Ketika ditanya oleh seorang dosen,
“Kalian siap nggak menjadi Psikolog yang nantinya berkiprah di masyarakat luas,
dan bersaing dengan Psikolog di seluruh dunia?” Kami sekelas terdiam. Kelas mendadak
hening. 34 orang di dalamnya bertatapan, menunduk, tidak berani melihat ke arah
Dosen. Bimbang, ragu-ragu. Banyak hal berkecamuk untuk menjawab “Siap”.
Kemudian salah satu teman memberanikan
diri untuk mengutarakan apa yang dipikirkannya, munculah ide bahwa secara
pendidikan, kami Psikolog Indonesia tidak kalah bersaing, namun secara jam
terbang kami masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara di Eropa dan
Amerika yang sudah menempuh 1000-2000 jam sebelum mendapat gelar Psikolog,
sedangkan kami 560-640 jam saja.
Saja?
Itulah perbedaannya. HIMPSI menetapkan
minimal 560 jam itu bukan tanpa alasan, karena tidak seluruh masyarakat
Indonesia “melek” akan bantuan psikologis, berbeda dengan orang-orang di Eropa
dan Amerika yang sudah paham dan “melek” tentang psikologi.
Masyarakat Indonesia belum mengetahui
bahwa Psikolog pun memiliki spesialisasi tersendiri. Ada Psikolog klinis,
pendidikan, organisasi dan industri, sosial, dan perkembangan. Masyarakat Indonesia beranggapan bahwa
Psikolog itu multitalenta, ketika anaknya dinilai memiliki masalah, mereka
dengan mudah menanyakan hal tersebut kepada Psikolog industri dan organisasi.
Tentu saja Psikolog industri dan organisasi kurang menguasai hal tentang
perkembangan anak. Memang, saat S1 kami diberi materi tentang seluruh aspek di
psikologi. Namun ketika mengambil magister profesi, kami semakin terfokus pada
bidang yang dipilih. Jika bertanya tentang permasalahan anak, sebaiknya memang
datang langsung ke Psikolog yang ahli di bidang perkembangan anak. Namun,
jikalau kita belum mengetahui expertise dari Psikolog tersebut, ada baiknya
kita bertanya atau jika memang sudah terlanjur datang maka pasti oleh Psikolog
yang memang bukan ahlinya, akan direfer kepad Psikolog yang ahli di bidang yang
diminta oleh klien.
Seperti halnya Dokter spesialis,
Psikolog juga memiliki keahliannya masing-masing. Hal itu yang belum banyak
diketahui oleh orang awam. Seperti kami yang calon Psikolog klinis, kompetensi
kami di bidang asesmen dan intervensi untuk kasus klinis. Kasus klinis meliputi
problem individu dari problem sehari-hari seperti stres karena permasalahan
dengan teman, orang tua, keluarga, hingga percintaan yang mengakibatkan adanya
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan mungkin hingga perubahan
kepribadian. Tidak hanya kasus individu, Psikolog klinis juga menangani
permasalahan kelompok dan komunitas. Bisa dari keluarga, kelompok di
masyarakat, hingga suatu komunitas tertentu. Kami melakukan intervensi untuk
individu hingga komunitas, dari aras mikro hingga makro.
Psikolog klinis juga berhak untuk
menangani kasus di luar klinis asalkan memiliki sertifikasi dan kompetensi di
bidang lain dengan mengikuti berbagai pelatihan. Misalkan Psikolog klinis,
tertarik di kasus pendidikan anak sekolah maka sah saja asalkan ia memiliki sertifikasi
di bidang tersebut dan rajin mengikuti berbagai pelatihan tentang anak dan
sekolah.
Bagaimana dengan para Hipnoterapi yang
banyak dikenal oleh masyarakat pandai melakukan hipnosis untuk mengubah
perilaku seseorang? Jika memang seorang Psikolog memiliki ketertarikan di
bidang hipnosis, tidak ada salahnya ia menjadi seorang Psikolog dan
hipnoterapi. Namun yang perlu dicermati adalah, seorang hipnoterapi belum tentu
Psikolog begitu juga seorang Psikolog belum tentu seorang hipnoterapi. Banyak yang
bilang kalo Psikolog pasto jago hipnosis, belum tentu guys.... hipnosis itu
salah satu teknik dalam mengubah perilaku individu.
