Ternyata sudah 10 bulan yang lalu terakhir kali berada di tempat bernama Stasiun. Meskipun seringkali melewatinya, tapi untuk menjadi salah seorang penumpang kereta api, terakhir saya merasakannya pada bulan Februari 2015. Padahal saat ini tanggal sudah menunjukkan akhir tahun. Baiklah....
Saya ingin berbagi sekelumit kejadian sore hari tanggal 21 Desember di kereta api Pasundan tepatnya gerbong 3. Dengan susah payah saya bisa berada di tempat duduk nomor 15C, bagaimana tidak? Saya harus menerjang hujan dengan mbak-mbak Go-Jek untuk bisa sampai di Stasiun Lempuyangan. Awalnya mau pakai sepatu tapi berhubung hujan saya pun memakai sandal jepit yang beda warna antara kanan dan kiri, karena emang modelnya begini dan ini adalah sandal yang ada di depan kamar kos.
Sesampainya di Stasiun Lempuyangan, saya harus ngantri dulu untuk mencetak tiket. Masih ada waktu sih.. tenang.... meskipun udah lecek kena air hujan, struk pembelian tiket ini berguna banget daripada ngeliat-liat email di hape. Kurang 5 menit sebelum kereta berangkat, saya naik dan berada di tempat duduk sesuai yang ditunjukkan tiket.
"Permisi Pak, 15C?" tanya saya pada seorang Bapak-Bapak yang duduk di bangku yang saya maksud.
"Ohh ya ya... ini 15 A, B, C.... ya sini sini..."Bapak tersebut bergeser ke bangku sebelahnya. Saya segera merapikan baju dan menaruh tas ransel dari pangkuan. Baju lumayan basah, meskipun udah pakai jas hujan. Brrr berasa dingin ya... pantesan, itu AC langsung nyentrong ke bangku saya.
Tiba-tiba Bapak di sebelah saya nanya, "Turun mana, Dek?"
"Surabaya Pak...."
"Wah jauh ya...."
"Bapak turun mana?"
"Saya....ke kota paling terpencil..."
Hah? Saya heran... "Dimana Pak?"
"Nganjuuuuukkk....." ujar Bapak itu dengan logat yang lucu dan suaranya yang rendah.
"Ohh....masa sih Pak kota Nganjuk paling terpencil?"
Dan obrolan mengalir dengan asiknya... Ternyata Bapak di sebelah saya ini dulunya ingin sekali masuk ke Fakultas Psikologi UGM, dimana saya sekarang berada. Namun takdir berkata lain, beliau tidak diterima di Psikologi dan akhirnya masuk ke Fakultas Ilmu Pendidikan di IKIP yang sekarang menjadi UNY. Saat ini beliau menjadi seorang Dosen di sekolah tinggi di Nganjuk bersama dengan istrinya. Ia mulai bercerita bagaimana prosesnya bisa bertemu dengan sang istri yang ada di sebelahnya, yang ternyata adalah teman sebangkunya dari semenjak semester 2 di bangku kuliah. Wah... masya Allah langgeng ya... Istri yang ada di sebelahnya itu hanya tersenyum-senyum malu sambil mencubit manja lengan suami. Mereka berdua baru saja mendatangi wisuda anak ragil yang disumpah menjadi Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Mereka ingin segera kembali ke Nganjuk karena cucu pertamanya sudah menanti di rumah. Keluarga yang sangat harmonis... Manis sekali bisa mendengar kisah mereka yang meskipun pernah mengalami down dalam kehidupan, tetap tali keharmonisan itu terjaga.
Di depan saya, ada 3 orang yang duduk. 2 orang remaja berusia kira-kira 15-16 tahun memakai kaos "My Trip My Adventure" yang lagi ngehits saat ini. Tidak lama setelah saya duduk, mereka pergi dari tempat duduk. Saya pun pindah ke bangku tersebut agar Bapak dan Ibu di sebelah saya bisa lebih longgar, sebenernya biar saya juga bisa bernapas sih.. hehe
Di sebelah saya ada seorang perempuan kira-kira seumuran mahasiswa gitu lah, ngajak ngobrol saya. Pertama nanya, apakah saya kuliah, kemudian angkatan berapa. Saya jawab, "2014.." Dia bilang, wah sama.. saya tersenyum kalem. Dia mulai nanya-nanya "Kenal ini nggak...kenal ini..." Saya jawab dengan kalem lagi bahwa saya nggak begitu kenal dengan kakak tingkat, apalagi adik tingkat. Saya mah kuper... trus Bapak dan Ibu yang ada di depan kami ikutan nimbrung. Usut punya usut, sebelah saya ini adalah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial di Bandung yang mau pulang ke Sragen. Ohh... baru denger ada sekolah ini, kurang familiar jika dibandingkan dengan STAN atau STIS yang pada berebut untuk masuk sana. Padahal sama-sama sekolah kedinasan lho...
