Pertemuan dengan orang yang berbeda
setiap harinya, memberikan warna baru bagi kehidupan kita. Tentu saja, setiap
orang mempunyai ceritanya yang membuat kita menjadi bertambah wawasan maupun
pengalaman. Begitu juga dengan kami para calon Psikolog, yang diharapkan bisa
menerima setiap individu apa adanya, dengan penerimaan tanpa syarat.
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah
cerita kalau saya mengambil pendekatan intervensi kelompok. Itu artinya saya
harus mengumpulkan 6-8 orang dengan keluhan yang sama untuk bergabung menjadi
grup di terapi kelompok yang saya fasilitatori. Saya mengambil tema “Korean
Addict”. Memang sih terlalu men-judge, karena judulnya aja udah “addict”, tapi
percayalah bahwa kata tersebut bisa dimaknai positif, kita lihat saja nanti.
Jaman sekarang, siapa yang nggak tahu
kalau hiburan Korea macam girl band, boy band, drama Korea, reality show dan segala
hal yang berbau Korea merajalela di seluruh antero Indonesia. Setiap
perempuan menginginkan badannya putih bersih, mungil kecil, langsing kurus
seperti artis-artis perempuan Korea. Mereka juga berharap bisa mendapat
pasangan yang ala-ala “oppa” Korea yang ganteng, putih, rambutnya stylish, dan
badannya bagus. Baiklah....itu wajar sekali...wajar.... apalagi di usia remaja
di mana mereka masih berusaha menentukan mana yang terbaik untuk dirinya.
Tapi apa jadinya kalau kegemaran
terhadap K-Pop tersebut berlebihan? Indikator apa yang mengatakan berlebihan?
Baiklah, mari kita simak...
berdasarkan beberapa sumber dari peserta terapi kelompok kami, ada yang
menghabiskan waktu selama 16-20 jam non stop melihat drama Korea, sampai lupa
mandi, lupa tidur, ga belajar. Jeda waktu hanya untuk sholat, kemudian makan
pun sambil nonton. Hal itu tentunya mengganggu produktivitas dalam perkuliahan,
karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menonton drama. Memang tidak
setiap hari, tapi kan drama Korea jumlahnya banyak dan update terus setiap hari.
Bisa dipastikan, hal ini akan menimbulkan kecanduan karena keinginan untuk
menyaksikan drama akan muncul setiap harinya.
Ada lagi yang
selalu ingin tahu jadwal sang idola setiap harinya, mulai dari bangun tidur
hingga kembali tidur lagi. Ia sampai mengikuti segala fans club dan merelakan
banyak waktunya untuk searching segala hal tentang idolanya. Mulai dari
kehidupan di dunia hiburan hingga dunia pribadinya. Hal lain yaitu rela
menghabiskan uang demi bisa membeli album, dan segala stuff tentang K-Pop dari
boyband A sampai Z, nonton konser di Jakarta hingga luar negeri. Hal lain yang
menurut saya paling ekstrem adalah menjadikan idola K-Pop tersebut sebagai
panduan hidupnya, way of life-nya. Bahwa girlband sebut saja girlband A
ibaratnya sebagai kumpulan Nabi dan salah satu personelnya adalah miniatur dari
pemimpin agama.
Iya, saya menemui
orang-orang yang memiliki pemikiran dan perilaku tersebut. Ekstrem? Ya memang
menurut norma sosial, tapi orang-orang tersebut tidak merasakan hal tersebut
ekstrem, bahkan hal yang paling menentukan apakah ia benar-benar layak masuk ke
terapi kelompok adalah mereka merasa tidak terganggu dengan perilaku ekstrem
terhadap K-Pop tersebut.
Mulai dari
perempuan dan bahkan saya menemui laki-laki juga menyukai K-Pop, padahal kalau
di Indonesia hal tersebut meurpakan hal yang agak memalukan mengingat stigma di
kalangan masyarakat bahwa cowok-cowok Korea adalah cowok-cowok cantik dan
“kemayu”. Itu secara fisik sih... kalo secara perilaku mereka gentle banget
lah. #eh kok malah saya jadi belain ya... hahaha ketahuan kalo pernah ngefans
sama cowo-cowo Korea.
Mereka rata-rata
berusia 20 tahunan, namun pada kasus terakhir saya menemukan perilaku itu
terjadi di orang laki-laki berusia 30 tahunan, sehingga ketika memutuskan untuk
dia layak menajdi bagian dari terapi kelompok atau tidak, saya jadi mikir. Kalo
anggota yang lain berusia 20 tahunan, yang ini 30 tahun, pasti ada hal yang
berbeda nantinya selama proses di kelompok. Akhirnya dengan berat hati saya
nggak bisa menerimanya dalam terapi kelompok ini. meskipun begitu, saya belajar
banyak dari orang-orang tersebut. Saya belajar bahwa Korea memang memberikan
dampak negatif ketika kita memandanganya sebagai hal yang mengganggu, tapi
ketika kita bisa menjadi produktif dengan kegemaran tersebut maka hal tersebut
tidak akan menjadi masalah.
Buktinya, dari
beberap anggota kelompok ini ada yang sudah menjalankan bisnis yang idenya dari
K-Pop, yaitu membuat online shop makanan frozen Korea, cafe yang mengangkat
tentang K-Pop, hingga membuat cerita pendek yang idenya dari drama-drama Korea.
Keren memang....
Jadi,
kesimpulannya apa?
Hmm...silahkan
disimpulkan masing-masing ya, itu bergantung dari persepsi masing-masing
individu.
Komentar