Namun permasalahannya ialah, saat ini
tidak begitu banyak para lulusan S1 yang ingin lanjut S2 profesi. Banyak
alasannya, mulai dari ingin kerja saja, hingga biaya yang mahal. Memang, sistem
pendidikan psikologi berubah-ubah, terutama sejak tahun 1994 dan 2004. Sebelum
tahun 1994, pendidikan psikologi dijalani selama sekurang-kurangnya 6 tahun,
maksimalnya? Ga terbatas. Dosen-dosen saya rata-rata menyelesaikan studinya 6,
7 , 8, 9, hingga 10 tahun. Sedangkan sekarang? 4 tahun itu standardnya. Jadi bisa
dibilang, sarjana Psikologi lulusan sebelum tahun 1994 itu sudah mumpuni untuk
dikatakan sebagai Psikolog karena mereka telah menempuh studi selama 6 tahun,
selama itu pula mereka menangani kasus seperti yang saat ini harus dijalankan
oleh magister profesi. Nah, kelihatan bedanya kan? Maka dari itu, menjadi
Psikolog prosesnya butuh waktu yang panjang. Tidak ada hal yang instan di dunia
ini kecuali popmie yang cuma butuh waktu 3 menit.
Lalu bagaimana peran Himpunan
Psikologi Indonesia (HIMPSI) yang merupakan organisasi profesi ilmuwan dan
Psikolog untuk melindungi anggotanya? Di kota-kota besar peranan HIMPSI sudah
cukup baik, namun ketika menengok ke tempat-tempat yang ada di luar Jawa,
misalnya di daerah Gorontalo pulau Sulawesi, di sana tidak memiliki HIMPSI dan
tidak semua wilayah memiliki HIMPSI. Sehingga apabila ada keadaan darurat dan harus
ditangani oleh Psikolog, sedangkan jumlahnya di tempat tersebut memang
terbatas, maka klien tersebut harus ditangani terlebih dahulu oleh Psikolog
yang ada, baru kemudian direfer ke Psikolog lain. Namun yang terjadi, ternyata
di tempat-tempat luar Jawa, banyak Psikolog yang tidak merujuk kepada rekan
sejawatnya, mereka menangani kasus klien sendiri meskipun itu bukan
kompetensinya sehingga klien merasa dirugikan dan dikecewakan.
Nah melanjutkan tentang lulusan S1 yang
kurang mau untuk lanjut ke Mapro karena alasan ini itu, sebaiknya perlu adanya
sosialisasi untuk mengajak mereka masuk Mapro khususnya Klinis dengan tujuan untuk
memperbanyak ahli kesehatan di Indonesia karena Psikolog Klinis jumlahnya masih
terbatas di antara 250 juta penduduk Indonesia. Saat ini pun Psikolog klinis sudah
termasuk ahli kesehatan di Indonesia. Pelayanan kesehatan psikologi untuk
masyarakat sekarang bisa diakses dengan mendatangi primary health di Puskesmas terdekat. Yaa meskipun yang sudah ada
Psikolog di Puskesmas saat ini masih di wilayah Yogyakarta dan Sleman.
Jadi..... untuk menjadi seorang Psikolog,
khususnya Psikolog Klinis itu jangan berharap untuk terkenal dan kaya raya, seperti
profesi artis atau pebisnis. Tapi, secara hati Psikolog harus memiliki kekayaan.
Tidak perlu ada pikiran dan perasaan ingin dipandang orang “wah” atau “waow”,
karena pandangan orang pun ga akan ada habisnya. Jadilah Psikolog yang tidak
pernah berhenti belajar, dari bangku kuliah maupun di pengalaman yang
sesungguhnya dalam masyarakat. Jangan hanya ingin dipandang orang, karena
sejatinya pekerjaan Psikologi memang ada di belakang layar, kecuali ada yang
memang memiliki sampingan sebagai artis, pebisnis, atau profesi di depan layar
lainnya.
Berkaitan dengan pekerjaan di balik
dan di depan layar, secara pribadi saya turut bangga atas dipilihnya salah satu
Psikolog di UGM yang menjadi panitia seleksi KPK. Psikologi sudah mulai diakui
keberadaannya di ranah politik. Itu merupakan amanah yang berat dan tidak
main-main, sehingga Presiden tidak mungkin memilih tanpa alasan. Tentu Psikolog
yang ditunjuk memiliki kompetensi dan kemampuan untuk memilih sosok pimpinan
KPK yang diidamkan. Semoga saja... semoga harapan rakyat menjadi kenyataan.
Untuk seluruh (calon) Psikolog dan
Psikolog di Indonesia, tunaikanlah tugas mulia mewujudkan kesejahteraan dan
kepentingan sesama manusia dengan sebaik-baiknya... J
Komentar