Makhluk
sosial menjadi kodrat dari manusia. Setiap manusia, seapatis apapun, pasti
membutuhkan oran lain di dunia ini. Bahkan ketika orang dikatakan mandiri, dia
pasti masih membutuhkan orang lain.
Begitu
juga dengan orang yang baru belajar tentang hidup. Menurut Erikson dalam teori
tahap perkembangan manusia, usia 22 tahun merupakan tahap perkembangan usia
dewasa awal. Ketika orang mulai beranjak dari tahap pencarian jati diri, mulai
mantap dengan kepribadiannya, mulai mencari arti hidupnya sendiri karena
pendidikan formal sudah mulai ditinggalkan dan memulai pendidikan informal
yaitu pekerjaan atau kehidupan nyata.
Jalan
yang saya ambil memang sedikit berbeda. Ketika banyak orang lain melanjutkan hidup
dengan bekerja di sektor yang menjadi rejekinya, saya memilih untuk melanjutkan
menuntut ilmu di tempat formal.
Di
manapun kamu memilih jalanmu, disitulah kamu menemukan jalanmu sendiri. Ketika
yang lain sibuk dengan kehidupan pekerjaannya, saya pun hampir sama. Kuliah dan
belajar kehidupan adalah hal yang tak terpisahkan. Saya menemukan orang-orang
baru yang menjadi keluarga baru saya disini. Orang-orang yang sengaja
dipertemukan oleh Allah dengan saya.
Cerita ini dimulai saat Ibu saya datang ke Yogya sebulan lalu, ketika itu saya
mendapat tugas kuliah untuk mencari klien anak untuk bisa di-tes psikologi. Sama
ibu, dicarikanlah klien anak dengan bertanya-tanya kepada kenalan yang ada di
Yogya. Kenalan yang dimaksud ini adalah orang tua dari teman dekatnya ibu di
Surabaya, namana mbak Opik. Mbak Opik ini kerja dan udah domisili lama di
Surabaya, asalnya dari Yogya daerah Umbulharjo. Nah, kemarin waktu saya dan
adik saya diterima di UGM, ditawari untuk tinggal sementara di rumah orang tua
mbak Opik ini. Tapi setelah dipikir-pikir, kok lumayan jauh ya dari UGM,
akhirnya ga jadi deh, kami pun hanya bersilaturahim aja ke rumah kedua Eyang
ini dan saya memilih untuk kost di daerah Jalan Kaliurang.
Setelah
Ibu bertanya ke orang tua mbak Opik, adakah anak kecil usia 4-12 tahun yang
bisa diminta untuk ikut tes psikologi? Ada cucu dari beliau yang namanya Ata,
tapi usianya masih 3,5 tahun akhirnya ya nggak bisa. Ternyata, di depan rumah
beliau ada Masjid yang biasanya digunakan untuk TPA (Taman Pendidikan Al-qur’an)
tiap hari Selasa dan Sabtu. Kebetulan juga, yang biasanya nyetirin mobil Eyang
ini punya anak perempuan berusia 5 tahun dan 3 tahun. Akhirnya, ibu dikenalin
ke bapak yang jadi sopirnya Eyang, dan saya pun dikasih jalan buat bisa ngetes
anaknya bapak ini.
Sewaktu
saya datang untuk pertama kali ke rumahnya malam-malam, saya sempat bingung,
lupa jalan ke daerah Umbulharjo dan sempat nyasar-nyasar sampai daerah jembatan
Janti. Itu udah masuk ringroad timur, padahal kosan saya deketnya sama ringroad
utara. Lebih dari 45 menit saya muter-muter ga tau jalan, apalagi itu malam
hari. Saya kekeuh ga mau pakai GPS di handphone, karena emang pulsa internetnya
lagi habis, jadinya saya tetep jalan aja. Meskipun beberapa kali di klakson
sama orang karena saya ngawur jalannya, ya maklum lah kan pendatang --“. Tapi saya tetep yakin, kalau saya 1
frekuensi dengan Febri, saya pasti akan ketemu sama dia. Dan
Alhamdulillah...setelah muter-muter ga karuan, saya dapet insight tentang jalan yang pernah saya lewati pas pertama kali
silaturahim ke rumah Eyang. Kemudian... sampailah saya di rumah Febri, yang
letaknya di belakang masjid, di depan rumah Eyang.
