Tepat
jam 5 pagi saya menulis postingan ini, memori saya memanggil kembali kenangan
ketika berada di RSJ Lawang, Malang. Sayup-sayup terdengar suara lonceng gereja
yang membuat saya rindu suasana di RSJ Lawang yang sejuk. Pagi hari menembus
dingin kami mandi bergantian, karena memang kamar mandinya terbatas. Kami
ber-15 yang tidur di dalam 1 kamar Asrama bisa mengenal tabiat asli
masing-masing. Dari mulai cara mengerjakan tugas, cara belajar, hingga cara
tidur dan cara mengatur waktu masing-masing kami semuanya tahu. Tidak jarang
hal itu mengundang tawa dan mengundang julukan baru di antara kami. Tentu saja
ini semakin membuat kami terikat layaknya saudara. Ketika kembali ke peradaban
Yogyakarta dan tidak lagi bersama 14 orang lainnya di asrama, saya merasa ada
yang hilang. Ternyata 4 minggu kemarin cukup membuat saya merasa “memiliki”
mereka sebagai roommate. Yang awalnya
selalu makan bersama-sama, sekarang mau nggak mau makan sendiri. Yang awalnya
tiap kali nyanyi-nyanyi nggak jelas selalu ada yang nyahutin, sekarang nggak
ada. Yang kemarin kalau pakai baju nggak matching selalu diprotes, sekarang
nggak ada yang protes. Ternyata ini toh rasanya rindu.
Setiap
pagi, kami yang diberi jatah makanan di instalasi Gizi selalu rajin pada 2
minggu pertama. Tapi semenjak 2 minggu terakhir, kami menjadi malas-malasan.
Alasannya? Karena kami mulai masuk siang, dan kami nggak sempat makan di Gizi
yang dibatasi dari jam 6-8 pagi. Alhasil, orang macam saya dan Baiti yang
selalu menargetkan tiap pagi harus sarapan pagi, harus berlarian “mengejar
gizi” di instalasi Gizi demi mendapatkan sepiring sarapan. Padahal waktu sampai
di instalasi Gizi, Ibu-ibu yang melayani kami sudah merengut karena sudah jam 8
lebih, tapi kami masih aja dilayani. Terima kasih ibu-ibu Gizi, you’re my morning saviour.
Setelah
dari instalasi Gizi, kami menuju ruangan masing-masing yang disana sudah
ditunggu oleh para pasien. Pasien-pasien yang perilakunya selalu membuat kami
tersenyum. Kami disambut dengan suka cita oleh mereka, terutama klien kami masing-masing.
Mereka sudah menunggu di depan ruangan, sambil melakukan aktivitas pagi
masing-masing. Ada yang sedang menyapu halaman, membersihkan meja makan,
mencuci piring, dan beberapa aktivitas lainnya. Senyum mereka membuat kami
merasa diterima. Apalagi ketika mereka mengucapkan, “Pagi mbak P(e)sikolog....”
rasanya ‘nyesss’ aja, ada hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
ketika mendengarkan kata itu.
Menanyakan
kabar mereka pagi ini, melihat mereka yang sudah sarapan pagi dan mandi pagi,
kemudian senam pagi. Mereka juga memakai bedak dan gincu serta menyisir
rambutnya agar terlihat rapi ketika diajak ke instalasi rehabilitasi. Mereka
yang bersemangat untuk diajak “ngobrol” oleh kami. Di titik ini saya kembali
terhenyak, oleh halusinasi-halusinasi yang mereka utarakan, oleh waham-waham
yang mereka yakini. Bahwa kehidupan ini tidak pernah bisa ditebak akhirnya
seperti apa. Siapa yang akan menyangka bahwa orang dengan wajah rupawan /
rupawati, karena suatu kejadian mengakibatkan memorinya hilang dan mengalami
schizophrenia sehingga bisa ada di depan saya sekarang. Siapa yang akan
menyangka bahwa sehari yang lalu kita masih bisa bersenda gurau dengan
keluarga, namun seminggu kemudian berada di depan saya. Hal-hal yang terlihat
sepele di depan kita, ternyata menurut orang lain itu tidak sepele. Itu
merupakan titik pencetus dalam hidup mereka sehingga bisa ada di tempat ini
sekarang. Siapa yang akan menyangka bahwa kejadian diputus oleh pacar, dibentak
oleh orang tua, dipecat dari pekerjaan, menjadi kejadian sangat traumatis dalam
hidup yang membuat mereka menjadi berubah.
