Ada
yang pernah menonton film ini? Ini adalah sebuah judul film dari negara Timor
Timur yang diputar di 9th Jogja-Netpac Asian Film Festival “Re-Gazing At Asia”.
Kebetulan pada tanggal 1-6 Desember ini Jogja kembali menghadirkan Festival
Film se-Asia, yang bisa ditonton oleh umum. Acara ini diselenggarakan di
beberapa tempat, yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Cinema XXI Cineplex Bentara
Budaya, dan beberapa Desa di Jogja. Tentu saja hal ini mengundang reaksi
positif oleh para mahasiswa penggemar film yang haus akan hiburan. Biaya yang
hanya Rp 5.000 tiap film yang akan ditonton membuat penonton rela antri dan
meluangkan waktu demi menonton film-film yang disajikan.
Kebetulan
pada tanggal 3 Desember kemarin kami ga ada kuliah. Karena hasutan dari gadis-gadis
Bali bernama Padma dan Wida, saya pun memutuskan sejenak lari dari kenyataan,
demi nonton film di Empire XXI. Pada jam 12.15 kami nonton film dengan judul
Beatriz’s War. Ga ada bayangan sama sekali film yang bakal kami tonton ini
seperti apa, karena emang belum pernah lihat sinopsisnya juga.
Singkat
cerita, film ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Beatriz yang hidup
di Timor Timur. Ia dinikahkan oleh Ibunya dengan seorang laki-laki bernama
Thomas. Saat menikah tersebut, usia mereka masih 13 tahun, sangat sangat muda.
Kemudian pada waktu malam pernikahan mereka, daerah tempat tinggal mereka yaitu
Krakas diserang oleh tentara dan banyak yang meninggal saat itu juga, termasuk
ibu Beatriz. Beatriz dan Thomas, serta kakaknya yang bernama Teresa, selamat
dan mereka mengungsi di suatu gunung bersama tentara Falintil alias tentara
dari Timor Timur.
Timor
Timur atau yang biasa kita sebut Timor Leste ini alamnya memang masih
benar-benar alami. Kebudayaan mereka pun tak jauh berbeda dengan daerah Nusa
Tenggara Timur, bentuk rumahnya, bahasa, hingga agama yang dianut. Ciri fisik
mereka juga seperti kebanyakan orang Indonesia Timur, coklat manis. Mereka
keturunan dari Portugal sehingga kulitnya coklat, dengan hidung mancung, rambut
hitam keriting dan mata lebar.
Beberapa
tahun kemudian, Beatriz hamil. Ia tinggal bersama Thomas dan Teresa dengan
hidup seadanya. Mereka tidak mengenal uang, karena sumber kehidupan mereka adalah
dari alam sekitar. Mereka makan dari hasil hewan tangkapan di hutan,
tumbuhan-tumbuhan, minum dari air sungai jernih yang sekaligus digunakan untuk
mandi. Namun mereka hidup dalam pengawasan tentara Indonesia yang selalu
mengawasi setiap gerak gerik mereka. Suatu hari Thomas dipanggil oleh tentara
Indonesia atas perintah Kapten yang bernama Sumitro. Kapten Sumitro ini
terkenal sangat sadis dan ditakuti karena ia bisa bertindak semena-mena
terhadap orang Timor jika ada yang berani macam-macam. Thomas ditangkap dengan
tuduhan mencuri sepatu salah satu anggota Angkatan Darat Indonesia. Namun
ternyata di basecamp tentara Indonesia, Thomas diinterogasi untuk menunjukkan
dimana tempat Papa-nya tinggal, karena Papa Thomas adalah Kapten dari Falintil,
bernama Kapten Nicolau. Thomas hanya bungkam hingga tangannya ditusuk oleh
pisau Sumitro. Sumitro mengatur rencana agar Thomas mau mengaku, dengan cara
melakukan ’hal yang yang tidak
seharusnya’ kepada salah satu
perempuan dan sasarannya adalah istri Thomas, yaitu Beatriz yang saat itu
sedang hamil besar. Di titik ini, saya merasa tertampar, ternyata begitu
hinanya perilaku orang Indonesia di mata orang-orang Timor. Saya menjadi benci
dengan tentara-tentara tersebut karena melecehkan perempuan sedemikian rupa,
memangnya mereka siapa? Antara marah kepada tentara dan sedih melihat kondisi
Beatriz yang dilanda depresi berat, akhirnya cuma bisa nangis melihat adegan
kaya gini.
