Postingan (sedikit) antagonis

Postingan kali ini agak berbeda dengan postingan-postingan sebelumnya. Selama beberapa waktu lalu, mendapati berbagai hal yang kurang berkenan di hati. Syukurlah sekarang sudah berdamai dengan perasaan kurang nyaman tersebut. Namanya manusia, wajar punya hal yang nggak sreg di dalam pikiran dan perasaannya. Saya akan bercerita sedikit tentang hal tersebut.

Orang nggak akan tahu susahnya kita, nangisnya kita, jatuhnya kita. Mereka dengan seenaknya akan menghakimi berdasarkan apa yang dilihat di permukaan saja. Mereka hanya tahu apa yang di luar kulit tanpa tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi. Hal ini memang tidak bisa dikendalikan, kecuali jika kita menjelaskan sejelas-jelasnya kepada mereka, dan itu pun ga akan mengundang simpati yang sebegitunya. Justru kita tahu sendiri pikiran orang-orang sudah disetting untuk lebih banyak menghakimi dan melihat sesuatu dari sisi negatif. Hal ini yang membuat kita akhirnya tidak perlu menjelaskan seperti apa kita sebenarnya.

Ngapain juga susah-susah, capek-capek ngejelasin kalo ujung-ujungnya masih ada yang nyinyir tentang apa yang kita lakukan? Toh hidupnya mereka juga nggak ngaruh ke kehidupan kita secara langsung. Peduli amat tentang anak tante X yang kerja di perusahaan multinasional yang katanya bergaji dengan angka 2 digit. Gaji segitu juga nggak sepeser pun "nyiprat" ke saya, ya ngapain saya harus ngiri.
Peduli gila sama anak om Y yang sekarang sudah menikah dan punya anak lucu nan menggemaskan, toh kebahagiaan mereka juga saya nggak butuh-butuh amat. Saya juga nggak ketemu sama kalian tiap harinya, ngapain saya harus merasa nelangsa.
Ngapain juga mikirin tentang omongan tante Z yang bilang kerja di rumah sebagai penulis itu nggak jelas, toh dia juga nggak bakalan baca tulisan saya. Kenapa harus pusing? 

Bagi saya, melakukan hal yang disukai setiap harinya tanpa ada paksaan dari siapapun adalah hal yang membahagiakan. Justru saya jauh lebih merasa bahagia ketika mendengarkan anak kecil yang tertawa lepas ketika mandi di tengah air mancur Taman Bungkul. Definisi bahagia menurut mereka begitu autentik dan ditemukan dengan mudahnya. Demikian juga perasaan saya jauh lebih membaik ketika melihat senyum klien yang keluar dari ruangan terapi dengan membawa pengalaman positif. Tambahan lagi, pikiran saya jauh lebih segar ketika berhasil membaca berbagai buku dengan puas di toko buku favorit (tanpa membayar). Begitu juga saya merasa bahagia ketika bisa makan makanan favorit dan bersyukur setelahnya.

Yha... itu semua adalah penilaian subjektif dari sisi saya. Tanpa sumber yang jelas apalagi referensi ilmiah. Berdasarkan pengalaman pribadi saja yang memang tak harus sama dengan orang lain. Kalau dibilang tulisan kali ini antagonis, ya saya mohon maaf. Tak ada maksud menyinggung apalagi menyindir pihak-pihak tertentu. Ngapain juga... toh dari mereka saya akhirnya diingatkan agar tetap konsisten sama mimpi-mimpi yang sudah ditanamkan. Mereka hanya menguji, seberapa kuat idealisme terhadap mimpi saya. Apapun itu, terima kasih yaa sudah membaca tulisan yang (un)faedah ini...


anak-anak mandi di tengah air mancur Taman Bungkul 

Komentar