Birul walidain



Antara menolak dan tidak ikhlas, awalnya. Siapa yang tidak sedih ketika mendengar orang yang paling disayangi didiagnosis penyakit yang menjadi pembunuh nomor 2 di dunia? Tidak bisa menerima, jelas.
Rasanya itu, antara sedih, bingung, marah, kesal, protes, kecewa, semua emosi negatif bercampur menjadi satu dan jadilah satu luapan, menangis.
Kalau dibilang “waktu yang menjawab semuanya”, ternyata memang benar. Ada masanya ketika sedih itu harus dialami dan diterima. Tapi, suatu emosi tidak akan tinggal selamanya dalam diri. Ketika saya melihat semangatnya perlahan kembali menyala, meski berada pada situasi yang jika saya ada pada posisi itu saya mungkin tak sesemangat sepertinya.
Hari demi hari saya melihat perjuangannya, berada di satu kondisi yang membuatnya tak lagi bisa menjalani aktivitas dengan biasa. Detik demi detik saya menjadi saksi bahwa ia begitu kuat menjalani prosesnya. Ditemani seseorang yang selalu setia mendampingi dan melayani sepenuh hati dan jiwanya.
Perlahan saya mulai percaya, saya mulai bisa mengumpulkan puing-puing kekuatan yang sempat runtuh itu.
Sepuluh hari berada di satu tempat yang sama, menjadi saksi dari setiap detik perjuangannya. Memberikan semangat meski sebenarnya lelah. Mendulang harapan meski sebenarnya pijakan kami goyah. Tapi demi satu kata, sembuh.

Berada di momen kala itu, saya sama sekali tidak menyesal. Melakukan hal yang menurut orang remeh temeh, tapi berjuta maknanya bagi saya. Meski harus rehat sejenak dari urusan perkampusan, justru saya merasa berharga. Harusnya dari dulu saya ada di posisi ini.  Tapi lagi-lagi, Tuhan punya waktu yang paling tepat bagi hamba-Nya.

Meski kala di depannya saya tak punya banyak kata yang bisa diungkapkan. Tapi saya mengetahui dengan pasti bahwa bagaimanapun kondisinya, saya mencintai beliau apa adanya. Saya menghormati setiap apapun yang beliau katakan pada saya. Ketika melihatnya tertawa dan menunjukkan kekuatannya, saya percaya disitu ada do’a-do’a dari banyak orang di luar sana yang diijabahi oleh Allah.

Satu mata air yang menjadi penyegar jiwa, yang selalu saya banggakan sosoknya. Begitu kuat dan bersemangat dalam menjalani ibroh yang sudah ditetapkan. Tetaplah teguh berada di posisi ini. Saya tahu lelah jiwa raga yang kau rasakan. Tapi ingatlah, saya selalu punya waktu dan telinga untuk mendengarkan segala yang kau rasakan. Bahwa engkau tidak sendiri, kita menjalani ini semua bersama-sama.

Hingga di satu titik saya menyadari. Bagaimanapun kondisi saya, sosok-sosok ini yang menjadi tujuan saya – tempat saya pulang –memberikan apapun demi saya. Lantas apa lagi yang harus saya pinta? Saya merasa cukup dengan ini semua. Saya merasa bersyukur atas adanya mereka hingga detik ini.

Harapan itu terus ada, bahkan semakin menyala. Saya percaya bahwa Allah Maha Baik yang akan memberikan kekuatan bagi kita. Kami akan selalu berdoa dan berusaha menjalani ini semua. Kami tak akan lelah meminta dalam setiap waktu. Karena kami percaya di setiap awal dimulainya hari, waktu subuh selalu menunjukkan kekuatan magisnya. Selalu ada harapan untuk sembuh. Aamiin ya robbal alamin.


Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)

Komentar