebelah saya yang naik berdua tadi turun. Sempat kebablasan dan dapat marah dari pak kenek. Astagaaa.... kasihan sekali lihatnya. Ga tega deh, ibu-ibu berdua sudah sepuh dengan membawa banyak barang turun subuh-subuh eh pake diomelin pak kenek. Bener-bener nggak tega. Saya jadi membayangkan kondisi itu terjadi pada kerabat saya. Saya jadi membayangkan, apa yang dilakukan 2 ibu-ibu tadi ya? Apakah mereka akan berjualan di Solo? Ataukah akan mengunjungi anaknya yang mungkin kuliah di Solo? Entahlah... saya pun tidak tahu. Hanya doa yang bisa mengiringi agar 2 orang ibu-ibu tersebut diberi keselamatan dan kekuatan selalu.

Perjalanan dari Klaten hingga Yogya, penumpang perlahan mulai berkurang dan tiap orang mendapatkan tempat duduk. Hingga sampai terminal Giwangan, tinggal beberapa orang yang akhirnya turun di pemberhentian terakhir ini. Hamdalah... bisa sampai Yogya lagi dan kembali ke rutinitas sedia kala.

Berikut saya ringkas mengapa perjalanan kali ini saya memilih naik bus non patas bernama Mira:
+ tarif murah
+ sudah ada AC

- Penumpang berdesakan karena ada yang berdiri
- Jika pagi – sore hari pedagang asongan / pengamen bisa masuk ke bus
- Harus siap terombang ambing di dalam bus dengan kecepatan tinggi

Komentar