Stase
selanjutnya sekaligus stase terakhir ialah tempat bernama Panti Sosial Asuhan
Anak (PSAA) yang terletak di Ngemplak, Sleman. Ngemplak ini sudah berbatasan
dengan Cangkringan yang merupakan Desa di mana Gunung Merapi berada. Untuk
berada di tempat ini, saya harus menempuh jarak sekitar 36 km pulang pergi dari
kost. Lama waktu perjalanan sekitar 30-40 menit. Ketika sore hari saya merasa
sangat bahagia karena bisa memandangi ufuk barat yang berubah menjadi jingga.
Jingga di kaki Merapi...... salah satu nikmat yang tak akan saya dapatkan
ketika tidak lagi di tanah Yogya.
Selama
hampir 3 minggu berada di PSAA saya banyak menemukan berbagai pelajaran hidup.
Lagi-lagi membuat saya mengingat bagaimana sayangnya Allah terhadap saya.
Anak-anak yang berusia harian hingga 19 tahun disini merupakan anak yang
“kurang beruntung”. Mereka berasal dari berbagai keluarga dengan latar
belakangnya. Ada yang broken home, dari keluarga kurang mampu, dari keluarga
dengan gangguan jiwa, keluarganya meninggal semua, bahkan ada yang dari anak
jalanan dan tidak memiliki keluarga. Masya Allah.... apalah daya saya ini.
Mereka lahir dari latar belakang yang penuh ujian, hal itu yang membuat mereka
melakukan perilaku bermacam-macam. Mulai dari berbohong, mencuri, berkelahi,
melanggar peraturan, dan banyak hal lain yang menjadi keluhan dari para Pekerja
Sosial kepada Psikolog Muda.
Ketika
mendengar kisah mereka, antara trenyuh dan nestapa menggelayut di batin. Anak
seusia mereka yang notabene masih “belum mengerti apa-apa” tentang dunia, tapi
mereka sudah mengerti apa itu dunia karena keadaan mereka yang seperti itu.
Kondisi keluarga yang saling berpisah, saling berkonflik, sudah menjadi pewarna
kehidupan mereka. Kehidupan keras yang mereka alami seakan menampar saya, untuk
tidak selalu berkeluh kesah. Kehidupan mereka jauh lebih keras daripada saya
yang masih berada di zona nyaman ini. Masya Allah....
Selama
berproses dengan 2 klien individu dan 6 klien kelompok membuat saya banyak
mendapat pengalaman baru. Tak jarang pertanyaan-pertanyaan ajaib muncul dari
bibir mungil mereka. Tanpa saya sadari, saya telah menyayangi mereka dalam
proses ini. Menyayangi dalam hubungan sehat antara klien – Psikolog. Saya tentu
belajar dari para klien yang membuat saya berproses untuk terus memperbaiki
diri. Saya belajar dari klien individu saya, bahwa keluarga adalah pondasi
terpenting dalam hidup. Kerukunan, kehangatan, kesederhanaan menjadikan suasana
menjadi sangat menyenangkan. Saya tidak pernah menyangka bisa berada di
tengah-tengah keluarga mereka yang sederhana, mengingatkan saya pada kehidupan
keluarga saya ketika saya masih SD dan SMP. Rumah kontrakan yang tak lebih dari
3 x 5 meter luasnya tidak lantas membuat mereka kurnag bersyukur. Gaji yang tak
seberapa, tetap bisa untuk mengisi perut yang kosong. Ketika saya ditawari
makan oleh mereka, rasanya ingin menangis. Menu mie instan kuah dengan telur
yang dibagi-bagi, disertai canda tawa membuat saya lebih dari bahagia, karena
bisa diterima oleh mereka dengan sangat baik, seperti bagian dari keluarga
sendiri bahkan. Allah... Fabiayyi ala
irobbika tukaddziban...
Saya
sekarang tahu, mengapa saya dikirim di sini. Saya tidak ingin mendapatkan
kepuasan dengan kekayaan yang menjadi tujuan utama. Sesederhana ini membuat
nurani ini lebih dari bahagia. Menyentuh dan bergabung dalam akar rumput,
menyambut mereka dengan cinta tanpa syarat, begitulah cara saya berbakti pada
Indonesia.
anak-anak saat nonton bareng
Komentar