Cerita antara kami ber-4 pun mengalir. Memang saya lebih banyak porsi mendengarnya daripada bertanya, karena Ibu dan Bapak di depan saya memang tipe orang yang senang bercerita, jadi saya dengarkan saja. Baru setelah itu mereka mulai bertanya-tanya lagi, "Wah kalian ini kalau jadi anak Bapak dan Ibu jadi anak ke-4 ya... anak ragil bapak aja kelahiran 1991. Kalian kelahiran tahun berapa?"
Hkkkk.....napas saya tertahan, yahh... ketahuan deh saya kalo ngaku ntar.
Mbak sebelah saya bilang "'95 Pak...".
Giliran saya, "Hehe 92 Pak..."
Lahh... itu dia... masih lebih muda dari anak terakhir saya kan...
"Lho sebentar... mbak angkatan 2014 kok 92? Jangan-jangan ini S2?" tanya perempuan di sebelah saya tadi.
Sambil tersenyum penuh makna, saya mengangguk.
"Oalaaah... pantesaaan.... kok makanya saya udah curiga dari tadi kok diam aja waktu saya nanya kakak tingkat, ditanyai teori kok bisa jawab semua, pantesannn....." mbak itu kaget bukan kepalang kelihatannya.
"Lho beneran S2? Kok kaya masih kaya anak SMP...." celetuk Bapak di depan saya yang diiringi oleh cubitan dari istrinya mendarat di perut Bapak.
"Iya Pak... nggak apa-apa awet muda..." tutur saya.
Dan benar, Tuhan memang tidak pernah memberikan jalan bagi hamba-Nya jika belum seusia waktunya. Seperti sekarang ini, saya dipertemukan dengan 2 orang suami istri yang sangat harmonis dan mengetahui sekelumit cerita hidup mereka supaya saya lagi-lagi belajar bersyukur dan stop berpikiran negatif tentang pernikahan seperti yang dialami banyak klien saya. Saya bertemu dengan seorang mahasiswi yang berada di Jurusan Pekerja Sosial, setelah saya praktek di PSAA dan berurusan dengan Pekerja Sosial yang ada di sana. Masya Allah... benar-benar resonansi bumi mempertemukan kami. Cukup lama memang interaksi antara kami berlangsung, sekitar 2,5 jam dengan Astria - nama mahasiswi tersebut, dan 4,5 jam bersama dengan pasangan suami istri yang saya tidak ketahui namanya tapi saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas pelajaran hidup yang mereka berikan.
Setelah Astria turun, naiklah beberapa penumpang dari Sragen dan benar saja, tempat duduk sebelah saya kembali terisi. Seorang laki-laki masih berusia muda, kira-kira juga mahasiswa. Dan tanpa diaba-aba, bapak yang ada di depan saya langsung menanyakan berbagai hal kepada laki-laki muda ini. Ternyata ia adalah seorang mahasiswa STIKES di Solo yang akan turun di Surabaya dan melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi untuk ke rumah Kakaknya di sana. Asalnya dari Sumatera, tapi sekolah di Solo sudah semester 5 jurusan Keperawatan. Sekali lagi, hukum alam benar-benar menunjukkan keniscayaan-nya. Setelah bersebelahan dengan calon Pekerja Sosial, saat ini saya bersebelahan dengan calon Ners Muda. Awalnya dia tidak mengetahui bahwa saya adalah mahasiswa Psikologi, karena dia mulai ngobrol-ngobrol dengan Bapak di depan saya tentang hipnoterapi. Dalam hati saya hanya tersenyum, "Monggo berdebat... saya listener saja..." eh tapi Bapak di depan saya memberikan saya kesempatan.
"Gimana mbak kalau dari pandangan psikologi hipnoterapi itu?"
Laki-laki di sebelah saya tersentak, "Lho....mbaknya orang psikologi toh?"
"Lho jangan salah... dia ini sudah S2...mau S3 ini.... ya nggak mbak?" Bapak tersebut tertawa ke arah saya.
"Wah Bapak doanya saya aminin saja...." jawab saya.
