Ketika saya berada
di Bis Malang-Surabaya kemarin, saya menemukan sebuah fenomena unik. Biasanya
yang datang ke bis untuk menyanyikan lagu, sedikit berbeda. Ada seorang
laki-laki sekitar 30an umurnya, memakai ID Card dengan tulisan “Pengamen
Terminal Arjosari”, berlogo resmi Dishub Malang. Saya pikir dia bakal menyanyi,
ternyata bukan. Orang ini mendeklamasikan pemikirannya layaknya pidato
kenegaraan, ia memprotes Pemerintah, mempertanyakan hak-hak sebagai pengamen
yang “katanya” dipelihara oleh negara, seperti tercantum dalam Undang-Undang
Dasar. Ada benarnya juga, saat UU bilang “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara”, mana langkah konkret yang dilakukan pemerintah? Saya
pikir, nonsense. Oke, pemerintah menyediakan Dinas Sosial untuk melatih mereka,
tapi tidak seluruhnya tercover. Jumlah anak-anak terlantar ada berapa?
Banyak... akhirnya, pihak-pihak swasta dan swadaya yang pedulilah yang turun
tangan. Lihat saja, misalnya di Surabaya ada komunitas Sanggar Alang-Alang yang
melatih anak-anak jalanan di Terminal Joyoboyo untuk belajar musik dengan lebih
tertata, kemudian mereka banyak diminta untuk menunjukkan kehebatannya di
even-even tertentu. Itu lebih terhormat. Atau ada komunitas Save Street
Children Surabaya yang setiap minggunya mengadakan pembelajaran gratis bagi
anak-anak jalanan yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan, mereka diajari
untuk minimal tahu tentang baca tulis dan berhitung. Sebuah pengabdian yang patut
diacungi jempol, padahal penyelenggara komunitas itu tidak mendapatkan bantuan
dari Pemerintah. Mereka swadaya, tapi karena panggilan hati yang membuat mereka
melakukan itu semua. Lantas, pemerintah sudah melakukan apa? Saya tanya...
Jujur saya pengen nangis,
ketika lihat peminta-minta di jalan dengan tubuh renta dan wajah kuyu, tidak
punya tempat tinggal dan sanitasi yang layak. Ya Allah....itu manusia... kenapa
bisa jadi kaya gitu? Di pinggir jalan saya juga sering melihat orang-orang
dengan usia masih muda, menjual kacang, tahu, kerupuk, atau koran di bawah
terik matahari yang membakar kulit, menawarkan dari kaca mobil ke kaca mobil
barang dagangan mereka, ditolak demi ditolak, ga tega melihat mereka. Ada
pekerjaan lebih layak yang bisa mereka lakukan sebenarnya, dibandingkan
berjualan dengan cara yang menurut saya kurang efektif.
Anak-anak yang
menyanyi di bis, dengan wajah riang meskipun dia menyimpan beban hidup di balik
itu semua. Saya mempertanyakan, kenapa bisa seperti ini negara kita? Sedangkan
di negara sebelah, tidak pernah dijumpai pengamen jalanan. Kenapa Indonesia
tidak bisa hidup makmur, berkeadilan? Kembali mempertanyakan, apa kamu juga
merasakan hal yang sama, readers? Kesimpulannya masih harus kita pikirkan
bersama.
Komentar