Thomas
yang memang dicirikan dalam film ini sebagai laki-laki yang pendiam, pengalah,
dan tidak berani, akhirnya melakukan keputusan besar. Ia tak tahan melihat
kondisi istrinya yang diperlakukan seperti itu, segera ia berlari ke sebuah
gunung dimana Papa dan anggota bersenjata Timor Leste berada untuk segera
mengepung dan menyerang mereka. Pada saat perayaan hari kemerdekaan Indonesia,
17 Agustus 1984 terjadi penyerangan oleh tentara Falintil terhadap tentara
Indonesia. Banyak tentara Indonesia yang gugur pada serangan ini. Kapten
Sumitro lari terbirit-birit di serangan ini. Namun ternyata tentara Indonesia
tidak tinggal diam, mereka juga menyusun rencana pembalasan untuk tentara
Falintil pada bulan September. Di penyerangan balik tersebut, Beatriz dan Thomas
berusaha melarikan diri dari tentara Indonesia. Saya benar-benar stres lihat
adegan yang bagian ini, benar-benar kejam sekali perlakuan tentara Indonesia
terhadap orang Timor. Ada seorang Pastur yang selama ini selalu menjadi tempat
berlindung para warga di Krakas, yang berusaha melindungi sebuah tempat dimana
ada orang-orang lansia, orang hamil, dan anak-anak yang berkebutuhan khusus,
tapi mereka semua ditembak mati oleh tentara Indonesia. How could they do this to human with special need? Kata-kata yang
pantas bukan hanya cruel, tapi juga brutal, harsh, heartless, inhuman,
hingga cold-blooded.
Setelah
itu mereka memisahkan antara perempuan dan laki-laki, tentu saja Beatriz dan
Thomas terpisah. Para laki-laki dibawa ke pinggir sungai kemudian mereka menyuruh
untuk menyanyikan lagu Falau, lagu bahasa Timor yang isinya tentang mereka
mengakui sebagai bagian dari negara Indonesia. Pada saat itu juga mereka
diberondong peluru dan ditembak habis termasuk para anak-anak dan bayi
laki-laki. Beatriz menyaksikan itu semua dengan hati serasa ditusuk-tusuk,
melihat saudara-saudara serta suaminya ditembak mati di pinggir sungai hingga
airnya memerah oleh darah mereka. Setelah keadaan aman, Beatriz kemudian
menghampiri para jenazah yang ditinggalkan begitu saja, namun ia tidak
mendapati Thomas, ia percaya bahwa Thomas masih hidup. Para perempuan pun dibawa
ke sebuah tempat. Tapi sejak saat itu pula, para perempuan selalu menggunakan
pakaian berwarna hitam yang menandakan mereka berkabung atas kematian suami dan
anak-anak laki mereka. Mereka dilanda kesedihan mendalam dan hidup dalam
ancaman. Datanglah Kapten Nicolau yang tidak lain adalah Papa dari Thomas dan
Teresa serta Papa mertua dari Beatriz. Ia rela menukar nyawanya dengan nyawa
para perempuan tersebut. Kapten Nicolau diminta untuk menggali lubangnya
sendiri dan ditembak mati oleh Sumitro. Pada saat adegan ini, backsound yang
dimainkan juga mendukung untuk penonton menitikkan air mata. Saya berusaha
nahan buat ga nangis, eh akhirnya ya tetep aja nangis, mengaduk-aduk emosi
banget nih sampe kepala jadi panas juga.
Para
perempuan ini kemudian ini tinggal di sebuah tempat dan menjalani hidupnya di
bawah pengawasan tentara Indonesia. Perlahan-lahan Beatriz menggerakkan para
perempuan di tempatnya untuk bisa bangkit dari kesedihan melanjutkan hidup. Mereka
dijadikan istri simpanan dari tentara-tentara yang jauh dari keluarganya di
Indonesia. Sumitro pun kemudian memiliki anak dari hubungannya dengan Teresa.
Padahal Teresa dan Beatriz sangat membenci Sumitro. Tapi di balik itu semua,
mereka mengatur rencana. Mereka memiliki anak-anak dari para tentara itu untuk
kemudian di saat mereka sudah besar bisa membantu untuk membalas dendam sakit
hatinya kepada Indonesia yang sudah memperlakukan mereka dengan buruk. Beatriz
pun hidup dengan putranya yang sudah dilahirkan. Teresa dan Sumitro memiliki
anak perempuan yang sangat disayangi oleh Sumitro. Mereka hidup seperti ini
hingga tahun 1999, dimana Indonesia akhirnya memberikan hak untuk jajak
pendapat bagi warga Timor memilih sesuai keinginan mereka. Banyak darah
bertumpah dimana-mana, mayat diseret-seret yang menyelimuti Timor pada masa
itu. Para tentara ditarik untuk kembali ke Indonesia. Teresa dan Sumitro
berebut anak mereka yang sudah berusia 15 tahun. Sumitro bersikeras agar anak
tersebut dibawa ke Indonesia, jika Teresa tetap mempertahankan, maka ia akan
menembak mati anak tersebut saat itu juga. Ibu mana yang rela anaknya dibunuh?