Dengan mengeluarkan pendapat yang saya tahu, kedua orang itu manggut-manggut dan memberikan feedback tentang penjelasan hipnoterapi menurut pandangan psikologi. Baru setelah itu, laki-laki itu mulai menanyakan berbagai hal yang selalu umum ditanyakan kepada mahasiswa psikologi macam saya, "Mbak...baca saya dong..saya ini orangnya gimana?"
-____-
Entah ini sudah ke sekian ratus bahkan ribu eh lebay, kalinya saya mendapatkan pertanyaan serupa.
Adzan Maghrib berkumandang, hari mulai beranjak menjadi gelap. Kereta masih melanjutkan perjalanan dan ada suara pemberitahuan bahwa jam 18 akan berhenti Stasiun Caruban selama 31 menit. Nah lho? Ada apa ini? Katanya relnya dibuat gantian. Ngalah banget kereta kita...
Benar, sampai di Stasiun Caruban kereta api berhenti dan kami berbondong-bondong menunaikan ibadah sholat Maghrib di Musholla Stasiun. Antrinya masya Allah... untuk wudhu aja harus menungggu beberapa puluh orang, belum lagi sholatnya di Mushola yang sekecil itu. Alhasil saya minggir dulu, sampai akhirnya sholat sudah berganti 3 kloter, saya baru kebagian buat wudhu dan menunaikan sholat Maghrib. Untungnya waktunya masih nutut. Bahkan 3 kereta sudah melewati kereta kami. Tapi satu hal yang membuat saya senang, ternyata kereta Ekonomi itu sangat kekeluargaan dibandingkan dengan kereta Bisnis dan Eksekutif. Di kereta Ekonomi, sesama penumpang saling bertegur sapa dan tersenyum, berbagi makanan, itu hal yang biasa. Pemandangan itu yang tidak saya temukan di kereta Bisnis dan Eksekutif yang berisi orang-orang mungkin ekonomi atas.
Sampai di Stasiun Nganjuk, sepasang suami istri di depan saya pamit untuk turun. Tinggallah saya dan laki-laki entah siapa namanya ini. Meskipun kami nggak tahu nama masing-masing, tapi obrolan udah berlanjut dengan asiknya karena orang ini emang gokil.
Masa tadi dia bilang ke Bapak dan Ibu di depan kami, kalo dia juga anak ragil alias rada gila. -__-
Kriuk banget ga sih.
Obrolan itu berlanjut hingga kegalauan dia dari Stasiun nanti ke Terminal naik apa, karena jarak antara Gubeng dan Terminal Bungurasih cukup jauh. Menurut jadwal, kami sampai di Surabaya aja jam 21.30, ya udah jarang banget kendaraan macam Bus atau angkot beredar di jalanan. Opsi yang ditawarkan oleh Kakaknya ialah naik Travel dari stasiun langsung ke Banyuwangi. Yaa memungkinkan sih, tapi ini kan kurang sejam lagi, ya nggak mungkin pesen dalam waktu mepet gini. Solusi yang saya tawarkan ialah, naik ojek. Kalau mau nggak mahal, ya dengan Go-Jek. Hahaha....berasa salesnya Go-Jek deh saya ni... Beberapa menit pun kami heboh download aplikasi Go Jek di HP orang sebelah saya ini - yang sampe sekarang saya nggak tahu namanya. Kemudian kereta sampai di Mojokerto dan sebentar lagi sampai di Surabaya. Kok orang-orang pada siap-siap sih? Kan masih nanti turunnya di Gubeng.
Dan saya baru tahu kalau kereta ekonomi sekarang bisa turun di Stasiun Wonokromo. Yaelaaa tau gitu tadi minta tolong Bapak saya buat dijemput di sini aja, kan deket banget sama rumah daripada jauh-jauh ke Gubeng. Tapi ya udahlah ya... bapak udah otw ke Gubeng masa iya saya minta balik lagi. Tapi saya segera bilang ke laki-laki sebelah saya supaya dia turun aja di Wonokromo biar lebih dekat ke Bungurasih, benar saja argo di Hape menunjukkan angka 16 ribu, lebih murah dibandingkan dari Gubeng 28ribu. Ya sudah...akhirnya dia pun turun, dan saya masih lanjut lagi ke Stasiun Gubeng. Yang penting... sudah sampai Surabaya dengan selamat dan bertemu orang tua adalah hal yang paling membahagiakan.
Ya begitulah sekelumit cerita di Pasundan, unik, seru, dan pastinya menjadi bagian dari kisah Sby-YK kali ini. Terima kasih semesta.
Komentar