Teringat kalimat itu
yang dulu dilombakan untuk memperingati hari 17 Agustus ketika saya masih kelas
5 SD. Kami sekelas diminta untuk menghapalkan sebuah cerita kemudian
menceritakan kembali di depan lapangan sekolah. Proses bagaimana padi ditanam
di sawah oleh petani, perjuangan mereka merawat tanaman padi hingga memanen dan
menjualnya, sampai akhirnya bisa hadir pada sepiring nasi di atas meja kita.
Proses panjang yang seringkali tidak kita hargai dan kita lupakan. Fortunately, saya mendapatkan juara
kedua.
Momen itu sudah
berlalu 13 tahun yang lalu. Saat ini, saya sedang melankolis ketika melihat
sosok petani. Betapa tidak, kerja keras petani yang saya kenal yang membuat
saya ada di dunia ini. Kakek dan Nenek saya seorang petani, hingga sekarang
masih tetap menggantungkan hidup pada hasil bercocok tanam. Beliau melahirkan 7
orang anak, salah satunya ibu saya. Saya bangga lahir dari darah pejuang.
Saya terharu melihat
sosok mbah Kung dan mbah Putri di usia segini masih sehat. Perhatiannya kepada
cucu, nasehat-nasehatnya kepada cucu, membuat saya tidak bisa untuk berkata
tidak. Keluguan bude yang meminta saya untuk membawa kelapa bulat, kerja
kerasnya memasak ayam kampung peliharaannya sendiri. Koyo yang selalu tertempel
di keningnya, caranya menyayangi cucunya. Bagaimana mbah kung mengatakan kue red velvet sebagai kates alias pepaya. Benar-benar membuat saya bahagia dan tidak bisa
melepaskan pandangan dari mereka. Orang-orang yang sangat saya cintai.
Feeling
mereka yang sangat tajam, dimana keluarga kami sedang ada “sesuatu”, beliau
semua tiba-tiba datang menempuh perjalanan jauh dari desa ke Surabaya. Masya
Allah... dukungan keluarga yang super dan penuh menjadi penyemangat tersendiri
bagi saya untuk bisa terus memperjuangkan cita-cita demi kemanusiaan. Saya tahu,
bahwa saya tidak boleh mudah menyerah menghadapi hal tidak terduga di depan.
Selama saya memiliki orang-orang hebat yang adai di skeitar saya yang selalu
mendukung dengan penuh, there is always
possibility. Bismillah ya Allah...
Komentar