Berkali-kali
saya merenung ketika pulang dari ruangan, mengapa frekuensi alam menarik saya
ke tempat ini? Mengapa dunia memiliki sisi ini? Mengapa tempat ini dijadikan
sebagai rumah sakit jiwa? Mengapa begitu banyak orang yang ada di sini dengan
sakit yang mereka alami? Bagaimana dengan orang-orang yang bernasib seperti
mereka namun tidak ditempatkan di RSJ? Dan beribu pertanyaan mengapa-mengapa
lainnya. Saya berkontemplasi, berusaha memperbaiki diri saya. Ketika saya
berada di sini, apa yang menjadi niatan saya adalah membantu sesama. Saya ingin
berbagi kebahagiaan, kebersyukuran kepada mereka yang berada di dekat saya.
Terkadang saya tak kuasa menahan air mata ketika mendengarkan cerita mereka
dimana di usia mereka, saya masih bisa bermain dengan riang, menghabiskan waktu
bersama teman-teman tanpa memikirkan kondisi orang yang berada di bawah kita
kemampuan ekonominya. Sedangkan mereka, sudah harus berjuang untuk mencari
nafkah, menghidupi keluarga, memikirkan kondisi anggota keluarga yang lain.
Benar-benar di tempat ini saya menemui orang yang “untuk makan hari ini saja
sudah syukur, besok kami tidak tahu apakah bisa makan atau tidak”. Oh Allah....
begitu sayangnya Engkau pada saya sehingga mempertemukan saya dengan orang-orang hebat macam mereka.
Allah
begitu adil, sehingga mereka masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia.
Dengan segala kondisi yang mereka alami, dengan halusinasi dan waham yang
mereka miliki, agar mereka masih bisa survive terhadap hidup. Meskipun mereka
tidak diberi kewajiban untuk menunaikan shalat, tapi banyak dari mereka yang
rutin shalat 5 waktu, bahkan shalat malam. Saya menjadi malu, bahwa saya
terkadang melalaikan sunnah muakad satu ini. Saya menajdi malu ketika mereka
bercerita bangun jam 3 pagi demi menunaikan ibadah ini sedangkan saya terkadang
terlelap dalam tidur. Rasanya seperti ditampar, ketika saya menginginkan banyak
hal tapi untuk shalat malam saja masih harus diingatkan.
Bertemu
dengan rekan profesi lain yang juga sedang praktek, perawat muda dan dokter
muda. Mereka yang membuat saya kagum dengan pekerjaan masing-masing. Kami
saling bekerjasama untuk membuat pasien-pasien menjadi lebih baik kondisinya,
sebisa mungkin dengan metode keilmuan yang kami miliki masing-masing.
Setiap
hari pun kami tak luput dari tawa. Para pasien yang memiliki berbagai macam
perilaku membuat kamu tertawa dan tersenyum. Ada-ada saja perilaku dan
celotehan yang mereka katakan. Tidak jarang pula kami tiba-tiba disamperin dan
dipanggil, “Dokter, kapan saya pulang?” Padahal kan kami bukan Dokter, kami
memang memakai jas putih, tapi kami bukan Dokter. Ada juga yang tiba-tiba
menyanyi di depan kami, mengajak berkenalan, memberi bunga, melemparkan
senyuman, hingga ada yang bilang, “Dokternya kok kecil....?”
-_____-
ngggg kalo ini tidak perlu dikomentarin ya.
Para
supervisor yang sangat terbuka dan sudah berpengalaman di bidang schizophrenia,
membuat saya membuka mata lebih lebar, bahwa ilmu psikologi itu fleksibel,
se-fleksibel hati ini (opo sih?). Para Psikiater yang sudah membagi ilmunya
kepada kami tentang trik trik diagnosis gangguan jiwa. Pak S dan Bu N dari Kampus yang sudah sangat berjasa meluangkan waktunya demi memberikan
supervisi dan turut serta menguji kami. Ibu dan Bapak yang sudah memberikan
banyak dukungan motivasi dan finansial, hingga mengirimi saya motor untuk bisa
mobilisasi di RSJ yang luasnya banget banget ini. Terima kasih banyak.....
Hingga
detik ini saya sangat bersyukur telah menyelesaikan stase RSJ dengan segala
lika likunya dengan lancar. Menjadi bagian dari tenaga ahli di RSJ adalah salah
satu mimpi saya yang semoga diaminkan oleh Allah suatu saat. Prkatek selama 160
jam kemarin semoga menjadi bekal yang bermanfaat bagi saya menjalani profesi
psikolog dan bisa bermanfaat bagi klien-klien yang telah berproses bersama kami
ber-16. Aamiin ya robbal alamin.
Here
we are, Terima kasih RSJ Lawang!
Komentar