Saya
disambut dengan ramah oleh keluarga Pak Paring, ternyata masih terlalu muda
unuk disebut Pak, jadinya saya panggilnya mas Paring dan istrinya. Tentunya tak
mudah menjalin rapport dengan anak kecil yang masih baru dikenal. Awalnya anak
yang bernama Febri ini masih “dingin” dengan saya dan masih belum mau banyak
ngomong. Malahan yang lebih banyak mendekati itu Nisa, adiknya Febri yang
berusia 3 tahun. Memang saya seneng banget sama anak usia 1-5 tahun, karena di
masa ini anak lagi ada di tahap lucu-lucunya, dan ada di tahap golden age.
Kedua
orang tua Febri menyambut saya dengan suka cita, bercerita banyak tentang
keseharian mereka, latar belakang mereka, berbagi pengalaman, serta saling
memberi inspirasi. Kemudian saya membuat janji untuk membawa Febri ke kampus
untuk dites di lab sana selama 2 hari.
Saya
menjemput Febri di rumahnya dan dia kelihatan seneng banget diajak jalan ke
Kampus UGM. Baru pertama kali katanya kesini, waktu saya tes di lab pun dia
relatif nurut. Meskipun beberapa kali minta jalan-jalan dan istirahat dulu, ya
maklum kan namanya anak-anak pasti bosen diminta buat jawab
pertanyaan-pertanyaan. Setelah tes, saya menjanjikan dia untuk main di TK deket
masjid UGM. Saya ajak jalan di masjid UGM dan masuk ke TK yang ada di deket
situ, keliatan dia seneng banget mainan ayunan dan seluncuran. Saya Cuma
ngeliatin karena ga mungkin kan saya ikutan main -__-. Setelah puas bermain
kami sholat dulu di masjid yang kebetulan saat itu ada syuting acaranya Mamah
Dedeh Indosiar. Jadilah kami sholat di tengah hiruk pikuknya syuting acara ini.
Kemudian saya antarkan dia pulang.
Besoknya,
saya kembali menjemput Febri untuk diajak ke UGM lagi. Ada beberapa tes yang
harus dilaksanakan, tapi relatif lebih mudah daripada kemarin. Namun,
kelihatannya dia lagi ga dalam mood yang baik, sehingga perlu waktu jalan-jalan
lebih lama dari biasanya, saya hanya menyesuaikan aja, sambil membujuknya untuk
mau ikut tes lagi. Pulangnya, kami mampir di masjid lagi, karena Febri pingin
foto di depan masjid katanya. Baiklah...kami pun jalan ke masjid dan foto deh
sebelum pulang.
Beberapa
mingu kemudian, ternyata saya masih ada 1 tugas lagi karena sama Dosen saya
ditambahin satu lagi alat tes. Alhasil, saya harus kembali ke Febri lagi dan
memberikan tes ke dia. Tapiiii....masalahnya adalah, ini sudah masuk musim
hujan dan kalau siang sampai sore bsia dipastika Yogya diguyur hujan. Ga
mungkin kan saya ajak anak kecil buat hujan-hujan, jadinya saya inisiatif untuk
melaksanakan tesnya di rumah aja, sekalian mau observasi dan wawancara ke orang
tuanya. Saya datang jam 14.00, padahal aslinya udah janjian jam 13.00 tapi
karena pada hari itu saya ada janji asistensi dan ngumpul beberapa laporan, jadi
hectic banget dan baru bisa ke rumah
Febri jam segitu. Sesampainya disana, ternyata yang membukakan pintu Febri
sendiri dan udah disambut dengan suka cita oleh Febri dan Nisa. Ada juga Ibu
Febri yang lagi memasak, jadinya saya dipersilahkan untuk masuk ke rumah
mereka.
Ibu
Febri bercerita kalau keadaan rumah mereka seadanya seperti ini, hanya 1 kamar,
karena belum bisa untuk membeli rumah sendiri. Mereka tinggal di sebuah kost
berukuran 3x3 meter dengan kamar mandi dan dapur bersama. Kehidupan yang serba
pas-pasan menurut mereka ini sudah cukup membuat bahagia, karena apapun wajib
untuk disyukuri. Seberapa banyak pun penghasilan, seberapa banyak pun masalah,
kalau memang itu jalan dari Allah untuk mereka bisa menjadi umat yang lebih
baik, ya harus dijalani dengan ikhlas. Kesederhanaan ini yang membuat saya
belajar, bahwa segala sesuatu yang mungkin kita persepsikan “kurang”, tapi
menurut orang yang menjalani ternyata itu adalah hal yang membahagiakan.
