Saya
selalu bersemangat ketika mata kuliah yang ada hubungannya dengan anak. Apalagi
kalo dosennya bu Etik, dosen yang sudah senior tapi cantiknya kebangetan. Beliau
usianya sudah 60-an tapi selalu well
dressed, tutur katanya baik, tapi juga lucu. Beberapa guyonannya membuat
kami sekelas terpingkal-pingkal. Beliau menjelaskan mengenai terapi yang
digunakan untuk anak ada berbagai macam, disesuaikan dengan jenis patologisnya.
Salah satunya ialah terapi menggunakan media pasir alias sandplay therapy. Bersama dengan dosen intervensi anak yaitu Bu Wisjnu, kami sekelas praktikum di kelas, masing-masing
berperan menjadi anak, terapis, dan observer. Bahan yang dibutuhkan adalah
pasir putih, box untuk pasir, mainan kecil yang terdiri dari objek hewan,
tumbuhan, orang, barang-barang lainnya yang bisa dipilih anak untuk membuat
dunianya di pasir tersebut. Saat itu saya bersama mbak Sam dan Nina berada di 1
kelompok. Kami bergantian bermain peran, kemudian saling memberi umpan balik.
Sandplay Therapy
Meskipun
dari 1 sesi terapi belum bisa ditentukan gangguan apa yang dialami anak,
setidaknya cukup membuat kami sekelas bahagia karena bisa kembali menjadi anak
kecil di kelas terapi bermain ini. Cara lainnya yaitu dengan puppet alias boneka tangan, atau dengan
menggunakan media plastisin atau playdoh. Ada yang baru yaitu dengan theraplay yang biasanya digunakan untuk
gangguan komunikasi antara anak dan orang tua. Untuk anak yang berusia 4 tahun,
media-media ini semua bisa digunakan.
Kemudian
kami diberi tugas untuk me-resume
sebuah buku yang berjudul “Dibs, search
on self”. Ceritanya tentang seorang anak bernama Dibs yang menurut
orang-orang di sekitarnya mengalami keterbelakangan mental, kemudian diberikan
terapi selama seminggu sekali selama 52 kali pertemuan oleh seorang terapis,
sehingga bisa diketahui bahwa sebenarnya anak ini sangatlah brilian dan
kecerdasannya superior. Buku ini benar-benar membuat saya gemes karena
dialog-dialognya sangat otentik dan bisa memberi inspirasi para calon psikolog
untuk memperlakukan anak-anaknya kelak dengan baik.
cover buku Dibs
Yang
menarik dari perkuliahan ini ialah, kami tidak hanya belajar mengenai jenis
terapi, tapi kami juga belajar memotivasi diri sendiri. Memang benar ya, kuliah
psikologi itu sejenis rawat jalan. Selain menambah skill, juga untuk
memperbaiki diri menjadi individu yang selalu menjadi lebih baik dari hari ke
hari.
Kami
belajar mengenai therapeutic community
(TC). Berdasarkan dari buku milik De Leon (2000), TC ini memberikan program
kepada anggotanya untuk bisa berubah ke arah yang lebih baik. Metode yang
digunakan ialah rehabilitasi perilaku dan sosial, mereka dibentuk seperti
keluarga, diatur untuk bisa saling menolong untuk masalah yang sama. TC ini
digunakan untuk orang-orang dengan adiksi narkoba yang ingin sembuh. Kadangkala
mereka membentuk narcotics anonymous
meeting yang pesertanya para pecandu yang ingin sembuh, namun tidak saling
mengetahui namanya. Gerakan yang cukup unik, karena mereka sebenarnya memiliki
komitmen untuk bisa benar-benar terlepas dari jerat narkoba. Di TC, mereka
dihadapkan apda proses yang tidak mudah karena harus memenuhi berbagai
peraturan yang sudah ditetapkan. Peraturan seperti cardinal rules yaitu “no sex, no drugs, no violence”, hingga reward and punishment bagi mereka yang
melanggar peraturan tersebut. Ada sebuah doa yang selalu dipanjatkan oleh
mereka setiap harinya yang berjudul Serenity Prayer, seperti inilah isinya:
Serenity Prayer
God, grant me the serenity to accept
the things I cannot change, The courage
to change the things I can, and the wisdom to know the difference.
=Reinhold Niebuhr=
Mereka
hapal betul dengan doa ini, yang ternyata sangat dalam bahwa seseorang memohon
kepada Tuhan untuk bisa menerima sesuatu yang tidak bisa ia rubah, berikan
keberanian untuk merubah sesuatu yang bisa dirubah dan kebijaksanaan untuk
mengetahui perbedaan keduanya. Ngena banget.
Komentar