Sudah
lama ingin membahas film ini, tapi belum sepat-sempat juga. Sekarang momennya
lagi tepat, karena Senin sudah tanggal 10 Nopember yang artinya Hari Pahlawan.
Hari dimana terjadi pertempuran hebat di Surabaya untuk mengusir Belanda dan
disanalah terjadi penyobekan bendera warna biru dari warna merah putih biru di
atas hotel Majapahit.
Kejadian
itu membuat Surabaya menjadi kota yang dikenal karena keberanian “arek-arek”
nya dalam melawan penjajah. Hingga saat ini Surabaya masih dikenal sebagai kota
pahlawan dan arek-areknya dikenal sebagai anak yang berani alias bonek “bondo
nekat”.
Back to topic,
Gie adalah salah satu mahasiswa dari Universitas Indonesia yang belajar sastra.
Ia lahir dari etnis Cina. Meskipun begitu, nasionalismenya sangat tinggi. Dari
kecil, Gie sudah membaca buku-buku “berat” untuk usianya, yang membuatnya
menjadi berpikiran berbeda dengan orang lain saat dewasa. Ketika mahasiswa lain
berpikir tentang cinta, Gie memikirkan negara. Ia memikirkan nasib negara yang
sedang carut marut saat masih berada di Orde Lama. Sebagai agent of change, mahasiswa seharusnya turun tangan memikirkan nasib
negara. Idealismenya dalam mempertahankan prinsip patut ditiru. Meskipun tidak
semua keputusannya benar tapi setidaknya membuat kondisi menjadi lebih baik.
Selain
kecintaan kepada negara, ia memiliki kecintaan pada alam Indonesia.
Gunung-gunung di seluruh Indonesia hampir sudah dikunjunginya. Kecintaan pada
menulis dan sastra menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari sosok Gie.
Rangkaian kata yang dia tulis di catatan hariannya menjadi saksi dari setiap
kejadian yang tidak adil di masa itu. Dia sempat bertanya, apakah tanpa
kepedihan, sejarah masih tetap ada?
Pemikiran
kritisnya membuatnya banyak disenangi, tapi tak sedikit juga yang mencibir,
bahkan teman seperjuangnnya, Jaka. Namun, masih ada Herman, Ira dan
sahabat-sahabat lainnya yang selalu mendukung Gie. Berangkat dari politik
kampus Gie bisa bertemu dengan presiden pada masa itu, dan memperjuangkan nasib
rakyat kecil.
Setting
film yang masih jaman tahun 60-an membuat saya berpikir, Indonesia saat ini
sudah jauh berubah menjadi lebih baik. Modernisasi belum menyentuh masa ini,
sehingga semua terlihat sangat sederhana. Berliku-liku jalan yang harus
dilewati oleh Gie, untuk menggapai cta-citanya, pemerintahan Indonesia yang
bebas dari korupsi dan keberpihakan politik. Ia mengisi kegiatan kampus dengan
acara anak muda seperti musik, film dan mendaki gunung, karena ia merupakan
pendiri dari Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) di sastra.
Singkat
cerita Gie selama ini memendam perasaan pada sahabatnya, Ira, namun tidak
berani mengungkapkan. Datanglah seorang perempuan bernama Tata yang datang
kepada Gie, sehingga Ira merasa cemburu dan tidak mempedulikan Gie. Saat Gie
akan menjelaskan yang sebenarnya kepada Ira, Ira tidak mau menemuinya. Gie pun
pergi ke gunung Semeru dan disana ia menghembuskan nafas terakhir, di puncak
Mahameru, di pangkuan sahabatnya, Herman.
Catatan
terakhir yang sempat ia tuliskan seperti ini:
“Kita
tak pernah menanamkan apa-apa
Kita
tak pernah kehilangan apa-apa
Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang
kedua, dilahirkan tapi mati muda
Yang
tersial adalah yang berumur tua
Berbahagialah
mereka yang mati muda
Makhluk
kecil, kembalilah dari tiada ke tiada.
Berbahagialah
dalam ketiadaanmu.”
Sosok
yang menjadi inspirasi bagi kebanyakan aktivis kampus, karena sosoknya yang
keras memainkan aktor demonstran memberikan nafas bagi pergerakan mahasiswa
hingga saat ini. Seperti kita tahu, Pahlawan tidak hanya ia yang berjuang di
medan perang. Pahlawan ialah orang yang bisa menginspirasi dan menyadarkan pada
diri ini bahwa sesungguhnya hidup lebih dari berarti.
Komentar