Akhirnya Teresa merelakan separuh jiwanya ikut bersama seorang laki-laki yang
sangat dibencinya tapi merupakan ayah dari anaknya. Ga usah ditanya, kiri kanan
saya yang kebetulan cewek-cewek, juga pada nangis.
Di
saat kehidupan sudah mulai membaik, karena Timor Timur sudah mendeklarasikan
kemerdekaannya di bawah pemimpin Xanana Gusmao, tiba-tiba datanglah seseorang
yang mengaku dirinya adalah Thomas. Thomas dos Anjos yang tidak lain adalah
suami Beatriz. Teresa sangat senang karena ternyata adiknya masih hidup. Namun
ada satu hal yang menjadi dilema. Ada suatu budaya di Timor Leste, dimana jika
anggota keluarganya dinyatakan sudah meninggal maka alat makan yang biasa
dipakainya harus dikembalikan ke sebuah pulau di tengah laut. Saat melakukan ritual mengembalikan piring
tersebut, Beatriz masih tidak diterima karena ia masih percaya bahwa Thomas masih
hidup. Namun Teresa menyadarkan Beatriz bahwa Thomas sudah tidak mungkin
kembali lagi. Saat Thomas benar-benar kembali ke hadapan mereka, Thomas tidak
dapat lagi tinggal serumah dengan mereka karena ritual tersebut sudah
dilaksanakan.
Di
saat seperti ini, Beatriz kembali mengalami pergulatan batin, apakah benar
bahwa Thomas yang ada di hadapannya ini benar-benar suaminya. Ia ragu, karena
Thomas yang ia kenal tidak seberani sekarang, ia tidak segagah itu. Thomas yang
ia kenal malu-malu dan tidak membawa senapan kemana-mana. Thomas memutuskan
kembali ke samping Beatriz dan Teresa karena ia merasa bahwa waktunya sudah
tepat. Selama 15 tahun yang lalu ia juga berjuang di gunung untuk membela orang
Timor.
Tapi
di satu kesempatan, saat ada ritual untuk mengembalikan kembali alat makan,
agar Thomas bisa diterima kembali di rumah Beatriz. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dengan membawa golok dan
mengatakan bahwa laki-laki yang bernama Thomas tersebut bukanlah Thomas, dia
adalah Pedro Cortez yang sudah membunuh saudara-saudaranya dalam operasi yang
dipimpin oleh Pr*bow*. Pedro ini adalah seorang pengkhianat, dia orang Timor
yang tergabung dalam tentara Indonesia. Wanita itu ingin segera menghabisi
Pedro saat itu juga. Namun Beatriz malah membela Thomas yang tak lain adalah
Pedro, karena ia akan menjadi ayah dari anak yang dikandungnya saat ini. Ia meminta agar Pedro dipotong saja tangan
dan kakinya.
Kemudian
yang terjadi Pedro diikat di sebuah pohon dalam keadaan hujan-hujan, saat
Beatriz melahirkan anak mereka. Teresa yang menggendongnya berusaha untuk
menyerahkan bayi tersebut ke pangkuan Beatriz. Namun Beatriz menolak dan
memalingkan wajahnya karena ia antara membenci anak tersebut dan menyalahkan
diri sendiri. Saat anak terus menerus menangis, Teres pun menawarkan untuk
memberikan sang anak sebuah nama hingga ia berhenti menangis. Beberapa nama
disebutkan hingga sampailah pada sebuah nama ’Elena’. Sang bayi pun diam dan Beatriz mau menggendong anak tersebut.
Cerita pun berakhir disini.
Ending
yang agak menggantung, tapi cukup happy
ending. Membuat para penonton akhirnya lega bahwa Beatriz bisa bahagia.
Mulai dari kejadian itu, saya jadi tertarik untuk mencari tahu sejarah Timor
Timur lebih lanjut dan mulai berempati bahwa memang tidak enak menjadi kaum
yang dijajah. Ternyata politik sebegitu kejamnya sehingga bisa membuat nyawa
warga tidak berdosa melayang sia-sia. Menjadi pemimpin sebuah negara tidaklah
segampang yang dibayangkan.
Komentar