Setelah
tes selesai, kami bercerita banyak, bermain bersama, menggambar, belajar,
hingga sholat bersama. Nilai-nilai agama ternyata sudah diterapkan oleh orang
tua mereka sejak dini. Dari kecil begini, mereka sudah dibiasakan sholat di
Masjid berjama’ah, meskipun tentu saja belum sempurna gerakannya, masih sering
noleh-noleh, jalan-jalan, hingga menjawab “Amin” di akhir surat Al-fatihah
dengan kenceng. Selesai sholat maghrib, saya bertemu dengan Eyang yang ternyata
juga sholat maghrib di Masjid. Oleh Eyang, saya diminta buat mampir ke rumahnya
dan menginap, karena hujannya belum reda. Awalnya saya menolak karena yakin
habis ini pasti bakal reda, ternyata ya tetep aja rintik-rintik kaya gini
hujannya.
Saya
pun mampir ke rumah Eyang dan sama Eyang udah disiapin kamar buat saya tidur
nantinya. Laaaah??? Eyang repot-repot... tapi kata beliau, ini ga repot karena
udah biasa banyak tamu yang datang dan menginap. Tapi tetep aja sungkan kan
ya... meskipun ini bukan pertama kalinya saya menginap di rumah orang. Nah kok
Tita lagi pulang ke Surabaya, kalo saya pulang ke Kosan juga pasti ga ada
orang, ya udah deh ga apa-apa nginap disini dulu buat malam ini.
Ternyata
sama Eyang, “Mbak Ayun, besok ikut ke Klaten ya nemenin Eyang ke rumah mbak
Erna buat panen matoa...udah pernah makan matoa belum?”
“Hmmm.....belum
Yang...”
“Lah
iya, besok ya...ga ada kuliah to besok?”
“Enngg....ngga
Yang....”
Baiklah,
malam ini saya tidur di tempat lain selain Kost. Pertama kalinya nih nginep di
rumah orang selama saya resmi tinggal di Yogya. Tapi yang saya pikirkan adalah,
gimana nasib kura-kura saya Poki dan Pika yang ada di Kosan? Siapa yang ngasih
makan mereka? >__<
pasti Poki udah naik-naik ke tanaman hias kalo lagi kelaparan
Tidur
di kamar dengan ditemani suara tokek dan dentingan jam kuno yang setiap 30
menit pasti berbunyi. Malam ini benar-benar beda. Biasanya yang tengah malam
bangun untuk mengerjakan tugas, malam ini lagi nggak pengen ngutak atik tugas. Teringat
perkataan salah satu Dosen saya, “Belajar psikologi itu selain untuk diri
sendiri juga untuk orang lain. Orang lain tanpa peduli status sosialnya.”
Terlebih karena psikologi klinis, siapapun orangnya berhak atas kesejahteraan
psikologis yang penuh atas dirinya. Tidak peduli status ekonominya, justru
seharusnya kita membantu orang yang status ekonominya berada di bawah
rata-rata, karena mereka kurang bisa menjangkau akses kesehatan dibandingkan
dengan orang yang status ekonominya di atas rata-rata. Ini semua kembali kepada
panggilan hati, pekerjaan ini adalah pekerjaan sosial yang insya Allah mulia.
Saya
merasa diterima oleh lingkungan ini. Oleh Febri, Nisa, mas Paring dan istrinya,
Eyang dan Eyang Kakung, Ata, serta orang tuanya. Mereka semua menganggap saya
jadi bagian mereka. Jadi malu sendiri, apa saya bisa kaya gitu ke orang lain
ya? Apa saya sanggup berbuat baik seperti ini kepada orang lain? Satu hal yang
selalu saya pelajari, bahwa berbuat baiklah sebanyak-banyaknya pada orang lain,
karena perbuatan baik tersebut oleh Allah dilipat gandakan menjadi hal yang
menolong kita di suatu hari.
Jadi,
tidak peduli siapapun orangnya, ketika kamu berusaha untuk berbuat baik. Allah
pasti memberikan jalan kepada kita untuk bertemu orang-orang baik di balik
mereka yang bisa menjadi keluarga baru. Dan disinilah, saya bisa menemukan
keluarga-keluarga baru yang kesemuanya akan memberikan saya pelajaran hidup.
selfie sama Febri dan Nisa :)
Komentar